Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pro Kontra Ahok

12 Maret 2017   21:24 Diperbarui: 12 Maret 2017   21:57 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah mustahil menyesuaikan kebiasaan yang salah untuk melakukan dan mencapai yang benar. Setidaknya teramat sulit.

Mereka yang selama ini tak pernah (peduli) mempertanyakan asal-usul rezeki yang diperoleh, sangat mungkin ikut terganggu. Walaupun tak turut langsung melakukan kebiadaban korupsi-kolusi-nepotisme, tapi mungkin telah terlanjur menggantungkan nasib pada pembelanjaan yang bersumber darinya.

Maka sungguh wajar dan mudah dimengerti jika fitnah maupun kebohongan  --- meski nyata-nyata secara substansial tak berkait dengan penyakit laten yang menjadi musuh bersama yang sedang dibasminya --- begitu gampang menyulut kemarahan dan kebencian mereka padanya.

Mereka memang harus dipimpin untuk berubah. Sayangnya, terlalu banyak musuh yang meyakini kebaikan syahwat korupsi-kolusi-nepotisme yang terus melakukan perlawanan dan mengupayakan segala cara mempengaruhi mereka untuk setia dan menolak perubahan.

--- Ketiga adalah mereka yang hingga kini tetap menjadi obyek penderita.

Sebagian masyarakat memang belum beruntung. Dalam hal pendidikan, pengetahuan, modal, kesempatan, jaringan, lingkungan dan akses. Jadi, tak semata karena kemalasan atau kesalahan mereka. Mungkin sebagian adalah korban dari sistem yang timpang. Atau mereka masih belum beruntung karena termasuk dalam prioritas yang dikalahkan. Sebab negara ini memang sejak semula tertatih mengisi kemerdekaannya. Meski dikerubungi oleh bangsa dan modal yang tak sabar ingin menguasai dan mengeksploitasinya.

Di tengah kemiskinan dan segala anugerah sumber daya alam yang semula berlimpah ruah, pemimpin demi pemimpin pada dasarnya selalu berupaya mewujudkan mimpi-mimpi besar mereka tentang Indonesia dan Masa Depan. Tapi kemiskinan dan ketimpangan menyebabkan banyak pihak yang tak sabar. Lalu merongrong sehingga kompromi (politik) dianggap cara yang paling ampuh. Hanya sayangnya, semakin hari semakin bukan atas nama yang terbaik bagi semua. 

Yaitu demi bangsa dan negara. Kompromi justru sekedar jadi pembagian kekuasaan yang berujung pada kendali pada sumber-sumber ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan pribadi dan kelompok. Itu sebabnya, hingga hari ini, partai dan kelompok politik merasa sangat berkepentingan untuk dapat menempatkan kader maupun simpatisannya pada kursi-kursi menteri dan pemimpin tertinggi lembaga-lembaga negara non kementerian, termasuk korporasi swasta yang dikuasai pemerintah. Keahlian dan profesionalitas bukan yang pertama dan utama.

Ketika Joko Widodo terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke 7 pun, ia tak mampu utuh memenuhi janji memilih dan menempatkan putra-putri terbaik, profesional, dan non partisan untuk mengisi jajaran pembantu terdekatnya. Sejarah telah mencatat sejumlah kader partai yang silih berganti mengisi posisi-posisi itu.

Sebagian masyarakat yang disebutkan kurang atau belum beruntung tadi, dari masa ke masa, memang lebih ditempatkan sebagai obyek penderita. Walaupun mungkin bukan suatu kesengajaan. Sementara ini mereka hanyalah bagian penting dari mimpi kampanye yang kerap terabaikan setelah proses pemilihan usai dan pemenangnya telah ditentukan.

Mereka memang cenderung bergantung nasib. Bahkan ada yang menganggap doa dan kepatuhan pada sang Khalik jauh lebih penting, dibanding upaya duniawi yang dilakukan sendiri, maupun bersama-sama pihak lain, untuk mengurai masalah dan mengupayakan pemecahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun