Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Heboh Transaksi Online, Menunggu Negara Hadir

16 Maret 2016   17:51 Diperbarui: 23 Maret 2016   02:28 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita kembali pada pokok soal yang terkait pada tudingan inkompentensi pemerintah untuk menyikapi fenomena faktual yang sedang terjadi.

Berbagai evolusi dan revolusi yang berlangsung di tengah kehidupan masyarakat sehari-hari akibat pengaruh peradaban teknologi digital ini semestinya disikapi dengan pandangan ke depan yang bijaksana. Mari kita kupas beberapa hal teknis yang memang tercakup dalam undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan lalu lintas dan jalan raya yang sering dikumandangkan kelompok status quo yang menolak kehadiran layanan aplikasi online itu.

Pertama, soal Surat Izin Mengemudi (SIM) Umum bagi pengendara angkutan umum. Apa sih sesungguhnya keistimewaan yang dimiliki pemegang SIM Umum dibanding SIM biasa? Kekhususan itu mungkin lebih banyak berdampak pada biaya pengurusan yang lebih mahal dan membuka peluang penyalah gunaan wewenang bagi yang berkuasa untuk menerbitkannya. Justru di lapangan banyak membuktikan bahwa pengemudi angkutan umum yang semestinya mengantongi SIM Umum itu memiliki prilaku dan tata krama berlalu-lintas di jalan raya yang amat buruk dan sangat membahayakan.

Kedua, soal uji kelaikan atau KIR (berasal dari bahasa Belanda, ‘keur’). Faktanya, di lapangan beredar banyak kendaraan umum yang secara kasat mata tak laik. Cerita tentang praktek korupsi penyalah gunaan wewenang pada proses resmi pengujiannya justru hal yang jamak kita dapatkan. 

Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan, jika seandainya terjadi kecelakaan jalan raya yang melibatkan kendaraan umum yang tak laik jalan, padahal ia mengantongi surat tanda kelaikan yang masih berlaku dan sah, lalu sampai dimana pertanggung jawaban yang dapat diberikan Pemerintah kepada korban dan masyarakatnya? Bukankah aturan itu sesungguhnya hanya menciptakan rantai birokrasi yang sangat berpeluang korup?

Ketiga, soal izin usaha. Selain mewajibkan registrasi, apa sebetulnya yang dilakukan pemerintah setelah izin usaha dikeluarkan? Idealnya, kewenangan mengeluarkan izin usaha tersebut berdampak pada pembinaan dan ketertiban angkutan umum. Faktanya, kehadiran angkutan umum konvensional justru banyak menyumbang kesemerawutan di jalan raya.

Ada soal yang lebih runyam dalam hal izin usaha ini. Seperti yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, pasal 138 berisi pernyataan bahwa Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan angkutan umum. Tanpa penjelasan lebih lanjut tentang hal yang melatar-belakanginya, kerancuan terhadap tanggung jawab itu segera terkuak pada pasal 139 berikutnya.

 Pada ayat (3) dinyatakan bahwa jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan hukum milik negara, badan hukum milik daerah, dan/atau badan hukum lainnya. Interpretasi dari kedua pasal yang bersanding itu justru menjadi semacam pernyataan terbuka bahwa Pemerintah tak mampu menuaikan tanggung jawabnya secara penuh. Untuk itu ia butuh kehadiran badan hukum - entah milik negara, daerah, dan/atau swasta - untuk melaksanakan hal yang sesungguhnya menjadi kewajibannya. Menarik sekali jika menelisiknya lebih lanjut. 

Seandainya penulisan pasa 139 ayat (3) diimaksudkan sebagai bentuk partisipasi pihak ketiga agar Pemerintah mampu menunaikan kewajibannya, lalu mengapa peluang itu ditutup bagi perorangan yang ingin melaksanakannya? Bukankah konstitusi menjamin hak asasi setiap warga negara untuk hidup dan bekerja?

Keempat, soal tarif. Ini jauh lebih menarik. Terkait fenomena Uber dan Grab Car yang secara teknis termasuk kategori angkutan umum yang tidak dalam trayek, sebagaimana tertuang pada pasal 183 ayat (1) UU No. 22 tahun 2009, tarifnya ditentukan oleh Perusahaan Angkutan Umum dan mendapat persetujuan Pemerintah. Jika Pemerintah sungguh-sungguh ingin melaksanakan tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan angkutan umum, mengapa bukan ia yang menetapkan tarifnya? Seandainya Perusahaan Angkutan Umum tidak berkenan dengan tarif yang ditetapkan Pemerintah, bukankah mestinya ia dapat mengambil alih fungsi pelaksanaan agar tanggung jawabnya terpenuhi?

Pada ketentuan tarif ini jelas terlihat bahwa UU tersebut telah disusun dengan sebuah cacat bawaan yang serius. Dikotomi yang tergambar dari satu pasal ke pasal yang lain menggambarkan ketidak selarasan antara kewajiban yang diamanahkan dengan kemampuan menunaikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun