Musik yang bagus bermula dari komposisinya. Sebuah rancangan tentang (sekumpulan) bunyi dan nada yang dihadirkan dalam sebuah harmoni. Tebal-tipis, tajam-lembut, cepat-lambat, lebar-sempit, penuh-kosong, naik-turun, dan seterusnya. Seluruh instrumen yang terlibat diberi ruang yang paling pas. Juga semestinya. Disana, adil tak berarti sama — sebab adil bermakna sempurna.
Kemudian, musik itu betul-betul diakui bagus, indah, mengagumkan, bahkan menghanyutkan setelah dibuktikan oleh kerja musisinya. Melalui kepiawaian mereka melakukan interpretasi terhadap komposisi yang telah digubah. Mereka adalah seniman-seniman musik yang telah menguasai instrumen yang perlu digunakan secara 'fisik' maupun 'kejiwaan'-nya.
Lalu — untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan para musisi hebat yang terlibat — hadirlah sosok konduktor. Tokoh yang berdiri di depan mereka. Sosok yang menjembatani seluruh musisi menterjemahkan maksud dan hasrat yang dituangkan komponis dalam musik yang digubahnya.
Maka sebuah musik sesungguhnya merupakan persembahan kolaboratif dari tiga serangkai: komponis, konduktor, dan para musisi yang menguasai jiwa dan raga perangkat-perlengkapan yang digunakan.
Mereka saling menghargai. Masing-masing menghormati fungsi dan peran yang lain. Mimpi dan keinginannya sama: menghadirkan orkestrasi musik yang bagus, indah, dan menakjubkan untuk dapat dipahami sekaligus dinikmati mereka yang berkenan mendengarkannya.
***
Demikianlah semestinya sebuah ruang kota diperlakukan. Layaknya sebuah musik. Harus ada yang menggubah komposisi, meng-interpretasi-kan pada instrumen musik yang dilibatkan, dan memimpin orkestrasi keseluruhan instrumen.
+++
Kota (dan wilayah) adalah ruang politik dimana satu kelompok dengan yang lain saling bertempur untuk menawarkan gagasan terbaik bagi keseluruhan masyarakat yang hidup di dalamnya. Masing-masing merayu publik agar memenangkan kontestasi kekuasaan agar sah sekaligus mudah mewujudkan cita-citanya. Membuktikan janji-janjinya.
Jadi tujuan politik yang ideal semestinya adalah mewujudkan dan membuktikan gagasan. Bukan sekedar merebut kekuasaan. Sebab, corak dan warna yang membedakan suatu kelompok (partai) politik dengan yang lain sesungguhnya ada pada gagasan yang ditawarkan. Bukan kekuasaan.
Apa yang kita saksikan dalam dunia perpolitikan Indonesia hari ini adalah sebuah ketololan Nasional yang dengan sengaja memelihara kenaifan, kebodohan, dan kebingungan masyarakat yang sejatinya pemegang kekuasaan tertinggi. Sebab, mereka yang berhimpun dalam kelompok (partai) politik hanya memikirkan kekuasaan sebagai tujuan yang utama. Bukan tentang bagaimana mengembangkan, mewujudkan, dan mempertajam konsep maupun gagasan yang diyakini sebagai yang terbaik bagi masyarakat (bangsa).
Bagaimana mungkin kesimpulan di atas keliru jika kasat mata kita saksikan partai politik A bergotong-royong dengan B untuk mengusung calon kepala daerah X bersaing dengan Y yang diusung partai politik C dan D? Sementara, di daerah yang lain, A dan C bergandeng tangan melawan B dan D?
Kompromi dalam politik memang niscaya. Tapi tentunya dalam konteks untuk mempertahankan konsep dan gagasan yang dipertaruhkan. Bukan sekedar pembagian kekuasaan yang ujung-ujungnya bermuara pada eksploitasi peluang dan nilai ekonomis untuk kepentingan kelompok yang sempit semata.
Partai-partai politik itu dapat kita analogikan dengan para musisi yang berada di dalam sebuah orkestra. Sedangkan kepala daerah yang dikonteskan adalah calon konduktor yang ditawarkan masing-masing untuk memimpin mereka menginterpretasikan gubahan.
Persoalannya, komposisi yang mana dan gubahan siapa yang akan mereka bawakan?
***
Planologi semestinya memang berangkat dari pemahaman sosialis tapi demokratis. Sebab dari sana filsafat dan konsep pengetahuan maupun ilmu rekayasa tentang ruang dan dinamika aktivitas di dalamnya, harus berkembang. Gagasan-gagasan Planologi memang harus berpihak kepada publik luas — para proletar — meski tidak menafikan hegemonitas kapitalisme. Sementara di sisi yang lain, gagasan-gagasan itu harus tetap mampu memberi ruang harmonis bagi kedigdayaan kekuatan modal sebagai solist pada orkestrasi kemajemukan sosial-budaya masyarakat yang hidup berkecamuk dalam ruang yang difikirkannya.
Pemikiran-pemikiran yang ditawarkan Planologi mestinya bukan hanya sekedar mewarnai perpolitikan Nasional. Tapi juga harus mampu mengintervensinya.
***
Saya kira ada kekeliruan mendasar bagi pemikir dan aktivis Planologi saat ini dalam menyikapi kodrat dan hakekat dirinya. Disiplin yang semestinya menekuni ilmu dan pengetahuan ‘komposisi’ ruang politik kota dan wilayah itu, kini hampir bermetamorfosis penuh menjadi sekedar penulis ‘partitur’ para komposer abal-abal yang sekedar numpang lewat mengekspoitasi kekayaan semesta bagi kepentingan dirinya. Padahal mereka tak pernah peduli pada penonton yang bergumam malas, frustasi, hingga satu per satu meninggalkan gedung konser.
Lalu — jika terus abai dan menafikan fakta empiris itu — mengapa kalian ribut soal peran dan fungsi?
Eksistensi sesungguhnya tak pernah hadir dari secarik sertifikat atau sekedar bergerombol. Sebab dunia nyata sesungguhnya membutuhkan argumentasi yang cerdik, cerdas, dan membangkitkan gairah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI