Kita tak mempermasalahkan turunan Tionghoa dari Rudi Hartono, Liem Swie King, Ivanna Lie, Christian Hadinata, Alan Budikusuma, Susi Susanti, atau pahlawan-pahlawan olahraga bulutangkis lain yang pernah mengharumkan nama bangsa. Beberapa di antara mereka bahkan berjasa memgibarkan Merah-Putih dan mengumandangkan Indonesia Raya pertama kali di sana.
Lebih heroik lagi jika kita mundur lebih ke belakang, sebelum masa kejayaan Rudi Hartono dan kawan-kawannya.
Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, dan kawan-kawan masih berstatus mahasiswa yang bertebaran di daratan Eropa. Menggunakan teknologi komunikasi era Perang Dunia II, mereka saling berhubungan satu dengan yang lain, kemudian berkumpul di London, lalu mewakili Indonesia mengikuti pertandingan bulu tangkis tingkat dunia, Thomas Cup.
Mereka berhasil menjuarainya!
+++
Siapapun yang menyaksikan detik-detik pertandingannya, berharap cemas. Berdoa khusuk kepada Tuhan masing-masing agar mengabulkan kemenangan bagi pahlawan-pahlawan itu.
Ketika akhirnya diraih, kita pun menitikkan air mata dan tersenyum bahagia bersama mereka. Meski hanya menyaksikannya dari layar televisi dan terpisah jarak puluhan ribuan kilometer dari arena perhelatan berlangsung. Ikatan 'batin' saudara sebangsa dan setanah air terasa begitu kuat dan hangat.
Setahu saya, tak satupun pahlawan-pahlawan bulu tangkis yang mengharumkan nama bangsa di atas itu yang beragama Islam.
Kita memang tak pernah --- dan tak akan --- mempermasalahkannya.
+++
Kwik Kian Gie, sebelum Gerakan Reformasi bergulir, adalah satu dari sedikit pengamat ekonomi yang kritis terhadap Soeharto dan Orde Baru. Tulisan dan analisa-analisanya selalu dinanti. Terutama oleh mereka yang gemas --- tapi tak kuasa berbuat --- terhadap sepak terjang Soeharto bersama kroni 'menjarah' negeri ini. Mereka yang memimpikan terjadinya perubahan.