[caption caption="Kaki-kaki yang Berjalan (wearemodeshift.org)"][/caption]Jika tak ada unjuk rasa menentang kehadiran aplikasi online untuk layanan taksi minggu lalu, mungkin saya belum meluangkan waktu memperhatikan UU No. 22 tahun 2009 yang mengatur lalu-lintas dan angkutan jalan.
Seluruh undang-undang itu dituangkan dalam 203 halaman. Termasuk penjelasan pasal demi pasalnya. Empat kali lipat dibanding UU 14/1992 yang digantikannya (dituangkan dalam 52 halaman termasuk penjelasan). UU 22/2009 terdiri dari 22 bab dan 326 pasal. Sementara yang sebelumnya, UU 14/1992, hanya 16 bab dan 72 pasal.
Lalu, apakah banyaknya halaman maupun jumlah bab dan pasal pada undang-undang terbaru yang diluncurkan pada era Soesilo Bambang Yudhoyono itu lebih baik, lebih maju, dan lebih sesuai dengan tuntutan zaman dibanding UU 14/1992 yang ditanda-tangani Soeharto?
Menurut saya sama sekali tidak!
Sebelumnya, UU 14/1992 hampir selalu memberi cek kosong kepada pemerintah untuk menyusun aturan pelaksanaan setiap ketentuan yang diatur di dalamnya. Sementara itu, UU 22/2009 hanyalah meneruskan gaya rancang-bangun yang hampir sama dengan penonjolan pernak-pernik yang lebih detail dan ramai semata. Di beberapa bagian justru lebih sekedar legitimasi terhadap susunan dan kedudukan birokrasi yang berpotensi koruptif. Tak ada perubahan substansial dan mendasar yang menanggapi tuntutan permasalahan yang dihadapi. Juga kebutuhan reformasi berbangsa dan bernegara dalam hal berlalu-lintas dan angkutan jalan yang harapannya pernah mencuat ketika rezim Soeharto lengser pada tahun 1998 lalu.
PENGANGKUTAN
Jalan adalah elemen utama yang paling penting dalam tatanan hidup manusia. Dimanapun dan sampai kapanpun. Sepanjang kehidupan kita di dunia ini masih tak mampu melepaskan diri dari urusan gaya grafitasi bumi. Bukan gratifikasi.
Manusia memang memerlukan ruang melintas untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Entah menggunakan kendaraan ataupun tidak. Sekedar melayani kebutuhan perpindahan dirinya dan/atau manusia lain, atau bersama dengan barang yang dibawanya. Ruang tempat melintas itu kemudian disebut jalan. Ruang yang tak hanya digunakan oleh seorang atau sekelompok manusia tertentu. Tapi juga dimanfaatkan oleh yang lain secara umum.
Maka jalan memang berurusan dengan kepentingan publik. Hajat orang banyak dengan kepentingan dan dampak yang lebih luas dari urusan orang per orang. Itulah sebab negara diperlukan dan harus hadir disana. Ia akan mewakili kepentingan seluruh kita tanpa kecuali. Pada ranah itu, kekuasaan negara sesungguhnya tak diperkenankan berpihak selain pada kepentingan umum. Jika karena satu dan lain hal ada pihak atau kelompok yang harus atau perlu dikorbankan maka - melalui pemerintah - negara wajib menyediakan kompensasi yang setara dan memadai. Memastikan perlakuan yang seadil-adilnya.
Manusia maupun barang yang berpindah memang bisa melintas di air maupun udara. Tak selamanya di darat walau tetap akan kembali ke darat. Jadi pengangkutan darat adalah yang terutama. Karena manusia tak memiliki insang untuk bernafas di dalam air sehingga ia tak bisa selamanya hidup dan beraktivitas di sana. Juga tak memiliki sayap untuk bisa terbang sesuka hati menjalankan hidup sepenuhnya di udara.
Maka tatanan pengangkutan darat menjadi demikian penting. Disana terdapat simpul-simpul yang mengintegrasikan layanannya dengan moda pengangkutan yang lain. baik dengan lintasan pergerakan yang berbasis air ataupun udara. Simpul-simpul integrasi itu biasa kita sebut sebagai pelabuhan (seaport) ataupun bandar udara (airport). Oleh karenanya pengangkutan darat (land transportation) adalah ibu dari semuanya.
KELELUASAAN BERGERAK
Jarak yang memisahkanlah yang menyebabkan kita harus bergerak. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk memenuhi tujuan tertentu. Belanja, sekolah, bertemu dengan kekasih, ke tempat kerja, menyaksikan konser, menjumpai dokter, melayat sejawat yang meninggal, atau sekedar menikmati matahari terbenam di tepi laut. Hal-hal yang tak mungkin semua tersedia ataupun dihadirkan di rumah yang kita tempati sehari-hari.
Hal paling primitif bagi manusia dalam melakukan perpindahan - bergerak dari satu titik ke titik yang lain - adalah dengan menggunakan anggota tubuhnya. Kecuali jika ia memiliki kendala fisik. Seorang manusia yang normal akan menggunakan sepasang kakinya untuk berjalan. Bayi yang baru lahir dan masih merangkak tak termasuk pada hal yang dimaksud. Begitu pula orang tua renta yang bahkan tak sanggup lagi menopang tubuh dengan kedua tungkainya.
Lalu, ketika jarak mulai terbentang, manusia kemudian berfikir tentang sesuatu yang dapat membantunya berpindah. Sesuatu untuk menghemat tenaganya, agar lebih cepat, lebih mudah, dan juga lebih nyaman.
Pada mulanya digunakanlah hewan tunggangan yang bisa dijinakkan. Kemudian lahir inovasi roda. Mesin penggerak. Lintasan khusus atau rel. Dan seterusnya.
Hal-hal yang membantu dan memudahkan pergerakan itu adalah kemewahan yang tak dimiliki oleh setiap manusia. Disana ada soal persyaratan. Entah sosial, ekonomi, budaya, ataupun politik. Maka disana perlu kehadiran negara agar dapat mengatur dan memelihara keadilan bagi semua yang tergabung dan berkepentingan dalam suatu ruang aktivitas kehidupan bersama.
Semua pergerakan itu, mulai dari yang hanya mengandalkan kaki sebagai anggota tubuhnya hingga menggunakan sesuatu yang bisa dikendarai, bermesin ataupun digerakkan tenaga manusia maupun binatang, beroda tunggal hingga banyak, secara bersama-sama akan menempati ruang yang disebut jalan.
Nah, jenis pergerakan - perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain - apakah yang merupakan hak dan kemampuan publik terluas dan terbanyak?
Berjalan kaki.
Semestinya - sebelum macam-macam pergerakan lain yang melibatkan alat bantu apapun - negara harus mengutamakan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan berjalan kaki terlebih dahulu. Bukan terbolak-balik seperti sekarang. Dengan kata lain, sebelum mengutak-atik aturan berlalu-lintas dan angkutan jalan yang lain, dahulukan soal perjalanan manusia yang menggunakan kakinya.
Itulah alasan pokok mengapa saya nyatakan UU 22/2009 tentang lalu-lintas dan angkutan jalan itu tak memiliki semangat reformasi substansial dan mendasar. Ia sama sekali tak bergeser dari filosofi dan sudut pandang yang tercermin pada UU 14/1992 sebelumnya. Sesuatu yang sesungguhnya melenceng dari makna sila ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’. Sebab, di hampir semua jalan-jalan yang terbentang di republik Indonesia hari ini, manusia-manusia yang berjalan kaki disana seolah hanya ‘Butiran Debu’. Seperti lantunan melankolis dari kelompok Rumor itu.
KEHADIRAN NEGARA
Ketika jarak mulai membentang dan semakin menjadi kendala untuk ditempuh dengan berjalan kaki; ketika kehadiran-peran-dukungan kendaraan semakin dibutuhkan untuk menyiasati jarak yang memisahkan itu; ketika tak semua memiliki kemewahan pribadi untuk menguasai dan menggunakan kendaraan yang dapat melintas dengan aman-cepat-nyaman di ruang-ruang jalan yang menghubungkan lokasi asal dan tujuannya; … maka disanalah negara perlu dan harus hadir.
Melalui pemerintah, negara wajib mengelola jalan sebagai ruang publik agar tak semata dikuasai oleh yang mampu mengupayakan fasilitas (kendaraan) pribadi. Keadilan harus ditegakkan sehingga mereka yang tidak atau kurang beruntung tetap memiliki kesempatan bergerak dan berpindah yang sepadan. Maka pemerintah diserahi tanggung jawab untuk menyelenggarakan pengangkutan umum. Sebagaimana ditegaskan pada pasal 138 UU 22/2009 yang belum ‘move on’ itu.
Pada hakekatnya negara melalui pemerintah menyelenggarakan angkutan umum untuk melayani publik luas secara kolektif. Dibanding kendaraan pribadi, menumpang angkutan umum tentu harus berhadapan dengan sejumlah batasan. Selain berjadwal, ia tak mungkin melayani perjalanan dari pintu ke pintu seperti kendaraan pribadi. Sejatinya angkutan itu hanya beroperasi pada rute-rute tertentu yang dipandang paling optimal untuk melayani perjalanan masyarakat luas. Lalu di sepanjang lintasannya ditetapkan sejumlah tempat perhentian. Disanalah mereka yang ingin menumpang kendaraan umum yang disediakan akan naik dan turun.
Lalu, untuk menyempurnakan perjalanannya - mulai dari lokasi asal hingga ke tempat perhentian angkutan umum terdekat, ataupun dari perhentian terakhir hingga ke lokasi tujuannya - cara yang paling jamak dilakukan manusia adalah dengan berjalan kaki.
Berjalan kaki juga dilakukan untuk berpindah dari satu moda angkutan ke moda yang lain. Katakanlah jika ingin melanjutkannya dengan angkutan umum yang beroperasi tanpa lintasan tetap seperti taksi, ojek, dokar, ataupun becak. Bahkan dari dan ke tempat memarkirkan kendaraan pribadi yang digunakan. Sejumlah perjalanpun sesungguhnya ada yang cukup ditempuh hanya dengan berjalan kaki tanpa memerlukan kendaraan apapun.
Jadi, hal pokok pada lalu lintas di jalan-jalan raya yang sesungguhnya selalu terkait dengan aktivitas berjalan kaki. Bukan perjalanan yang menggunakan moda kendaraan apapun yang dapat mengangkutnya. Dengan demikian, lalu lintas yang menggunakan kendaraan di jalan raya - baik yang digerakkan mesin, orang, maupun binatang - pada prinsipnya hanyalah substituasi terhadap pergerakan manusia yang menggunakan kakinya untuk berjalan.
Kehadiran negara semestinya merancang, mengatur dan mengelola agar kesempurnaan aktivitas berjalan kaki selalu berada pada prioritas pertama dan utama sebelum peserta lalu-lintas lain yang menggunakan bantuan kendaraan.
Tapi, mengapa Undang-undang nomor 22 tahun 2009 yang mengatur lalu lintas dan angkutan jalan itu tidak disusun dan dikembangkan dengan mengacu pada kebutuhan, kesempurnaan pelayanan, dan kenyamanan berjalan kaki sebagai filosofi dasarnya? Simaklah dengan seksama mulai dari bagian pertimbangan undang-undang itu hingga uraian pasal demi pasalnya.
PRIORITAS
Setelah memperhatikan kesempurnaan ruang bagi aktivitas berjalan kaki, pertimbangan pertama yang mestinya difikirkan di dalam undang-undang ketika mengatur soal kehadiran kendaraan di jalan raya adalah perlu dan harusnya negara memberikan ruang kepada sebagian (anggota masyarakat) yang memiliki kemewahan dalam mengupayakan, memiliki, dan menggunakannya secara pribadi sebagai alat bantu untuk melakukan perjalanan. Bagaimanapun, ruang yang harus disisihkan itu sesungguhnya adalah milik bersama seluruh masyarakat. Ruang yang digunakan untuk lalu-lintas kendaraan itu perlu dan harus disediakan terpisah agar kemudahan, keamanan, dan kenyamanan pejalan kaki tetap terjamin.
Ruang yang digunakan kendaraan untuk melintas di jalan-jalan raya itu sesungguhnya bersifat eksklusif. Pejalan kaki tak bisa berbaur sempurna di sana. Sebab, sangat berbahaya dan tak mungkin nyaman. Sementara itu, mereka yang menggunakan kendaraan tersebut tetap menggunakan ruang bersama dengan mereka yang hanya mampu berjalan kaki. Dengan kata lain, ruang untuk berjalan kaki akan digunakan oleh (hampir) seluruh masyarakat sedangkan ruang untuk lintasan kendaraan hanya digunakan oleh sebagian diantaranya saja.
Oleh sebab itu, negara harus dan perlu bijaksana mengambil peran dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan angkutan publik. Agar ruang lintasan kendaraan itu tak hanya dikuasai oleh pengguna kendaraan pribadi.
Sebagai suatu bentuk pelayanan umum, angkutan publik memberi kesempatan kepada seluas-luasnya masyarakat untuk menumpang dan menggunakannya secara bersama-sama. Walaupun kemewahan yang disajikan - khususnya soal mudah dan nyaman - tentu saja tak mungkin mencapai kesempurnaan yang dapat diberi oleh kendaraan pribadi.
Ruang jalan raya yang diperuntukkan untuk kendaraan, pada mulanya, dapat digunakan bersama oleh kendaraan pribadi maupun umum. Tapi karena keterbatasan ruang yang tersedia maka negara harus memperhatikan skala prioritas diantara keduanya. Dibanding kendaraan pribadi, kendaraan angkutan umum publik mesti didahulukan. Sebab, jumlah yang terdampak dan menerima manfaat pasti lebih banyak dibanding pemilik dan pengguna kendaraan pribadi. Artinya, pada ruang yang tersedia di jalan raya, pertama-tama harus diprioritaskan untuk pejalan kaki terlebih dahulu. Lalu kemudian untuk kendaraan angkutan umum publik. Baru yang terakhir untuk kendaraan pribadi.
PENYELENGGARAAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 139 UU nomor 22 tahun 2009 menegaskan soal tanggung jawab melaksanakan penyelenggaraan angkutan umum.
Fakta hingga hari ini, untuk menyelanggarakan angkutan umum yang dapat melayani publik luas, pemerintah bukan hanya membutuhkan modal dan biaya yang besar, tapi juga kemampuan dan kecakapan untuk pelaksanaan operasionalnya. Jika pemerintah tak sanggup menyelenggarakannya secara utuh maka ia boleh meminta bantuan, mengajak serta, dan bekerja sama dengan masyarakat yang berminat dan berkemampuan.
Meski demikian, kebolehan itu tak menghapus ataupun menggugurkan tanggung-jawab yang diamanahkan. Masyarakat (pengusaha) yang ambil bagian pada layanan angkutan umum (publik) seyogyanya dipandang sebagai juru-selamat. Bukankah mereka telah bersedia hadir menutup ketidak mampuan pemerintah menyelenggarakan kewajibannya?
Jadi, sesungguhnya tak perlu ada anggapan soal peluang komersial pada penyediaan layanan publik. Sebab layanan publik adalah ranah dan kewajiban pemerintah menjalankan fungsi sosial terhadap masyarakat luas. Sepenuhnya merupakan tanggung jawab yang mutlak di bawah kendalinya. Bahwa jika kemudian hadir pihak-pihak yang bersedia menolong, membantu, atau bekerja sama dengannya maka hal itu semata-mata demi dan untuk menyempurnakan pelayanan publik yang harus diberikan. Artinya, pemerintah harus mencanangkan cita-cita dan program kerja yang terukur agar suatu saat seluruh pelayanan itu mampu disediakan dan dikelolanya sendiri. Dengan kata lain, pihak-pihak yang bersedia menolong, membantu, dan bekerja sama dalam pelayanan angkutan umum publik mestinya hanya bersifat sementara waktu. Bukan selamanya.
Dengan demikian, wajar dan semestinya lah jika masyarakat (pengusaha) yang ditawarkan terlibat mengharap manfaat dan keuntungan pribadi atas jasa peran sertanya. Sebab, negara kita adalah negara demokrasi. Bukan sosialis atau komunis yang dapat mencabut hak-hak sipil atas nama kepentingan publik. Untuk itu, negara dapat memberikan wewenang dan kekuasaan kepada pemerintah untuk melakukan tawar-menawar soal ongkos yang harus dikorbankan kepada pihak yang bersedia menolong, membantu, dan bekerjasama dengannya. Semata-mata didasari pertimbangan bahwa ongkos tersebut lebih efektif dan efisien dibanding diselenggarakannya sendiri.
PEMBIAYAAN
Lalu dari mana pemerintah memperoleh sumber untuk membiayai pelayanan publik yang menjadi kewajibannya itu?
Pertama-tama tentu dari hasil eksploitasi dan pendaya gunaan sumber daya yang dikuasai negara. Kemudian dari pajak yang terkumpul dari masyarakatnya maupun dari bermacam aktivitas komersial yang berlangsung di seluruh pelosok tanah air. Sebagian dari pemasukan itu dialokasikan untuk membiayai kewajiban pemerintah menyelenggarakan pelayanan angkutan umum.
Kemudian, sumber pembiayaan yang lain tentunya bersumber dari kontribusi atas kemewahan yang diperoleh masyarakat yang mendapat kenikmatan untuk menggunakan kendaraan pribadi. Atas nama keadilan sosial bagi seluruh masyarakat maka negara dapat menetapkan harga dan biaya yang harus mereka tanggung mereka jika ingin menikmati kemewahan itu melalui perangkat pajak dan retribusi yang terkait. Mulai dari yang hal yang berkaitan dengan haknya untuk memiliki dan menggunakan kendaraan, jarak yang ditempuh ketika digunakan, hingga ruang yang khusus yang harus disisihkan untuk keleluasaan geraknya.
Sepanjang negara mampu menunaikan tugas dan kewajibannya menyelenggarakan angkutan publik yang menjamin kemudahan pergerakan manusia dan barang di bumi pertiwi ini maka pemerintahnya dapat diberikan wewenang penuh untuk menentukan jenis maupun tarif pajak dan retribusi yang berkait dengan layanan angkutan pribadi yang dimiliki dan digunakan sebagian warganya. Sebab, dalam kondisi yang demikian, kemewahan pribadi sepenuhnya merupakan pilihan yang subyektif. Dengan kata lain, jika pengguna kendaraan pribadi keberatan terhadap tarif pajak dan retribusi yang ditetapkan maka kebutuhan perjalanannya yang aman, nyaman, dan mudah tetap dapat terlayani oleh angkutan umum yang disediakan pemerintah.
Pemerintah juga dapat menetapkan biaya yang dipungut dari masyarakat pengguna angkutan (umum) publik sebagai bagian dari sumber pembiayaan. Bagaimanapun, layanan angkutan (umum) publik sesungguhnya sebuah bentuk kemewahan yang tak dimiliki pejalan kaki yang tak menggunakannya. Dibanding berjalan kaki, pengguna angkutan umum dapat lebih cepat dan nyaman menjangkau jarak yang harus ditempuhnya. Meski demikian, karena sifat publiknya, juga karena harapan dan manfaat positif bagi bangsa dan negara akibat pergerakan yang dilakukan, maka ongkos angkutan publik umum yang ditetapkan tidak sepenuhnya untuk mengganti seluruh komponen biaya yang muncul untuk menghadirkan layanan tersebut. Dari sudut pandang inilah kemudian lahir konsep dan pemahaman subsidi yang harus ditanggung negara. Jumlah pemasukan yang diperoleh dari ongkos yang dibayar penumpang tidak harus dipadankan dengan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah kepada masyarakat (pengusaha) yang membantu, berperan serta, maupun bekerjasama memberikan layanan angkutan umum publik itu.
PUBLIK DAN KOMERSIAL
Agar tidak menimbulkan kerancuan semestinya definisi angkutan umum perlu dipertegas terlebih dahulu. Jika kendaraan yang dimiliki, dikuasai, dan dioperasikan semata untuk melayani kepentingan pemiliknya disebut sebagai angkutan pribadi maka angkutan umum adalah perpindahan orang/barang yang menggunakan kendaraan yang bukan miliknya pribadi dan digunakan untuk melayani kepentingan masyarakat umum baik secara bersama-sama (kolektif) maupun perorangan.
Dari tata cara pelayanannya, angkutan umum kemudian dapat dibedakan antara yang beroperasi berdasarkan trayek tertentu yang sudah ditetapkan, dengan yang tidak memiliki trayek khusus.
Angkutan umum yang memiliki trayek maupun yang tanpa trayek, masing-masing dibedakan lagi berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, yaitu publik atau komersial.
Angkutan (umum) publik merupakan fasilitas yang diselenggarakan negara sesuai dengan tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya. Sedangkan angkutan (umum) komersial merupakan fasilitas umum yang dapat diselenggarakan masyarakat partikelir untuk melayani kebutuhan dan permintaan umum secara komersial.
Hal yang menjadi tanggung jawab negara semestinya ditegaskan pada kategori angkutan (umum) publik, baik yang berdasarkan trayek maupun tidak. Idealnya, negara menjamin keterjangkauan (aksesibilitas) seluruh wilayah perjalanan melalui perpaduan jaringan prasarana pejalan kaki dan angkutan (umum) publik yang berdasarkan trayek. Dalam kondisi tertentu, jika diperlukan, negara juga dapat menyediakan angkutan (umum) publik tanpa trayek untuk melayani kebutuhan perjalanan tertentu yang belum terlayani dengan baik oleh sistem jaringan prasarana pejalan kaki maupun angkutan (umum) publik yang berdasarkan trayek. Misalnya adalah angkutan (umum) publik untuk melayani perjalanan ke kawasan pemakaman. Tentunya negara tidak mungkin menyediakan trayek tetap bagi angkutan umum yang melayani warga masyarakat yang sedang berduka dan akan mengebumikan jenazah di kawasan pemakaman tertentu. Oleh karena itu, negara menyediakan angkutan (umum) publik tanpa trayek agar dapat melayani khusus warga masyarakat yang sedang berduka mengantarkan jenazah keluarga atau kerabatnya ke pemakaman tertentu. Contoh lain dari angkutan umum publik tanpa trayek yang mungkin perlu disediakan negara adalah ambulans untuk melayani warga yang sedang sakit dan perlu segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk mendapat pertolongan medis.
***
Sebagian masyarakat selalu ada yang menginginkan pelayanan yang lebih baik, khusus, dan istimewa dibandingkan dengan apa yang telah disediakan angkutan (umum) publik sesuai standar pelayanan yang ditetapkan. Kebutuhan dan permintaan terhadap hal yang demikian tentunya diluar tanggung jawab yang dibebankan undang-undang kepada pemerintah (negara). Bagi kalangan pengusaha, kemungkinan-kemungkinan seperti itu selalu diterjemahkan sebagai peluang. Dengan demikian maka semestinya undang-undang dapat mengatur agar pelayanan angkutan (umum) komersial dimungkinkan dimana model usaha pelayanannya dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Dalam hal ini pemerintah (negara) juga dibebaskan dari kewajiban untuk menanggung atau mensubsidi biaya-biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan itu. Kalangan pengusaha perorangan maupun berbadan hukum yang ingin menggarap peluang usaha layanan tersebut tentu dapat diperlakukan sebagaimana pengusaha komersial di bidang lainnya.
Undang-undang no. 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan justru tak pernah mendefinisikan secara tegas hal demikian. Oleh karena itu, dalam hal-hal tertentu pasal demi pasal pada akhirnya menyajikan standar ganda yang kadang saling bertentangan. Salah satu contohnya adalah dalam hal tanggung jawab menyelenggarakan angkutan umum. Jika pasal 138 dan 139 menjelaskan tentang kewajiban pemerintah (negara) menyelenggarakannya maka di bagian lain, seperti pada pasal 173 hingga 185, undang-undang itu seolah menggambarkan angkutan umum sebagai bidang usaha komersial dari jasa pelayanan yang kesehatan persaingannya perlu dikelola dan dipelihara oleh negara.
Semua itu merupakan akibat dari kerancuan rancang-bangun mendasar dan substansial yang digunakan ketika undang-undang itu disusun. Akibat dari perumusan yang keliru tentang konsep dasar pelayanan negara sehingga undang-undang itu diperlukan sebagaimana yang diutarakan pada bagian awal tulisan ini, banyak hal yang dijelaskan didalamnya tidak dirumuskan secara tegas dan jernih. Selain soal pendefinisian angkutan (umum) publik dan komersial tadi, hal tersebut juga dapat terlihat ketika menguraikan cita-citanya untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terpadu untuk menghubungkan semua wilayah di daratan (pasal 14). Hal yang sesungguhnya mustahil dan tak mungkin direalisasikan hingga dunia ini kiamat sekalipun. Begitu pula tentang Dana Preservasi Jalan yang dituangkan hampir tanpa makna konkrit pada pasal 29 hingga 32. Celakanya pada bagian penjelasan ke empat pasal tersebut dinyatakan sebagai ‘cukup jelas’. Dan tentu masih banyak lagi yang tak perlu diuraikan satu per satu disini.
***
Kita kembali pada kejelasan konsepsi tanggung jawab penyelenggaraan pemerintah dalam hal angkutan umum, serta ketegasan pendefinisiannya terhadap bentuk pelayanan publik atau komersial. Inilah sesungguhnya dasar utama kerancuan pemerintah untuk menyikapi kehebohan yang terjadi akhir-akhir ini akibat berkembangkan layanan angkutan (umum) komersial berbasis teknologi aplikasi.
Taksi konvensional yang hari ini menyatakan keberatan terhadap kehadiran saingannya yang berbasis teknologi aplikasi berlindung dari berbagai aturan naif yang diturunkan dari undang-undang yang amburadul itu. Misalnya seperti keharusan penggunaan badan usaha, SIM Umum yang harus dimiliki pengemudi, ketetapan tarif, penyediaan pool kendaraan, uji kelaikan, dan seterusnya. Semua aturan-aturan tersebut sesungguhnya sudah harus diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman atau bahkan tak relevan lagi. Sementara itu, kedua bisnis taksi tersebut - konvensional maupun berbasis teknologi aplikasi - sesungguhnya berada di ranah komersial yang memang menuntut inovasi dan upaya terus-menerus untuk mempertahankan kelanggengan usahanya. Sudah menjadi kelaziman universal dalam dunia usaha tentang siklus abadi yang selalu mengintainya. Mereka yang tidak tanggap untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman, cepat atau lambat, akan tergilas oleh persaingan pasar.
DARURAT TRANSPORTASI
Tapi pada kenyataan yang kita hadapi di Indonesia yang tercinta ini, negara memang lalai dan belum pernah bersungguh-sungguh hadir dalam dunia lalu-lintas dan angkutan jalan. Ia tak berdaya terhadap hal yang menjadi tanggung-jawab dan kewajibannya. Pun tak pernah terlihat kesungguhan membenahi dan memperbaikinya. Apa yang disaksikan maupun dirasakan melalui pengalaman sehari-hari adalah aneka pembiaran yang semakin meluas.
Penanganan terhadap pejalan kaki adalah contoh yang paling konkrit. Mencari ruas jalan yang menyediakan prasana yang aman, nyaman, dan memudahkan sepanjang 1 kilometer saja rasanya tidak memungkinkan hampir di setiap kota besar Indonesia. Apalagi kota-kota yang lebih kecil lainnya. Padahal, seyogyanya ketersediaan prasarana aman-nyaman-mudah yang menerus bagi pejalan kaki dari ujung kota yang satu ke ujung kota yang lain sesungguhnya adalah sebuah keharusan. Kelalaian itu kemudian mendorong lahir dan berkembangnya prilaku masyarakat yang sangat tergantung pada peran serta kendaraan. Bahkan hanya untuk membeli sesuatu di toko yang hanya terletak beberapa ratus meter dari rumahnya saja. masyarakat akhirnya terbiasa menggunakan kendaraan. Sebab berjalan kaki bukan pilihan karena prasarana idealnya hampir tidak tersedia dan justru lebih berisiko menjadi korban kecelakaan lalu-lintas. Hilangnya kebiasaan dan budaya jalan kaki ini sesungguhnya menggerus nilai-nilai luhur yang pernah kita banggakan sebelumnya, seperti rukun tetangga, gotong-royong, dan kepedulian sosial lainnya. Hal tersebut karena hilangnya peluang interaksi sosial yang dimungkinkan dari aktivitas berjalan kaki.
Ketidak mampuan pemerintah menyelenggarakan pelayanan angkutan umum publik pada akhirnya menghadirkan pelaku-pelaku partikelir mengisi kekosongannya. Celakanya, hampir semua instansi pemerintah yang berkepentingan terkesan berpangku tangan. Sebagian besar kekacauan lalu-lintas jalan raya hari ini disebabkan oleh prilaku dan etika pengemudi angkutan umum yang untung-rugi usaha pengoperasian layanan angkutan yang dilakoninya sepenuhnya bergantung dari jumlah penumpang yang dapat dilayani. Akibatnya, mereka berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, menunggu penumpang di tempat-tempat yang mengundang kemacetan, bersaing memperebutkan penumpang dengan armada lain, dan seterusnya.
Pelayanan angkutan umum yang buruk menyebabkan setiap anggota masyarakat bercita-cita memiliki kendaraan pribadi masing-masing. Setidaknya sepeda motor jika memiliki mobil masih belum dimungkinkan. Lalu peningkatan kesejateraan ekonomi yang terjadi salah satunya dimanfaatkan untuk membeli kendaraan itu. Hal yang dimudahkan ketika sistem pembiayaan komersial mikro berkembang semakin memudahkan. Tidak mengherankan jika jumah sepeda motor yang ada ditengah masyarakat hari ini telah hampir menyamai jumlah kepala keluarga di kota-kota kita.
SEPEDA MOTOR
Masalahnya, fenomena lonjakan kendaraan sepeda motor yang memenuhi jalan-jalan kota dan desa Indonesia itupun tak pernah diantisipasi memadai. Alasan utama lonjakan kehadirannya adalah karena ketidak berdayaan negara menyediakan fasiltas publik yang memadai. Meskipun bahaya mengendarai sepeda motor secara tak lazim - seperti membonceng anak-anak di bawah umur tanpa pengamanan memadai, membawa anggota keluarganya yang lebih dari 1 orang, dan sebagainya - banyak masyarakat yang seperti mengabaikannya.
Jika negara tak mampu menyelenggarakan tanggung-jawabnya terhadap angkutan umum yang memadai - meskipun untuk sementara waktu - ia semestinya memberikan penanganan layanan khusus terhadap kendaraan sepeda motor yang tumbuh pesat itu. Setidaknya dengan mengelola ruang-ruang jalan raya hingga mereka memiliki lintasan tersendiri yang aman, nyaman, dan memudahkan. Hingga hari ini, tak satupun upaya sungguh-sungguh yang ditunjukkan. Padahal, jumlah sepeda motor yang lalu lalang di sebagian besar ruas jalan pada jam-jam tertentu jauh lebih banyak dari kendaraan roda empat atau lebih. Jalan-jalan raya masih dan tetap dirancang khusus untuk kendaraan roda empat atau lebih. Hal ini terlihar dari pembagian lajur-lajurnya. Akibatnya, sepeda motor seperti anak haram yang kehadirannya tak pernah diharapkan. Tapi karena ia harus bertahan hidup maka ia mencari jalannya sendiri. Menyerobot ruang-ruang kosong tersisa pada lintasan yang tak pernah dirancang untuknya. Hal yang pada giliran berikutnya justru menghadirkan kekacauan yang semakin menjadi di jalan-jalan kita hari ini.
Kelincahan, kehandalan, dan kemudahan yang ditawarkan moda roda dua ini, bersinergi dengan kemajuan teknologi informasi digital khususnya di bidang aplikasi, menghadirkan gagasan inovatif untuk mengelola usaha informal perorangan di bidang angkutan umum komersial yang sebelumnya banyak dilakoni sebagian masyarakat secara sporadis. Dengan sentuhan managemen modern kehadiran mereka terorkestrasi jauh lebih baik bahkan dengan pelayanan yang lebih luas melalui layanan aplikasi. Kini ojek - sebutan layanan angkutan umum komersial yang menggunakan kendaraan bermotor roda dua itu - tak hanya untuk mengantarkan penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain, tapi juga mencakup jasa kurir dan asisten berbagai keperluan pribadi konsumennya.
Dan negara yang selama ini tak pernah menggubrisnya tiba-tiba blingsatan tak tentu arah ketika pengusaha ojek konvensional melakukan protes atas kehadiran saingannya yang menggunakan aplikasi. Hal yang walaupun tak sebangun tapi hampir sama terjadi pada pertikaian taksi konvensional dengan yang berbasis teknologi aplikasi hari ini.
Dua kericuhan fenomenal yang terjadi pada industri layanan taksi dan ojek yang informal itu sesungguhnya lonceng yang amat nyaring bagi negara untuk segera membenahi undang-undang yang terkait dengan lalu-lintas dan angkutan jalan. Atau mungkin dapat lebih luas lagi mencakup aspek pengangkutan darat yang merupakan ibu dari semua sistem pengangkutan yang ada. Kekacauan soal kehadiran negara dan dasar hukum yang menaunginya itu juga telah menyebabkan banyak kericuhan yang tak perlu (collateral damage) yang lain. Contohnya seperti kejengkelan Ridwan Kamil, Walikota Bandung, yang dikabarkan melakukan kekerasan fisik kepada supir angkot (omprengan) yang berhenti sembarangan sehingga menyebabkan kekacauan lalu-lintas saat kebetulan ia melintas di sana. Belum lagi berbagai tindakan main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat akibat ulah angkutan umum yang ugal-ugalan dan menjengkelkan di jalan raya sebagaimana kerap diberitakan berbagai media.
Presiden selaku Kepala Negara dan Pemimpin Tertinggi Pemerintah Republik Indonesia adalah pihak yang harus bertanggung jawab sepenuhnya. Bahwa pemimpin-pemimpin sebelumnya telah lalai melakukan tugas dan tanggung jawab mereka dalam bidang lalu-lintas dan angkutan jalan yang sangat penting ini, adalah hal yang terpisah. Bagaimanapun, Presiden Joko Widodo harus melakukan langkah revolusioner untuk mereformasi sistem pengangkutan darat di republik kita yang tercinta ini. Betapapun beratnya, karena hampir di semua lini ia harus berhadapan pada berbagai masalah yang kompleks dan amburadul, kodrat itu harus diterima dan dilakoninya.
Bagaimanapun, Presiden Joko Widodo tentu tak bekerja sendiri. Selain adanya Wakil Presiden Jusuf Kalla, ia juga dibantu orang-orang pilihan yang telah ditunjuknya sebagai Menteri-menteri kabinetnya. Soal lalu-lintas dan angkutan jalan ini, ia telah menunjuk Ignatius Jonan sebagai Mentri Perhubungan. Jonan yang telah malang melintang lama di dunia perbankan internasional sangat memahami pentingnya peran kebijakan dan prosedur baku yang memandu sekaligus menjadi acuan pelaksanaan corporate governance. Maka semestinya dialah yang paling tanggap terhadap kekeliruan dan amburadulnya undang-undang 22/2009 yang diwariskan Susilo Bambang Yudhoyono itu. Berinisiatif lah bung! Sebagai pembantu Presiden di bidang yang terkait maka hal tersebut adalah ranah tanggung jawabmu. Lalu bicara dan berembuglah dengan para wakil rakyat yang duduk di DPR.
Hal yang disayangkan jika bung Jonan ngotot berkelit dibalik undang-undang yang jelas sudah ketinggalan dan tak sesuai dengan keadaan zaman itu. Juga yang terkait dengan rekan sejawat Anda yang lain, seperti Kemeninfo, BKPM, Perpajakan, Tenaga Kerja, dan seterusnya.
PROFESI PLANOLOGI
Sebetulnya, bidang profesi yang menekuni kemampuan memahami permasalah ini dari sudut pandang mata burung (bird eye view) serta mengintegrasikannya dengan berbagai disiplin lain adalah Planologi. Bidang keahlian tata ruang yang sejak kelahiran pertamanya di republik Indonesia hingga hari ini sering tersingkir oleh berbagai kebutuhan praktis yang tak kunjung habis. Kebutuhan untuk membongkar dan mengajukan gagasan Undang-Undang yang baru tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan ini semestinya menjadi panggilan profesi untuk menyumbangkan sesuatu kepada Ibu Pertiwi, sekaligus menegaskan perlu dan pentingnya kehadiran profesi tersebut secara holistik. Apa yang terlihat dari Undang-Undang 22/2009 tersebut jelas hanya berlatar pemikiran teknis dan pemahaman sektoral yang tak mencakup esensi utama permasalahan yang perlu diaturnya. Saya sangat kuat menduga bahwa sudut pandang bidang keahlian profesi Planologi hampir tak dilibatkan disana.
Hari ini, negara yang sama-sama kita rindukan untuk segera mampu mempersembahkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya ini, sedang menghadapi beragam persoalan rumit yang bertali-temali. Meski mungkin profesi Planologi yang sesungguhnya penting dan perlu itu selama ini terabaikan, janganlah lantas berkecil hati. Mungkin sekarang saatnya Anda semua urun rembug untuk menyumbangkan kemampuan yang semestinya dimiliki untuk kebaikan kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang tercinta ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H