Tapi, bagaimana mungkin kita menyalahkan Lis Pratiwi? Sebab bukankah tugas dia semestinya hanyalah belajar, mengikuti kuliah, ujian, meraih kelulusan, mematuhi tata-tertib, dan menyelesaikan kewajiban administratifnya sebagai mahasiswi di sana? Seandainya dia tahu soal akreditasi yang kadaluarsa saat akan lulus kemarin, kemungkinan besar dan hampir pasti pihak perguruan tinggi yang bertanggung jawab mengurus, akan diingatkannya!
***
Berbeda dengan Lis, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) semestinya tidak demikian. Lembaga itu SEMESTINYA mengetahui kapan masa berlaku akreditasi yang diberikan pada kampus Lis berakhir. Maka --- jika benar lembaga pemerintah itu sungguh-sungguh ingin menghadirkan Negara di tengah masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla --- semestinya ia dapat proaktif MENGINGATKAN pengurus kampus tempat Lis Pratiwi kuliah untuk melengkapi persyaratan dan mengurusnya, bukan?
Tidak ada kesalahan --- apalagi keterhinaan --- sama sekali bagi BAN-PT untuk melakukan 'pelayanan' itu. Mungkin saja petugas administrasi di perguruan tinggi Lis disibukkan dengan aktifitas harian sehingga luput memperhatikan bahwa akreditasi program studinya yang berusia 5 TAHUN sudah menjelang kadaluarsa. Saya tak mengatakan mereka benar dengan keteledorannya. Tapi teori kerjasama 'produsen' dan 'konsumen' dalam tata kelola pelayanan (mangement service) sesungguhnya sudah jamak. Dalam prakteknya, pelayanan tersebut diharapkan dapat menjaga kepuasan pelanggan sehingga mereka tetap setia (loyal) dan lebih banyak mengkonsumsi/menggunakan layanan yang disediakan produsen.
Layanan pemerintah memang monopolistik. Demokratisasi hadir untuk menghindari kesemena-menaannya. Itu sebabnya berbagai gagasan perlindungan masyarakat berkembang. Sebagai konsumen, anak-anak, penganut kepercayaan, kelompok yang tidak beruntung secara ekonomi, penyandang cacat fisik ataupun mental, kaum minoritas, dan sebagainya.
Adalah terlalu berlebihan jika kealpaan mengurus perpanjangan akreditasi, lalu menerbitkan ijazah saat kadaluarsa seperti yang dialami Lis, kesalahannya begitu saja ditimpakan kepada pengurus universitas. Apalagi jika semua itu tidak disengaja.
Saya justru condong mencibir BAN-PT yang mestinya lebih peka terhadap masa kadaluarsa akreditas 'pelanggan-pelanggannya'. Sebab SEHARI-HARI tugas dan aktifitas mereka memang tentang hal itu. Apalagi dengan kemudahan sistem yang terkomputerisasi sekarang. Saya yakin BAN-PT juga memilikinya. Tapi mungkin tidak atau belum mampu menggunakan semestinya, ya?
Mungkinkah mereka mrnganggap kekuasaan dan kewenangannya sebagai suatu kemewahan, bukan kewajiban?
Saya tak tahu.
***
Musibah Lis Pratiwi memberikan banyak pelajaran kepada bangsa kita yang sedang berbenah karena ingin sungguh-sungguh menghadirkan negara di tengah masyarakatnya. Cita-cita itu tak mungkin tercapai hanya melalui iktikad pemimpin tertinggi republik ini. Tapi semua pihak harus menyadari dan melakoni proses perubahan (transformasi) yang bersungguh-sungguh.