Hal yang tidak menyenangkan, tidak ingin didengar/dilihat, atau tidak diharapkan —- hadir bergantian di hadapan kita. Sering dengan cara yang memaksa. Tiba-tiba dan begitu saja memasuki wilayah privat. Tanpa permisi ataupun basa-basi. Walau kita tak pernah mengundangnya.
Semua gara-gara aksesibilitas (broadband) telepon seluler yang di negeri kita penetrasinya terhadap jumlah penduduk telah mencapai angka 132.3 persen. Perangkat yang menyatu dengan ‘jalan raya informasi’ dan mampu menghubungkan ‘taman pribadi’ kita dengan apa saja, siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
Bertahap tapi pasti, media tradisional —- koran, majalah, radio, dan televisi —- yang sebelumnya menjadi panutan, semakin tersingkir. Kini, mereka lebih sering menjadi pesorak di pinggir panggung yang hingar-bingar, sesak, dan kacau.
***
Jurnalisme mula-mula ragu — sungguhkah nilai-nilai yang diusung masih memiliki kesucian dan keluhuran seperti yang diyakini selama ini?
Kemudian mereka gamang —- karena universalitas nilai itu ternyata tak lagi sakral.
Lalu menciut —- menghadapi kenyataan yang terus-menerus menista hak dan kewajiban istimewa mereka untuk mempertahankan, memelihara, maupun mengembangkan keniscayaannya.
***
Dunia memang telah begitu cair.
Atas nama pasar popularitas —- setelah semua kemudahan yang semakin mudah —- sesungguhnya hoax pernah didekati. Kemudian digoda. Bahkan dirayu dan dirangkul. Meski wajah culas dan sikap buasnya nyata membayang di balik keindahan yang tampak.
Waktu itu, ia masih muda. Belum berkuasa. Juga asing.
Kita acuh ketika ada yang tertarik padanya. Lalu mencintainya. Bahkan hingga ada yang mengajaknya ke pelaminan. Lalu, hoax sang pendatang-pun berkembang biak, melahirkan turunan, dan membangun generasinya. Begitu cepat hingga jurnalisme sang pribumi-pun terdesak dari habitatnya. Kini mereka telah berasimilasi. Menyatu dalam ras yang baru : jurnalisme hoax.
**
Hoax tak lagi asing yang pemalu. Tapi dominan yang buas. Sekaligus rakus.
Seperti yang sudah-sudah. Kita selalu terlambat menyadari wabah. Baru bergegas ketika yang asli dan murni terancam punah. Setelah dikepung pencemarannya.
Tapi ada soal yang pelik. Hoax telah —- dan sempat —- berkembang menjadi ‘iman’. Lengkap dengan rumah-rumah ‘peribadatan’-nya. Bahkan mereka sudah berani menuntut hak agar disetarakan dengan yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H