Dan keharusan itu pada akhirnya tak menyisakan pilihan selain memiliki. Apapun agamanya.
Mungkinkah hal itu yang menyebabkan hegemoni pemeluk agama yang mayoritas sehingga mereka merasa berhak didahulukan dan dilindungi?
Nalar saya agak sulit menerima logika kelompok mayoritas yang justru menuntut didahulukan bahkan dilindungi.
Bukankah dalam keseharian kita justru harus lebih banyak memberikan perhatian --- juga kepedulian --- kepada yang sedikit agar tetap memiliki habitatnya dan tak punah?
Saya lalu mencoba mencari perumpamaan yang cukup sesuai. Misalnya dalam hal berpakaian. Keharusan seseorang memiliki Tuhan kurang lebih sama dengan kewajiban manusia untuk berpakaian. Apapun diperbolehkan selama ia masih berpakaian. Berjalan di depan khalayak umum tanpa busana --- atau telanjang bulat --- adalah subversif. Tapi memilih model busana apapun dan bagaimanapun --- selama masih layak difungsikan sebagai pakaian --- adalah niscaya. Maka 'pemilik' masing-masing pakaian akan bersaing ketat memperebutkan pasarnya. Semua akan menawarkan 'kecap yang nomor satu'.
***
Sungguh saya belum menemukan jawaban dari pertanyaan berandai-andai di atas.
Apakah saya harus mengimaninya begitu saja sebagai dogma?
Bagi saya, keyakinan pada Tuhan berikut dengan ajaran-ajarannya adalah sesuatu yang amat privat. Hal yang tak pernah goyah meskipun dunia ini runtuh.
Saya beriman tanpa keraguan bahwa Tuhan saya tak akan murka ataupun agama saya tak bakal cedera hanya karena perkataan --- bahkan perbuatan --- yang dilakukan manusia.
Secuil pun tak bergeser!