Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kisah Nasi dan Air Putih

25 Juli 2017   15:05 Diperbarui: 27 Agustus 2017   23:16 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun tak sama, urusan beras sebetulnya menyerupai air putih. Kebutuhan pokok lain yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari setiap makhluk hidup. Lalu, mengapa urusan pasokan, distribusi, hingga harga ecerannya tak pernah menimbulkan gonjang-ganjing sepanjang sejarah republik ini?

Bukankah penetrasi produksi air putih yang telah melalui proses penyaringan itu, telah berkembang demikian pesat hingga hampir menjadi kebutuhan pokok di setiap penjuru Nusantara?

Maafkan saya jika harus menyimpulkan jawabannya pada ketiadaan peran dan campur tangan pemerintah yang dominan di sana. Selain soal perizinan -- mulai dari izin usaha, pemanfaatan sumber yang digunakan, kawasan produksi, penjualan hingga mungkin sertifikasi halal -- bisnis air putih di negeri ini terbukti bisa berlangsung aman sentosa tanpa keterlibatan pemerintah yang lebih jauh.

Bukankah hal itu mensinyalirkan bahwa ada masalah besar pada bagian campur tangan pemerintah yang memang perlu direvolusi?

Bagaimanapun, hal yang pasti, arena pertandingan pemerintah dan pengusaha tak mungkin dicampur adukkan. Kodrat bisnis sejatinya memang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan ongkos yang sedikit-dikitnya. Sebab hanya kehidupan di surga-lah -- jika memang ada -- yang tak menyertakan untung-rugi maupun ongkos dalam kamus sehari-harinya.

Apa yang kita saksikan hari ini -- pada urusan kebutuhan pokok masyarakat yang dilakoni pemerintah layaknya pengusaha yang malu-malu kucing -- adalah sebuah absurditas. Perwujudan kodratnya justru berkebalikan : mencari untung sekecil-kecilnya, bahkan merugi, dengan ongkos yang sebesar-besarnya!

Bukankah fenomena itu yang tergambar dari kebijakan subsidi pupuk dan benih pada petani yang dapat menjual bebas hasil panen, sementara tangan lain pemerintah sibuk melakukan subsidi pada jual-beli untuk menenuhi kebutuhan masyarakat?

+++

Joko Widodo adalah idola saya.

Sejak lahir hingga hari ini -- alias seumur hidup -- saya tak pernah menyangka Indonesia pernah memiliki pemimpin bangsa dan negara yang begitu sungguh-sungguh, jujur, dan sepenuh hati, bekerja demi rakyatnya. Saya percaya beliau tak akan pernah mengizinkan dirinya, termasuk kerabat dan keluarganya, mengambil kesempatan atau keuntungan sekecil apapun dari keberadaannya sebagai orang nomor satu di republik ini. Demi Allah!

Tapi republik ini memang tak cukup diselesaikan dengan kebaikan dan hati yang bersih semata. Perlu kecerdikan -- bahkan mungkin kelicikan selama masih bisa dipertanggungjawabkan -- untuk menyelesaikan persoalannya yang sudah demikian carut-marut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun