Saya semakin tergelitik untuk menguji hipotesa 'bhinneka tunggal ika' memiliki makna yang jauh lebih sempurna dibanding 'ketuhanan yang maha esa' yang tercantum pada sila pertama Pancasila yang menjadi dasar terbentuknya negara kita.
***
Kini, sekonyong-konyong tak ada lagi kedamaian di 'ruang tengah' itu. Tempat yang nyatanya pernah hadir dalam semu karena kita menganggapnya telah cukup memelihara keberagaman. Di sana seolah-olah kita merayakan kemajemukan. Padahal, kondisi asismetris tetap berlangsung dan terpelihara. Mengintip dengan sabar menanti peluang. Saling meniadakan satu dengan yang lainnya. Sebab memang tak pernah setara.
***
Lalu pertanyaannya, sungguhkah kualitas 'pemahaman' dan 'kesadaran' mereka yang tergabung di kutub yang sedang bertransformasi itu berimbang secara layak?
Saya meragukannya.
Sebab perihal 'keimanan' yang mendasarinya adalah sesuatu yang bergerak bebas antara rasionalitas dan dogma. Tak semua yang berkesempatan --- dan juga berkemampuan --- sama untuk menyikapinya. Kehidupan duniawi sehari-hari yang kadang cukup melelahkan, menyisakan ruang yang sempit. Menggiring sebagian diantaranya ke ranah keyakinan dogmatis. Meskipun menyangkut hal-hal yang menuntut rasionalitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H