Dengan tingkat pertumbuhan yang sudah terkoreksi dampak pengetatan lembaga keuangan dalam melayani pembiayaan kepemilikan kendaraan sekarang ini, serta menerapkan angka tingkat pertumbuhan tersebut secara proporsional pada pola distribusi kepemilikan kendaraan yang dihasil penelitian JICA tahun 2004 lalu, maka jumlah sepeda motor yang dimiliki warga Jabodetabek pada tahun 2010 diproyeksikan mencapai 7,9 juta unit. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan jumlah 6,9 juta rumah tangga yang diperkirakan tinggal di kawasan metropilitan Jakarta. Sementara itu, jumlah rumah tangga yang memiliki setidaknya 1 unit mobil akan meningkat menjadi 25% persen atau sekitar 2,1 juta unit.
[caption caption="Proyeksi Distribusi Keluarga Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Kendaraan"]
Peningkatan jumlah kendaraan yang demikian pesat, tanpa diimbangi dengan penyediaan dan pengelolaan infrastuktur jalan raya yang memadai, yang juga dilengkapi oleh prilaku buruk para pengemudi kendaraan yang melintas di tengah kemacetannya, dengan sendirinya telah menjelaskan mengapa jumlah kecelakaan di jalan raya metropolitan Jakarta meningkat demikian tajam akhir-akhir ini (Majalah Tempo, edisi 8–14 Juni 2009). Majalah itu mengungkap angka kecelakaan yang terjadi pada tahun 2008 meningkat 24% dibanding tahun 2007. Sementara kecelakaan yang melibatkan sepeda motor pada perioda yang sama malah meningkat 67 persen. Dari sisi korban yang meninggal peningkatan juga terjadi hingga 17 persen.
[caption caption="Data Kecelakaan di Wilayah Metro Jaya"]
Prersoalan transportasi di wilayah Metropolitan Jakarta ini bukan hal baru. Setiap Gubernur yang memimpin daerah khusus ibukota itu selalu menghadapi soal yang sama. Tapi tak satupun yang mampu mengurangi “kualitas” persoalannya. Upaya yang dilakukan sangat sporadis dan hanya sekedar tambal-sulam yang hampir tak memberikan dampak nyata pada kadar permasalahan yang dihadapi.
Rencana Induk Tata Ruang yang dikeluarkan tahun 1985 dengan gagah berani menyatakan bahwa pada tahun 2005 Jakarta akan menerapkan sistem pembatasan lalu lintas (Rencana Umum Tata Ruang 1985–2005). Perbandingan jumlah pengguna fasilitas transportasi publik dan pribadi di kawasan pusat kota telah dicanangkan sebagai 85:15. Rasio tersebut berkurang menjadi 70:30 antara pusat kota dan jalan tol lingkar dalam, lalu menjadi 60:40 untuk kawasan yang berada diantara jalan tol lingkar dalam dan jalan tol lingkar luar hingga 50:50 di pinggiran kotanya. Gagasan yang tertuang dalam angka-angka rasio itu ternyata hanya sebatas wacana yang tak pernah jelas dari mana berasal dan bagaimana mewujudkannya.
Selama kurun waktu 1975-1985, perbandingan jumlah sepeda motor dan mobil sesunggguhnya telah berkisar pada angka 2 berbanding 1 dan dari tahun ke tahun hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Studi JICA lainnya yang dilakukan pada tahun 1984-1987 telah mengungkap setengah perjalanan sehari-hari warga Jabotabek dilakukan dengan berjalan kaki. Ketika itu sebagian besar perjalanan untuk berbelanja ataupun sekolah dilakukan warga dengan berjalan kaki. Setengah jumlah perjalanan lainnya menggunakan kendaraan. Sekitar 24% diantaranya dilakukan dengan mengendarai mobil ataupun sepeda motor sementara 76 persen sisanya mengandalkan kendaraan umum (Arterial Road System Development Study in Jakarta Metropolitan Area, JICA, 1987).
Meski masing-masing studi tersebut di atas memiliki sasaran penelitian yang berbeda, data- data yang terkumpul sebagaimana juga melalui bermacam studi lain yang dilakukan dengan menggunakan berbagai dana bantuan lembaga asing seperti Jakarta Metropolitan Area Transportation Study yang dikerjakan oleh Arge Intertraffic-Lenzconsult, Jerman (1972–1974), Traffic Management and Road Network Development Study yang dikerjakan oleh Colin Buchanan and Partners (1982), dan Jakarta Mass Transit Options Study yang dikerjakan oleh Colin Buchanan and Partners in association with TPO Sullivan and Partners (1986), sesungguhnya telah sangat nyata mengindikasikan perlunya kesungguhan pemerintah DKI Jakarta menata sistem transportasi kotanya..
Jika diteruskan, daftar studi dan penelitian yang telah dilakukan selama kurun waktu 20 tahun terakhir ini tentu akan semakin panjang. Semua studi dan penelitian itu tetap mengindikasikan persoalan yang sama, yaitu sistem pengelolaan transportasi Jakarta yang kacau, kemacetan yang semakin parah dan terus meluas, infrastuktur yang jauh dari memadai (termasuk pedestrian bagi para pejalan kaki), serta kebutuhan mendesak terhadap pembenahan dan pengembangan sistem angkutan umum.
Sejak studi-studi besar yang disebutkan di atas rampung, Jakarta memang telah membangun sejumlah jalan arteri maupun tol. Ada yang dilebarkan, ada yang ditingkatkan statusnya, dan ada pula yang sama sekali baru. Tapi nyatanya waktu tempuh yang dibutuhkan warga Jakarta untuk melintas jarak yang sama semakin panjang. Titik-titik kemacetan semakin parah dan bahkan meluas hingga ke pinggiran kotanya. Alasan klasik yang selalu diungkap setiap masa oleh pejabat DKI Jakarta adalah tidak berimbangnya pertumbuhan panjang jalan dan kendaraan! Bukankah dengan demikian semua pembangunan infrastruktur itu menjadi upaya yang naif? Jika memang demikian, mengapa tak ada terobosan maupun gagasan kreatif lain untuk menyikapi kendala utama penyelesaian masalah itu?
Eskalasi semua persoalan itu sangat terasa pada kurun waktu 5 tahun terakhir ini, yaitu ketika harga bahan bakar minyak kerap bergejolak dan langsung berdampak terhadap biaya transportasi yang harus dikeluarkan masyarakat. Pemukiman penduduk yang semakin bergeser ke kawasan pinggiran kota, khususnya bagi mereka yang tergolong kelompok menengah ke bawah, menyebabkan jarak dan kebutuhan waktu tempuh untuk melakukan perjalanan sehari-hari semakin panjang dan semakin lama. Lintasan angkutan umum yang tersedia kerap tak dapat melayani mereka dengan mudah sehingga harus berganti beberapa kali. Disamping melelahkan dan membuang waktu, hal itu menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan sehari-hari semakin tinggi.