Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Babak Kedua Debat Pilkada DKI

27 Januari 2017   23:41 Diperbarui: 28 Januari 2017   00:20 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Menepuk Air di Dulang, Memercik ke Muka Sendiri"

Saya tak tahu dimana belajarnya atau apa referensi yang digunakan pasangan calon gubernur Anis Baswedan dan Sandiaga Uno. Padahal mereka berlatar belakang pendidikan tinggi dan berpengalaman cukup.

Mengapa penyampaian visi-misi nya langsung dimulai dengan 'kritik yang terukur', ya? Lengkap pula dengan 'angka rapor' pemerintahan patahana.

Ampun deh!

Visi-misi harusnya tentang mimpi. Soal harapan muluk yang idealnya mewujud. Sebuah gambaran tentang ke arah 'surga' yang mana Jakarta akan menuju.

Perdebatan yang diharapkan cerdas dan mencerahkan seketika menjadi hambar. Sebab sejak awal sudah terbayang, bermacam materi yang disiapkan sekedar untuk menyerang dan berusaha 'mengkerdilkan' lawan. Bukan pameran konsep dan gagasan cemerlang yang menggairahkan harapan maupun semangat Jakarta dan masyarakatnya.

+++

Nafsu mencari-cari 'kesalahan' dan 'menyepelekan' hasil kerja pasangan patahana segera menjadi langgam utama pasangan calon lain --- baik Agus-Silvi maupun Anies-Sandi --- pada hampir seluruh sesi yang berlangsung setelahnya.

Tapi sesungguhnya --- kedua pasangan selain patahana itu ---justru menggali 'kubur' mereka sendiri. Sebab setiap kali mengira dapat menohok 'kelemahan' Ahok-Djarot, hal yang terjadi justru kesempatan luas pasangan patahana menjelaskan lebih jernih capaian dan keberhasilan yang telah diraih selama ini.

Entah sengaja atau tidak, ketika kesempatan tersedia, pasangan Agus-Silvi dan Anis-Sandi justru bergantian saling bertanya dengan nuansa yang begitu kental untuk menghakimi Ahok-Djarot. Mula-mula Sandi, menanyakan catatan Silvi ketika berada di bawah kepemimpinan Ahok. Lalu Silvi, bertanya kepada Anis soal participatory planning yang semestinya lebih melibatkan masyarakat. Sesuatu yang klise, sangat subyektif, dan sia-sia karena hingga saat ini konsepsi ideal demikian memang masih berada pada wacana teoritis semata.

+++

Bagi saya, tak ada gagasan baru dan menarik yang mengemuka dari perdebatan kedua malam ini. Hal yang sesungguhnya sangat disayangkan sebab tak mampu mengedepankan potensi dan kemampuan mereka yang sesungguhnya.

Ada hal menarik. Agus-Silvi maupun Anis-Sandi tak memahami bahwa permasalahan utama Jakarta setelah semua keberhasilan dan gebrakan yang dilakukan Ahok-Djarot selaku patahana, adalah soal transformasi. Berbagai fakta yang mengemuka ketika Ahok-Djarot wajib mengambil masa cuti kampanye beberapa bulan terakhir ini, mulai ada yang terlihat kembali ke kondisi dan situasi semula. Walaupun sebelumnya perbaikan dan penyempurnaan telah pernah diselenggarakan. Sementara itu, pasangan patahana Ahok-Djarot sendiri seperti tak menyadari permasalahan. Padahal akan sangat ciamik jika mereka gunakan aebagai catatan penyempurnaan yang akan digunakan seandainya terpilih lagi untuk meneruskan kepemimpinannya.

27-1-2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun