Teknologi digital itu juga memberi lompatan inovasi pada sistem pengelolaan logistik yang begitu canggih sehingga menghadirkan peluang usaha jaringan convenience store yang bukan hanya sekedar mampu menggeser sekaligus mengenyahkan warung-warung tradisional kaki lima, tapi juga mengancam super market raksasa yang pernah dilabel modern sebelumnya. Jasa layanan pos dan wesel pun kehilangan pasar setelah kemudahan komunikasi hadir. Peran konvensional mereka semakin tersingkir sehingga berbagai asset dan investasi yang ditanamkan sebelumnya akan menjadi sia-sia jika institusi yang menaungi layanan itu tak segera berbenah dan menggagas langkah putar haluan terhadap pola dan pengoperasian bisnisnya.
Dan kini, dengan aplikasi online, jasa ojeg menjadi elegan. Layananannya mengalami lompatan luar biasa. Tak hanya untuk membonceng penumpang tapi juga berfungsi kurir bahkan asisten pribadi untuk memesan makanan ataupun berbelanja di toko. Mitra pemilik dan pengendara sepeda motor yang tergabung dalam layanan itu bukan sekedar mendapat kesejahteraan yang lebih baik, tapi juga berkesempatan meningkatkan status sosial-ekonomi dan intelektualitasnya. Mereka kini berpeluang membaur dengan budaya dan gaya hidup yang selama ini mungkin asing baginya.
Berapa banyak penganggur yang terselamatkan oleh peluang yang diberikan aplikasi online untuk layakan taksi seperti Uber dan Grab Car yang dihebohkan itu?
Proses saling menguntungkan sesungguhnya sedang terjadi. Banyak pengguna layanan aplikasi online itu yang lebih memilih mengandangkan kendaraan pribadinya di rumah. Selain biaya yang saat ini memang lebih murah dibanding ongkos yang harus dikeluarkan untuk taksi convensional, ia juga menyajikan lompatan kemudahan yang luas biasa. Menggunakan jasa layanan online itu untuk berpergian sehari-hari jauh lebih nyaman, menguntungkan, dan memudahkan. Siapa yang tidak jengkel dengan prilaku pelaku jalan raya yang semakin macet dan ruwet hari ini? Belum lagi soal tarif parkir yang meningkat pesat beberapa tahun terakhir ini. Pemerintah DKI Jakarta memang bermaksud menjerakan pengemudi kendaraan pribadi agar beralih ke angkutan umum.
Tapi dengan wilayah cakupan rute-rute yang dilalui, fasilitas pendukung (terutama pedestrian untuk kemudahan berjalan kaki), dan tingkat kenyamanan yang masih sangat minim, kebijakan menaikkan ongkos parkir itu hanya meningkatkan kesejahteraan pengelola parkir swasta di satu sisi, dan memberatkan warga yang terpaksa menggunakan jasanya di sisi yang lain.
Disadari atau tidak, peningkatan ongkos parkir di mall dan gedung-gedung perkantoran Jakarta hanya menyumbang lonjakan ‘inflasi lokal’. Ongkos parkir liar di pinggir jalan ikut meningkat, termasuk jumlah receh yang disodorkan pada pak ogah di persimpangan jalan yang macet ataupun pengamen yang kerap menerobos masuk ke dalam angkutan umum metromini dan angkot.
Jadi, apapun alasannya, pemerintah semestinya bersyukur. Kehadiran aplikasi online untuk angkutan penumpang tersebut sesungguhnya turut berperan mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang sehari-hari beroperasi di jalan-jalan sempit kota.
Tahun 2010-2011, saya pernah mengerjakan proyek percontohan ‘arisan transportasi’ yang didanai Japan International Corporation Agency. Gagasannya adalah mengajak pengguna mobil untuk berbagi ruang kendaraan pribadinya dengan pelaku perjalanan lain jika kebetulan memiliki tujuan yang sama. Jika masyarakat berkenan melakoninya, prilaku ‘car sharing’ itu akan mengurangi jumlah kendaraan pribdi yang berlalu-lalang di jalan raya. Percontohan itu kami terapkan di kawasan perumahan Bintaro Jaya, Jakarta.
Meski bertujuan baik, banyak hambatan yang dialami dalam penerapannya. Idealisme gagasan itu mungkin berterima di tengah masyarakat. Tapi operasionalisasinya terhambat berbagai kendala sosial-ekonomi-budaya praktis yang ada.
Kini sebagian besar cita-cita dibalik gagasannya telah terjawab melalui fitur aplikasi online yang sedang dihebohkan. Misalnya pada aplikasi Uber. Jika berkenan, Anda bisa berbagi ruang kendaraan dan ongkos dengan penumpang lain dengan lebih mudah dan murah.
***