Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dialektika Penistaan

11 November 2016   13:27 Diperbarui: 11 November 2016   13:37 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seandainya, sila pertama Pancasila bukan 'Ketuhanan yang Maha Esa', tapi 'Bhinneka Tunggal Ika', apakah kita tetap gaduh mempersoalkan penistaan agama seperti sekarang ini?

Seandainya demikian, mungkinkah kemajemukan sungguh-sungguh merupakan sebuah keniscayaan bagi bangsa kita?

Sebab, sangat mungkin Ahok tak pernah terpeleset atau keseleo lidah menyebut kata-kata 'surat Al Maidah ayat 51' ketika berpidato di Kepulauan Seribu kemarin.

Mengapa?

Karena amat-sangat mungkin tak pernah ada pula yang mempropagandakan ajaran yang menafsirkan ayat Al Quran itu sebagai larangan memilih pemimpin yang Non Muslim bagi kalangan Muslim.

Mengapa?

Karena menyebar-luaskan pemahaman demikian --- menafsirkan ajaran yang mengedepankan exclusivity kelompok --- sama saja dengan menafikan kemajemukan itu sendiri. Tentulah sebagai sesuatu yang terlarang karena mengganggu keharmonisan masyarakat yang semestinya saling menghormati tanpa harus mengedepankan superioritas golongan. Jadi, protes keras dan tuntutan penistaan 'pluralisme' pasti sudah muncul, dan dasar-dasar hukum terkait telah lebih dulu membungkamnya sehingga tak mungkin lagi terlintas di benak Ahok ketika berbicara dengan masyarakat Kepulauan Seribu itu.

***

Lalu, mengapa sampai terfikir pengandaian sila pertama itu bukan 'Ketuhanan yang Maha Esa' tapi justru 'Bhinneka Tunggal Ika'?

Sebab, sila 'Ketuhanan yang Maha Esa' akhirnya bermuara pada keharusan setiap warga negara Indonesia berketuhanan. Keharusan artinya wajib. Jika tak terpenuhi berarti salah. Maka akan dihukum karena tak mengindahkan ketentuan.

Tapi keharusan kemudian menyebabkan agama --- ajaran atau kepercayaan yang terkait konsepsi Tuhan --- menemukan ruang 'perdagangannya'. Membuka peluang kepada masing-masing agama atau kepercayaan untuk saling memperebutkan pengaruh. Maksudnya agar terpilih untuk 'dibeli' oleh mereka yang diharuskan memiliki salah satu. Maka agama-agama sangat mungkin masuk di ranah 'pemasaran'. Selain memperkokoh tentang 'konsep produk', juga perlu memperkuat 'layanan pelanggan', 'purna jual', dan seterusnya. Pada akhirnya --- karena agama memang tak hanya satu dan beragam --- maka persaingan tak mungkin terhindari.

Dan keharusan itu pada akhirnya tak menyisakan pilihan selain memiliki. Apapun agamanya.

Mungkinkah hal itu yang menyebabkan hegemoni pemeluk agama yang mayoritas sehingga mereka merasa berhak didahulukan dan dilindungi?

Nalar saya agak sulit menerima logika kelompok mayoritas yang justru menuntut didahulukan bahkan dilindungi.

Bukankah dalam keseharian kita justru harus lebih banyak memberikan perhatian --- juga kepedulian --- kepada yang sedikit agar tetap memiliki habitatnya dan tak punah?

Saya lalu mencoba mencari perumpamaan yang cukup sesuai. Misalnya dalam hal berpakaian. Keharusan seseorang memiliki Tuhan kurang lebih sama dengan kewajiban manusia untuk berpakaian. Apapun diperbolehkan selama ia masih berpakaian. Berjalan di depan khalayak umum tanpa busana --- atau telanjang bulat --- adalah subversif. Tapi memilih model busana apapun dan bagaimanapun --- selama masih layak difungsikan sebagai pakaian --- adalah niscaya. Maka 'pemilik' masing-masing pakaian akan bersaing ketat memperebutkan pasarnya. Semua akan menawarkan 'kecap yang nomor satu'.

***

Sungguh saya belum menemukan jawaban dari pertanyaan berandai-andai di atas.

Apakah saya harus mengimaninya begitu saja sebagai dogma?

Bagi saya, keyakinan pada Tuhan berikut dengan ajaran-ajarannya adalah sesuatu yang amat privat. Hal yang tak pernah goyah meskipun dunia ini runtuh.

Saya beriman tanpa keraguan bahwa Tuhan saya tak akan murka ataupun agama saya tak bakal cedera hanya karena perkataan --- bahkan perbuatan --- yang dilakukan manusia.

Secuil pun tak bergeser!

Jadi, seandainya sila pertama itu berbunyi 'Bhinneka Tunggal Ika', mungkin ketentuan soal 'penistaan agama' tak diperlukan lagi. Kita justru perlu menjaga diri masing-masing agar terhindar dari 'penistaan keberagaman'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun