Kita acuh ketika ada yang tertarik padanya. Lalu mencintainya. Bahkan hingga ada yang mengajaknya ke pelaminan. Lalu, hoax sang pendatang-pun berkembang biak, melahirkan turunan, dan membangun generasinya. Begitu cepat hingga jurnalisme sang pribumi-pun terdesak dari habitatnya. Kini mereka telah berasimilasi. Menyatu dalam ras yang baru : jurnalisme hoax.
**
Hoax tak lagi asing yang pemalu. Tapi dominan yang buas. Sekaligus rakus.
Seperti yang sudah-sudah. Kita selalu terlambat menyadari wabah. Baru bergegas ketika yang asli dan murni terancam punah. Setelah dikepung pencemarannya.
Tapi ada soal yang pelik. Hoax telah —- dan sempat —- berkembang menjadi ‘iman’. Lengkap dengan rumah-rumah ‘peribadatan’-nya. Bahkan mereka sudah berani menuntut hak agar disetarakan dengan yang lain.