[caption caption="Sepeda Motor dan Jalan Raya - dokumentasi pribadi"]
[/caption]
PENGANTAR
Artikel ini saya tulis pada pertengahan tahun 2009, kurang lebih hampir 7 tahun lalu dan telah dipublikasikan melalui facebook dengan judul 'Transportasi Jakarta: Sebuah Diskriminasi yang Terabaikan'. Saat ini saya sedang menyiapkan tulisan lain sebagai kelanjutannya. Masih tentang persoalan transportasi dan kemacetan yang seperti tak berkesudahan. Bukan hanya di Jakarta tapi juga sudah tertular di berbagai kota lain di Indonesia.
Sebelum tulisan baru tersebut selesai dan siap dipublikasikan maka ada baiknya tulisan lama ini saya publikasikan kembali di kompasiana dengan penambahan sejumlah grafik data-data yang tidak pada tulisan sebelumnya. Dengan demikian, benang merah terhadap beberapa uraian dan penjelasan terkait dapat tergambar lebih baik.
Jilal Mardhani, 17 Februari 2016
***
Tahun 2007 DKI Jakarta mencatat hampir 1,9 juta mobil dan 6 juta sepeda motor yang dimiliki warganya. Jika dibandingkan dengan tahun 2003 maka peningkatan jumlah sepeda motor yang terjadi mencapai 80 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan mobil penumpang yang hanya 25 persen (Jakarta Dalam Angka 2008).
[caption caption="Pertumbuhan Kendaraan Jakarta 2003-2007"]
Angka-angka tersebut menunjukkan betapa perlunya warga metropolitan Jakarta memiliki kendaraan pribadi untuk menunjang kelancaran aktifitas sehari-hari mereka. Tapi di sisi lain, secara nyata juga mengatakan betapa gagalnya pemerintah yang mengurus ibukota republik itu dalam memberikan pelayanan transportasi yang memadai dalam arti murah, mudah dijangkau, dapat diandalkan, sekaligus nyaman dan juga aman untuk digunakan.
Sebelum krisis ekonomi global menerpa Indonesia di paruh kedua tahun 2008 lalu, masyarakat sangat dimudahkan untuk memiliki kendaraan bermotor. Industri perbankan dan lembaga keuangan non-bank saling berlomba menawarkan fasilitas pembiayaan yang mampu mewujudkan keinginan mereka untuk memiliki kendaraan. Bahkan tak sedikit yang menawarkan fasilitas kredit tanpa uang muka tapi cukup dengan hanya melengkapi persyarakatan administrasi berupa salinan KTP dan Kartu Keluarga. Maka para produsen kendaraan bermotorpun semakin bergairah meningkatkan kapasitas dan kemampuan produksinya. Beragam iklan dan upaya promosi ditebar mulai dari papan reklame, selebaran, pameran, koran, majalah, radio, dan televisi. Sepanjang tahun 2008 lalu saja belanja iklan untuk kategori sepeda motor di televisi dan media cetak tercatat sekitar Rp 650 miliar dan Rp 850 miliar (AGB Nielsen).
Para produsen kendaraan, khususnya sepeda motor, dan lembaga keuangan yang memberi fasilitas pembiayaan, telah menjelma menjadi malaikat penyelamat bagi mereka yang lelah dan jengkel menghadapi sistem layanan trasportasi Jakarta yang buruk dan kusut. Sesuai dengan distribusi kelas sosial-ekonomi, masyarakat yang berkemampuan untuk membeli sepeda motor tentu jauh lebih besar dibanding dengan yang mampu membeli mobil. Itulah sebabnya sepeda motor meningkat jauh lebih pesat.
Kini pembiayaan kepemilikan kendaraan memang tidak lagi semudah tahun-tahun yang lalu. Lembaga keuangan yang menyediakan fasilitas itu mau tidak mau harus mengetatkan persyaratan dan prosedur bagi calon pembeli kendaraan yang membutuhkan. Bagi yang berminat menggunakan faslitas pembiayaan kepemilikan kendaraan mutlak menyediakan uang muka dengan jumlah yang lebih besar dibanding sebelumnya. Akibatnya, jumlah sepeda motor yang dikeluarkan 3 produsen terbesar (Honda, Yamaha, dan Suzuki) selama Januari - Mei 2009 hanya sekitar 2,04 juta unit atau mengalami penurunan hingga 22% dibanding perioda yang sama tahun 2008 lalu yang mencapai 2,48 juta unit.
Seandainya kita menganggap penurunan jumlah produksi ketiga pabrikan sepeda motor besar itu mewakili penurunan jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah metropolitan Jakarta maka rasio antara jumlah sepeda motor terhadap mobil pada tahun 2010 nanti diproyeksikan mencapai 3,7 atau meningkat 72% dari rasio 2,2 yang diperoleh pada tahun 2003 lalu.
[caption caption="Rasio Jumlah Sepeda Motor terhadap Mobil Pribadi di Jakarta"]
Lalu dengan proyeksi tingkat pertumbuhan terendah seperti yang digunakan pada grafik di atas, bagaimana kira-kira distribusi kepemilikan kendaraan di wilayah metropolitan Jakarta- Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi pada tahun 2010 nanti?
Pada tahun 2003 diperkirakan hanya 17% dari 5,7 juta rumah tangga di wilayah metropolitan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi yang setidaknya memiliki 1 unit mobil (The Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek, JICA, March 2004). Sedangkan yang minimal memiliki 1 buah sepeda motor diperkirakan sebesar 34 persen. Seandainya rumah tangga yang memiliki sepeda motor diasumsikan tidak memiliki mobil - demikian pula sebaliknya, bagi yang memiliki mobil diasumsikan tidak memiliki sepeda motor - maka pada saat studi itu dilakukan setengah dari jumlah keluarga yang tinggal di wilayah metropolitan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi hanya dapat mengandalkan angkutan umum kerata api, bus, metromini, mikrolet, bajaj, taxi, ojeg, atau berjalan kaki untuk menopang kegiatan sehari-hari mereka.
[caption caption="Distibusi Rumah Tangga Berdasarkan Kepemilikan Kendaraan"]
Dengan tingkat pertumbuhan yang sudah terkoreksi dampak pengetatan lembaga keuangan dalam melayani pembiayaan kepemilikan kendaraan sekarang ini, serta menerapkan angka tingkat pertumbuhan tersebut secara proporsional pada pola distribusi kepemilikan kendaraan yang dihasil penelitian JICA tahun 2004 lalu, maka jumlah sepeda motor yang dimiliki warga Jabodetabek pada tahun 2010 diproyeksikan mencapai 7,9 juta unit. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan jumlah 6,9 juta rumah tangga yang diperkirakan tinggal di kawasan metropilitan Jakarta. Sementara itu, jumlah rumah tangga yang memiliki setidaknya 1 unit mobil akan meningkat menjadi 25% persen atau sekitar 2,1 juta unit.
[caption caption="Proyeksi Distribusi Keluarga Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Kendaraan"]
Peningkatan jumlah kendaraan yang demikian pesat, tanpa diimbangi dengan penyediaan dan pengelolaan infrastuktur jalan raya yang memadai, yang juga dilengkapi oleh prilaku buruk para pengemudi kendaraan yang melintas di tengah kemacetannya, dengan sendirinya telah menjelaskan mengapa jumlah kecelakaan di jalan raya metropolitan Jakarta meningkat demikian tajam akhir-akhir ini (Majalah Tempo, edisi 8–14 Juni 2009). Majalah itu mengungkap angka kecelakaan yang terjadi pada tahun 2008 meningkat 24% dibanding tahun 2007. Sementara kecelakaan yang melibatkan sepeda motor pada perioda yang sama malah meningkat 67 persen. Dari sisi korban yang meninggal peningkatan juga terjadi hingga 17 persen.
[caption caption="Data Kecelakaan di Wilayah Metro Jaya"]
Prersoalan transportasi di wilayah Metropolitan Jakarta ini bukan hal baru. Setiap Gubernur yang memimpin daerah khusus ibukota itu selalu menghadapi soal yang sama. Tapi tak satupun yang mampu mengurangi “kualitas” persoalannya. Upaya yang dilakukan sangat sporadis dan hanya sekedar tambal-sulam yang hampir tak memberikan dampak nyata pada kadar permasalahan yang dihadapi.
Rencana Induk Tata Ruang yang dikeluarkan tahun 1985 dengan gagah berani menyatakan bahwa pada tahun 2005 Jakarta akan menerapkan sistem pembatasan lalu lintas (Rencana Umum Tata Ruang 1985–2005). Perbandingan jumlah pengguna fasilitas transportasi publik dan pribadi di kawasan pusat kota telah dicanangkan sebagai 85:15. Rasio tersebut berkurang menjadi 70:30 antara pusat kota dan jalan tol lingkar dalam, lalu menjadi 60:40 untuk kawasan yang berada diantara jalan tol lingkar dalam dan jalan tol lingkar luar hingga 50:50 di pinggiran kotanya. Gagasan yang tertuang dalam angka-angka rasio itu ternyata hanya sebatas wacana yang tak pernah jelas dari mana berasal dan bagaimana mewujudkannya.
Selama kurun waktu 1975-1985, perbandingan jumlah sepeda motor dan mobil sesunggguhnya telah berkisar pada angka 2 berbanding 1 dan dari tahun ke tahun hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Studi JICA lainnya yang dilakukan pada tahun 1984-1987 telah mengungkap setengah perjalanan sehari-hari warga Jabotabek dilakukan dengan berjalan kaki. Ketika itu sebagian besar perjalanan untuk berbelanja ataupun sekolah dilakukan warga dengan berjalan kaki. Setengah jumlah perjalanan lainnya menggunakan kendaraan. Sekitar 24% diantaranya dilakukan dengan mengendarai mobil ataupun sepeda motor sementara 76 persen sisanya mengandalkan kendaraan umum (Arterial Road System Development Study in Jakarta Metropolitan Area, JICA, 1987).
Meski masing-masing studi tersebut di atas memiliki sasaran penelitian yang berbeda, data- data yang terkumpul sebagaimana juga melalui bermacam studi lain yang dilakukan dengan menggunakan berbagai dana bantuan lembaga asing seperti Jakarta Metropolitan Area Transportation Study yang dikerjakan oleh Arge Intertraffic-Lenzconsult, Jerman (1972–1974), Traffic Management and Road Network Development Study yang dikerjakan oleh Colin Buchanan and Partners (1982), dan Jakarta Mass Transit Options Study yang dikerjakan oleh Colin Buchanan and Partners in association with TPO Sullivan and Partners (1986), sesungguhnya telah sangat nyata mengindikasikan perlunya kesungguhan pemerintah DKI Jakarta menata sistem transportasi kotanya..
Jika diteruskan, daftar studi dan penelitian yang telah dilakukan selama kurun waktu 20 tahun terakhir ini tentu akan semakin panjang. Semua studi dan penelitian itu tetap mengindikasikan persoalan yang sama, yaitu sistem pengelolaan transportasi Jakarta yang kacau, kemacetan yang semakin parah dan terus meluas, infrastuktur yang jauh dari memadai (termasuk pedestrian bagi para pejalan kaki), serta kebutuhan mendesak terhadap pembenahan dan pengembangan sistem angkutan umum.
Sejak studi-studi besar yang disebutkan di atas rampung, Jakarta memang telah membangun sejumlah jalan arteri maupun tol. Ada yang dilebarkan, ada yang ditingkatkan statusnya, dan ada pula yang sama sekali baru. Tapi nyatanya waktu tempuh yang dibutuhkan warga Jakarta untuk melintas jarak yang sama semakin panjang. Titik-titik kemacetan semakin parah dan bahkan meluas hingga ke pinggiran kotanya. Alasan klasik yang selalu diungkap setiap masa oleh pejabat DKI Jakarta adalah tidak berimbangnya pertumbuhan panjang jalan dan kendaraan! Bukankah dengan demikian semua pembangunan infrastruktur itu menjadi upaya yang naif? Jika memang demikian, mengapa tak ada terobosan maupun gagasan kreatif lain untuk menyikapi kendala utama penyelesaian masalah itu?
Eskalasi semua persoalan itu sangat terasa pada kurun waktu 5 tahun terakhir ini, yaitu ketika harga bahan bakar minyak kerap bergejolak dan langsung berdampak terhadap biaya transportasi yang harus dikeluarkan masyarakat. Pemukiman penduduk yang semakin bergeser ke kawasan pinggiran kota, khususnya bagi mereka yang tergolong kelompok menengah ke bawah, menyebabkan jarak dan kebutuhan waktu tempuh untuk melakukan perjalanan sehari-hari semakin panjang dan semakin lama. Lintasan angkutan umum yang tersedia kerap tak dapat melayani mereka dengan mudah sehingga harus berganti beberapa kali. Disamping melelahkan dan membuang waktu, hal itu menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan sehari-hari semakin tinggi.
Di sisi lain, menyikapi kebijakan perbankan yang semakin ketat paska krisis politik 1998, industri keuangan mulai melirik peluang sektor konsumsi sebagai bisnis yang menggiurkan. Salah satunya adalah dalam menyediakan fasilitas pembiayaan kepemilikan kendaraan seperti yang disinggung di depan. Lalu melonjaklah jumlah kendaraan, khususnya sepeda motor, di jalan-jalan raya Jakarta yang panjang dan lebarnya amat terbatas itu. Sekonyong-konyong hampir setiap ruas jalan yang ada selalu dipadati oleh kendaraan roda dua.
Terhadap indikasi yang sangat jelas dan di depan mata, yaitu lonjakan kepemilikan sepeda motor yang memadati jalan-jalan raya tersebut, pemerintah DKI Jakarta dan mungkin hampir semua kota besar lain di Indonesia, nyatanya tak berbuat apapun. Padahal, para pengendara sepeda motor yang sesungguhnya berhak menuntut pelayanan transportasi publik yang layak di ibukota republik ini, tak kuasa lagi menunggu hingga terpaksa mengambil inisiatif sendiri, yaitu berupaya memiliki sepeda motor dan mengadu nyawa di jalan raya untuk menyambung hidup keluarga di rumah!
Sangat mudah ditemukan dalam keseharian ibukota seorang bapak yang mengendarai sepeda motor sambil membonceng istri dan anak-anak mereka. Sungguhkah mereka mengabaikan keselamatan anggota keluarganya sendiri dari ancaman maut di jalan raya? Hampir pasti jawabannya adalah tidak. Semua itu terpaksa dilakukan karena mereka tak punya alternatif lain untuk melakukan kegiatan berpergian. Biaya angkutan umum tentunya jauh lebih mahal dibanding ongkos bahan bakar yang dibutuhkan sepeda motor yang ditunggangi beramai-ramai itu.
Diskriminasi antara kelompok berpunya dengan yang belum beruntung sesungguhnya dimulai dari jalan raya. Meski penunggang roda dua melonjak tajam dan berjumlah paling banyak, tapi tetap tak ada upaya bergegas dari pemerintah ibukota untuk menyediakan lintasan khusus bagi kendaraan itu. Seperti juga kendaraan roda empat atau lebih lainnya, kendaraan roda dua itu tentu membutuhkan ruang untuk bergerak. Jika berbicara atas nama suara terbanyak, tentu jumlah mereka jauh lebih besar dibanding pengguna mobil. Apalagi sebagian besar diantaranya terpaksa memilih mengendarai sepeda motor karena pemerintah yang berwenang tak mampu menyediakan angkutan publik yang layak dan memadai kebutuhan perjalanan mereka. Bukankah sangat patut jika pemerintah memberi perhatian yang lebih proporsional?
Bagaimanapun para pengendara roda dua itu membutuhkan ruang untuk bergerak dan melesat mencapai tujuannya. Karena tak disediakan bahkan mungkin tak difikirkan maka tak ada pula cara lainnya selain menyerobot ruang-ruang jalan raya yang hanya dirancang untuk kendaraan roda empat atau lebih itu. Tak perlu heran jika mereka terbiasa lincah menggunakan ruang sempit diantara 2 mobil yang sedang melintas kencang di jalan raya. Harus pula dimaklumi jika para penunggang sepeda motor itu tak pernah ragu mendahului dari sebelah kiri meski pengendara mobil sudah memberi isyarat akan berbelok ke kiri juga. Saat harus berhenti ketika lampu merah pengatur lalu-lintas menyala, hanya dalam hitungan singkat berbagai jenis dan ukuran sepeda motor akan memadati ruang terdepan, memadati sisi-sisi sempit diantara mobil yang berhenti, sambil menunggu tak sabar untuk segera memacu kendaraannya lagi. Mereka layak marah, kecewa, dan cemburu. Mengapa pengendara sepeda motor tak diperhatikan, harus dibedakan dengan pengendara mobil, dan menjadi warga keluar dua?
Sejumlah kecelakaan antara sepeda motor dengan mobil, pejalan kaki, ataupun dengan sepeda motor yang lain kerap terjadi. Jika demikian, pengendara sepeda motor lain yang kebetulan melintas sigap berhenti dan membantu. Solidaritas diantara mereka di jalan raya, meski satu dengan yang lain belum tentu saling mengenal, secara alamiah telah terbangun tanpa ada yang memintanya.
Jakarta memang harus menyediakan angkutan umum massal yang mampu memudahkan warganya bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Jakarta memang harus segera mendahulukan lintasan-lintasan khusus yang hanya dapat digunakan para pejalan kaki. Jakarta memang harus lebih tegas mengatur upaya pembatasan penggunakan kendaraan pribadi di ruas-ruas jalan rayanya yang amat terbatas itu. Tapi sebelum mampu menyediakan sistem transportasi yang canggih dan memadai, Jakarta harus segera memikirkan ruang gerak yang nyaman dan aman bagi para pengendara sepeda motor yang jumlahnya meningkat tajam itu, sambil terus mengupayakan terobosan-terobosan lain agar kehadiran mereka diperlakukan lebih layak, lebih manusiawi, dan lebih berkeadilan.
Jakarta, 25 Juni 2009
sumber : Disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H