Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Heboh Transaksi Online, Menunggu Negara Hadir

16 Maret 2016   17:51 Diperbarui: 23 Maret 2016   02:28 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Aplikasi Online Jasa Angkutan, invoice Uber (koleksi pribadi)"][/caption]

Kemana telunjuk harus ditudingkan sebagai biang kerok ribut-ribut layanan online angkutan umum dengan pelaku konvensional saingannya?

Pemerintah!

Kita telah sepakat memberikan kewenangan untuk mengatur dan mengelola negara ini kepada lembaga yang disebut pemerintah. Tugas pokok dan fungsinya adalah mengatur - juga memfasilitasi berbagai kepentingan publik pada - setiap sendi kehidupan yang berlaku di tengah masyarakat. Didalamnya termasuk kemampuan mengantisipasi dan beradaptasi terhadap berbagai perkembangan yang sedang maupun akan terjadi.

Agar kehidupan kita tertib, berkeadilan, serta terhindar dari penyalah-gunaan kekuasaan dan sikap yang semena-mena maka konstitusi mengamanatkan pemerintah bersama dengan lembaga perwakilan rakyat (DPR) menyusun dan menetapkan bermacam undang-undang. Mengacu padanya maka kemudian diturunkanlah berbagai perangkat hukum lainnya. Semua dengan maksud dan tujuan tunggal : mengikat kepatuhan setiap individu dan kelompok masyarakat yang tergabung sebagai bangsa Indonesia yang majemuk ini agar hidup berdampingan dengan damai dan sejahtera.

Undang-undang jelas bukan kitab suci yang tak tergantikan. Ia disusun sesuai dengan situasi dan kondisi di masanya. Sebatas pengetahuan dan kemampuan pemahaman mereka ketika menggagasnya, sejumlah antisipasi terhadap perkembangan di masa depan kerap dimasukkan ke dalamnya. Tapi pastilah tidak sempurna. Karena begitu banyak rahasia kehidupan yang belum terkuak. Dan manusia memang tak pernah berhenti menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menyempurnakan lakon kefanaannya di dunia ini.

Setiap temuan maupun kemajuan kerap tak sekedar memudahkan. Tapi juga mengubah tatanan yang sebelumnya dianggap ajeg. Bayangkan kehidupan manusia sebelum roda ditemukan. Pengaturan lalu-lintas manusia yang ada sebelumnya mungkin hanya sampai pada kehadiran hewan tunggangan yang disertakan. Tak terbayang harus berbagi ruang dengan kereta beroda yang dapat ditarik. Maka konvensi budaya maupun aturan yang berlaku akhirnya perlu menyesuaikan diri.

Ketika Alexander Graham Bell menemukan teknologi telepon, siapa yang menyangka kemewahan komunikasi antar individu yang berlangsung di berbagai pelosok dunia hari ini? Di tahun 1980-an, saya masih ingat kalau jumlah sambungan telepon per 1.000 penduduk suatu negara merupakan salah satu indikator kesejahteraan dan keberadabannya di tengah masyarakat dunia. Majalah The Economist selalu menyertakannya sebagai bagian angka statistik pencapaian berbagai negara di dunia pada hampir setiap publikasi mingguannya.

Lompatan besar kehidupan manusia memang berlangsung begitu cepat - bahkan eksponensial - setelah teknologi digital ditemukan. Berbagai inovasi dan rekayasa pada hampir setiap sendi kehidupan manusia berkembang demikian pesat. Segala sesuatu dimungkinkan menjadi lebih efektif dan efisien. Terukur langsung pada sasarannya. Semakin menihilkan dampak sampingan yang tak diperlukan. Dan tentu saja lebih mudah dan murah.

Salah satu yang mencengangkan terjadi pada dunia teknologi informasi dan komunikasi. Ia tak sekedar mempercepat proses evolusi. Tapi juga melahirkan revolusi. Mengubah tatanan maupun proses yang sebelumnya baku.

Lihatlah fenomena media televisi maupun cetak yang secara drastis kehilangan pemirsa dan pembacanya. Setiap orang kini berpeluang menjadi produsen berita. Tak lagi hanya sekedar konsumen pasif bagi kabar yang diwartakan media-media tradisional itu. Industri musik tiba-tiba tak lagi disandera jaringan toko yang menjual piringan hitam, cassette, maupun cakram CD yang mewadahinya. Tak ada lagi curatorship yang memiliki kewenangan mutlak untuk menyatakan sebuah karya layak, baik, dan sesuai selera pasar.

Teknologi digital itu juga memberi lompatan inovasi pada sistem pengelolaan logistik yang begitu canggih sehingga menghadirkan peluang usaha jaringan convenience store yang bukan hanya sekedar mampu menggeser sekaligus mengenyahkan warung-warung tradisional kaki lima, tapi juga mengancam super market raksasa yang pernah dilabel modern sebelumnya. Jasa layanan pos dan wesel pun kehilangan pasar setelah kemudahan komunikasi hadir. Peran konvensional mereka semakin tersingkir sehingga berbagai asset dan investasi yang ditanamkan sebelumnya akan menjadi sia-sia jika institusi yang menaungi layanan itu tak segera berbenah dan menggagas langkah putar haluan terhadap pola dan pengoperasian bisnisnya.

Dan kini, dengan aplikasi online, jasa ojeg menjadi elegan. Layananannya mengalami lompatan luar biasa. Tak hanya untuk membonceng penumpang tapi juga berfungsi kurir bahkan asisten pribadi untuk memesan makanan ataupun berbelanja di toko. Mitra pemilik dan pengendara sepeda motor yang tergabung dalam layanan itu bukan sekedar mendapat kesejahteraan yang lebih baik, tapi juga berkesempatan meningkatkan status sosial-ekonomi dan intelektualitasnya. Mereka kini berpeluang membaur dengan budaya dan gaya hidup yang selama ini mungkin asing baginya.

Berapa banyak penganggur yang terselamatkan oleh peluang yang diberikan aplikasi online untuk layakan taksi seperti Uber dan Grab Car yang dihebohkan itu?

Proses saling menguntungkan sesungguhnya sedang terjadi. Banyak pengguna layanan aplikasi online itu yang lebih memilih mengandangkan kendaraan pribadinya di rumah. Selain biaya yang saat ini memang lebih murah dibanding ongkos yang harus dikeluarkan untuk taksi convensional, ia juga menyajikan lompatan kemudahan yang luas biasa. Menggunakan jasa layanan online itu untuk berpergian sehari-hari jauh lebih nyaman, menguntungkan, dan memudahkan. Siapa yang tidak jengkel dengan prilaku pelaku jalan raya yang semakin macet dan ruwet hari ini? Belum lagi soal tarif parkir yang meningkat pesat beberapa tahun terakhir ini. Pemerintah DKI Jakarta memang bermaksud menjerakan pengemudi kendaraan pribadi agar beralih ke angkutan umum. 

Tapi dengan wilayah cakupan rute-rute yang dilalui, fasilitas pendukung (terutama pedestrian untuk kemudahan berjalan kaki), dan tingkat kenyamanan yang masih sangat minim, kebijakan menaikkan ongkos parkir itu hanya meningkatkan kesejahteraan pengelola parkir swasta di satu sisi, dan memberatkan warga yang terpaksa menggunakan jasanya di sisi yang lain.

 Disadari atau tidak, peningkatan ongkos parkir di mall dan gedung-gedung perkantoran Jakarta hanya menyumbang lonjakan ‘inflasi lokal’. Ongkos parkir liar di pinggir jalan ikut meningkat, termasuk jumlah receh yang disodorkan pada pak ogah di persimpangan jalan yang macet ataupun pengamen yang kerap menerobos masuk ke dalam angkutan umum metromini dan angkot.

Jadi, apapun alasannya, pemerintah semestinya bersyukur. Kehadiran aplikasi online untuk angkutan penumpang tersebut sesungguhnya turut berperan mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang sehari-hari beroperasi di jalan-jalan sempit kota.

Tahun 2010-2011, saya pernah mengerjakan proyek percontohan ‘arisan transportasi’ yang didanai Japan International Corporation Agency. Gagasannya adalah mengajak pengguna mobil untuk berbagi ruang kendaraan pribadinya dengan pelaku perjalanan lain jika kebetulan memiliki tujuan yang sama. Jika masyarakat berkenan melakoninya, prilaku ‘car sharing’ itu akan mengurangi jumlah kendaraan pribdi yang berlalu-lalang di jalan raya. Percontohan itu kami terapkan di kawasan perumahan Bintaro Jaya, Jakarta. 


Meski bertujuan baik, banyak hambatan yang dialami dalam penerapannya. Idealisme gagasan itu mungkin berterima di tengah masyarakat. Tapi operasionalisasinya terhambat berbagai kendala sosial-ekonomi-budaya praktis yang ada.

Kini sebagian besar cita-cita dibalik gagasannya telah terjawab melalui fitur aplikasi online yang sedang dihebohkan. Misalnya pada aplikasi Uber. Jika berkenan, Anda bisa berbagi ruang kendaraan dan ongkos dengan penumpang lain dengan lebih mudah dan murah.

***

Kita kembali pada pokok soal yang terkait pada tudingan inkompentensi pemerintah untuk menyikapi fenomena faktual yang sedang terjadi.

Berbagai evolusi dan revolusi yang berlangsung di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari akibat pengaruh peradaban teknologi digital ini semestinya disikapi dengan pandangan ke depan yang bijaksana. Mari kita kupas beberapa hal teknis yang memang tercakup dalam undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan lalu lintas dan jalan raya yang sering dikumandangkan kelompok status quo yang menolak kehadiran layanan aplikasi online itu.

Pertama, soal Surat Izin Mengemudi (SIM) Umum bagi pengendara angkutan umum. Apa sih sesungguhnya keistimewaan yang dimiliki pemegang SIM Umum dibanding SIM biasa? Kekhususan itu mungkin lebih banyak berdampak pada biaya pengurusan yang lebih mahal dan membuka peluang penyalah gunaan wewenang bagi yang berkuasa untuk menerbitkannya. Justru di lapangan banyak membuktikan bahwa pengemudi angkutan umum yang semestinya mengantongi SIM Umum itu memiliki prilaku dan tata krama berlalu-lintas di jalan raya yang amat buruk dan sangat membahayakan.

Kedua, soal uji kelaikan atau KIR (berasal dari bahasa Belanda, ‘keur’). Faktanya, di lapangan beredar banyak kendaraan umum yang secara kasat mata tak laik. Cerita tentang praktek korupsi penyalah gunaan wewenang pada proses resmi pengujiannya justru hal yang jamak kita dapatkan. 

Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan, jika seandainya terjadi kecelakaan jalan raya yang melibatkan kendaraan umum yang tak laik jalan, padahal ia mengantongi surat tanda kelaikan yang masih berlaku dan sah, lalu sampai dimana pertanggung jawaban yang dapat diberikan Pemerintah kepada korban dan masyarakatnya? Bukankah aturan itu sesungguhnya hanya menciptakan rantai birokrasi yang sangat berpeluang korup?

Ketiga, soal izin usaha. Selain mewajibkan registrasi, apa sebetulnya yang dilakukan pemerintah setelah izin usaha dikeluarkan? Idealnya, kewenangan mengeluarkan izin usaha tersebut berdampak pada pembinaan dan ketertiban angkutan umum. Faktanya, kehadiran angkutan umum konvensional justru banyak menyumbang kesemerawutan di jalan raya.

Ada soal yang lebih runyam dalam hal izin usaha ini. Seperti yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, pasal 138 berisi pernyataan bahwa Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan angkutan umum. Tanpa penjelasan lebih lanjut tentang hal yang melatar-belakanginya, kerancuan terhadap tanggung jawab itu segera terkuak pada pasal 139 berikutnya.

 Pada ayat (3) dinyatakan bahwa jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan hukum milik negara, badan hukum milik daerah, dan/atau badan hukum lainnya. Interpretasi dari kedua pasal yang bersanding itu justru menjadi semacam pernyataan terbuka bahwa Pemerintah tak mampu menuaikan tanggung jawabnya secara penuh. Untuk itu ia butuh kehadiran badan hukum - entah milik negara, daerah, dan/atau swasta - untuk melaksanakan hal yang sesungguhnya menjadi kewajibannya. Menarik sekali jika menelisiknya lebih lanjut. 

Seandainya penulisan pasa 139 ayat (3) diimaksudkan sebagai bentuk partisipasi pihak ketiga agar Pemerintah mampu menunaikan kewajibannya, lalu mengapa peluang itu ditutup bagi perorangan yang ingin melaksanakannya? Bukankah konstitusi menjamin hak asasi setiap warga negara untuk hidup dan bekerja?

Keempat, soal tarif. Ini jauh lebih menarik. Terkait fenomena Uber dan Grab Car yang secara teknis termasuk kategori angkutan umum yang tidak dalam trayek, sebagaimana tertuang pada pasal 183 ayat (1) UU No. 22 tahun 2009, tarifnya ditentukan oleh Perusahaan Angkutan Umum dan mendapat persetujuan Pemerintah. Jika Pemerintah sungguh-sungguh ingin melaksanakan tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan angkutan umum, mengapa bukan ia yang menetapkan tarifnya? Seandainya Perusahaan Angkutan Umum tidak berkenan dengan tarif yang ditetapkan Pemerintah, bukankah mestinya ia dapat mengambil alih fungsi pelaksanaan agar tanggung jawabnya terpenuhi?

Pada ketentuan tarif ini jelas terlihat bahwa UU tersebut telah disusun dengan sebuah cacat bawaan yang serius. Dikotomi yang tergambar dari satu pasal ke pasal yang lain menggambarkan ketidak selarasan antara kewajiban yang diamanahkan dengan kemampuan menunaikannya.

Seandainya pribadi-pribadi yang menjalani usaha taksi berbasis aplikasi online hari ini dapat mendaftarkan diri sebagai pengusaha angkutan umum - tentunya setelah batasan hanya badan hukum yang diperkenankan mendaftar sebagaimana tertuang pada pasal 139 dianulir - maka pasal 183 sesungguhnya telah menjamin kemerdekaan mereka untuk menentukan tarif sendiri. Lebih lanjut, Undang-Undang itu sebetulnya juga perlu memisahkan secara tegas terminologi angkutan umum dengan angkutan komersial. Dengan demikian kerancuan tanggung-jawab Pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan minat partisipasi dunia usaha untuk menekuni industri layanan transportasi tidak tercampur aduk.

Sampai disini, bukankah lebih dari pantas bagi kita untuk mempertanyakan kesungguhan Pemerintah - bersama dengan legislator yang ada di DPR - membongkar, memperbaiki, dan menyempurnakan segala warisan tatanan masa lampau sehingga lebih bersesuaian dengan kehidupan faktual hari ini maupun perkembangan yang sedang dan akan terjadi di masa datang?

Bersikukuh dengan undang-undang dan peraturan usang yang telah tertinggal jauh dengan perkembangan zaman bukan pilihan bijak. Bahwa selama ini terlena, tidak tanggap, atau belum tercerahkan adalah soal lain. Hal yang penting, tetap ada iktikad untuk memperbaiki, menyempurnakan, dan mengejar segala ketinggalan yang terjadi.

***

Kita jangan latah menutupi inkompetensi negara yang terpapar dalam kasus ini. Mantan Menteri Perhubungan di akhir era pertama pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, Jusman Syafii Jamal, menulis pada laman facebooknya “Dengan begitu pilihan apa yang hendak dilakukan oleh Kementerian Perhubungan tak ada lain kecuali menegakkan amanat Undang Undang No 22/2009 terutama tentang Angkutan Umum.

Saya kira sungguh sebuah pemikiran yang keliru.

Saya tak tahu apakah perkeliruan cara fikir Jusman karena terpengaruh dialog Indonesian Lawyer Club yang disitirnya sebelum menuliskan kesimpulan di atas.

Seorang mitra taksi online yang diwanwancara Karni Ilyas, pembawa acara ILC di TV One, malam itu mengatakan bahwa ia tak membayar pajak. Pernyataan itu sesungguhnya mengundang multi-interpretasi. Pertama, ia tak membayar karena tak tahu kewajibannya sebagai warga negara yang harus membayar pajak. Mungkin Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pun ia tak punya. 

Apalagi mengisi SPT yang sesungguhnya wajib dilakukannya. Kedua, ia tak membayar pajak karena merasa segala sesuatu telah ditangani koperasi yang menaungi keberadaannya. Hampir setiap pengemudi Uber yang saya wawancarai menyatakan mereka tergabung dengan badan hukum koperasi persewaan kendaraan. Disana pendapatan mereka yang terkumpul dipotong sekian persen secara berkala. Menurut pemahaman sebagian diantara mereka, pemotongan itu termasuk kewajiban pajak yang harus disetor ke negara. 

Dan yang terakhir, ketiga, mereka memang dengan sengaja menghindar dan tidak melaporkan pendapatannya dalam SPT yang disampaikan setiap tahun. Kemungkinan ketiga ini agaknya sangat kecil karena pernyataan itu seperti melakukan pembangkangan secara terbuka.

Disini terkuak inkompetensi lain dari pengelola negara ini. Direktorat Pajak memang perlu bekerja cerdas untuk mensosialisasikan kepatuhan bagi para mitra taksi online yang berpotensi menjadi wajib pajak itu. Melalui mekanisme pelaporan yang semestinya dipatuhi, penelusuran para wajib pajak dapat dilakukan. Bukankah pajak final 'sewa kendaraan' yang harus dilaporkan badan usaha (koperasi) yang menaungi dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk identifikasi para pengemudi taksi online sehingga mereka menjadi wajib pajak pribadi yang aktif?

Kita semua memang harus melakukan langkah putar haluan menyikapi berbagai perubahan cepat yang sedang terjadi ini. Berhentilah menyangkal dan bersikukuh menganggap perubahan itu bukan sebuah keniscayaan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun