Apa sesungguhnya yang sedang berlangsung?
Pertama, mungkin karena label pribumi dan non-pribumi masih tetap bersemayam di benak sebagian besar kita. Setipis apapun, sekat pemisah itu belum sungguh-sungguh sirna. Sedikit saja 'kekeliruan' yang dilakukan sang minoritas maka sekat tersebut segera menebal. Lalu mempertegas kembali pemisahan 'kami' dan 'mereka'. Jadi, Indonesia yang sesungguhnya masih hadir dengan ragu di bumi pertiwi ini.
Kedua, mungkin karena berketuhanan menjadi hal yang wajib. Bukan keberagamannya. Status yang mengulas hal ini pernah saya sampaikan beberapa waktu lalu di bawah tajuk 'Dialektika Penistaan'. Untuk alasan yang hampir sama maka penjelasannya tak lagi saya ulang disini.
Ketiga, mungkin karena 'berdagang' merupakan budaya utama bangsa kita. Bukan kompetisi yang konstruktif. Bersaing karena keunggulan kemampuan. Bukan karena kekayaan yang sesungguhnya anugerah Tuhan. Hal yang mengantarkan kita pada sikap seolah apapun menjadi halal untuk diperdagangkan. Termasuk kekuasaan hingga keyakinan. Lalu berketuhanan menjadi segala-galanya hingga mungkin menyingkirkan kemanusiaannya, harmonisasi sesama makhluk ciptaan Tuhan itu sendiri. Sebab, hal yang kita perdagangkan adalah milik Nya. Ada kekhawatiran Dia tak berkenan, marah, lalu mencabut semua 'kemewahan istimewa' yang dianugerahkan Nya. Lalu kita terserat dalam bangunan logika-logika yang mensetarakan Sang Khalik dengan makhluk yang lemah, serba kekurangan, dan penuh kebencian. Maka yang tak seiman selalu berada di seberang (lihat status lain yang berjudul 'Manusia, Tuhan, dan Diri Sendiri).
***
Ke tiga kemungkinan itu lalu bertali-temali membangun asbab-musabab. Seolah hidup ini hanya karena kebaikan Tuhan yang telah menganugerahkan semua kekayaan untuk diperdagangkan agar pengikutnya dapat menikmati kemewahan hidup. Maka mereka yang tak seiman senantiasa mengancam dan harus terus diawasi. Jadi, bagaimanapun dan apapun, mereka adalah musuh. Termasuk keturunan dari para pendatang yang telah berkembang biak di sini tapi memiliki keyakinan yang berbeda.
Sebaliknya, kelompok pendatang lain yang memiliki keyakinan dan Tuhan yang sama, sekecil apapun mereka, adalah mitra. Menjadi saudara karena seiman. Jauh lebih berharga dan mulia dibanding kerabat kandung sekalipun. Apalagi mereka yang memiliki 'keyakinan' berbeda.
***
Inilah salah satu peninggalan sejarah yang sewaktu-waktu bisa membawa bencana bagi bangsa ini. Musuh yang bergentayangan di tengah kehidupan kita yang tanpa aba-aba memadai, siap menerkam dan menghancurkan dalam seketika. Sebuah pekerjaan rumah yang memang amat sangat sulit dan terbukti belum berhasil dituntaskan hingga sekarang.
Jika kita mencintai bangsa ini, singkirkanlah segera apapun yang bermakna memisahkan : pribumi dengan non-pribumi, kelompok agama mayoritas dan minoritas, garis keturunan yang istimewa atau bukan, dan seterusnya.
Enyahkan saja semua istilah itu, berikut dengan segala perlakuan yang berkait padanya.