Alumni ITB umumnya cerdas dan cerdik. Sulit mengelabui mereka dengan jargon dan janji-janji muluk yang tak berdasar. Seperti yang pernah saya ungkapkan sebelumnya, normative issues yang selalu dikemukakan setiap kandidat Ketua IA ITB - sejak yang pertama hingga yang terakhir kali ini - nyata dan jelas tak pernah terbukti direalisasikan sungguh-sungguh saat yang bersangkutan naik ke panggung. Gegap gempita kampanye yang digencarkan tak beda jauh dengan calon-calon wakil rakyat yang ingin duduk di lembaga legislatif, ataupun kepala daerah yang ingin dipilih rakyat. Pengalaman Indonesia sejak Reformasi 1998, sebagian besar janji-janji itu memang omong kosong, bukan?
Pemilu, Pilkada, atau Pilpres memang melibatkan masyarakat pemilih yang amat beragam latar belakang ‘keluguan’, ‘kebodohan’, ‘kemiskinan’, dan ‘keimanan’-nya. Dalam kelompok terbatas yang tersaring ketat seperti alumni ITB, tentulah rentang keragaman itu jauh lebih sempit. Baik soal ‘keluguan’-nya, ‘kebodohan’-nya, ‘kemiskinan’-nya, maupun ‘keimanan’-nya.
Jika demikian, kehebohan dan hingar-bingar yang berlangsung ini sangat mungkin dipandang oleh mayoritas yang tak sudi mendaftarkan dirinya sebagai persoalan exclusive mereka yang berminat naik ke atas panggung beserta segelintir simpatisannya. Seolah-olah keramaian yang berlangsung hanya tentang ‘mereka’. Bukan tentang ‘kita’.
Dalam hal ini, tingkat kecerdasan dan kecerdikan alumni ITB justru menjadi hambatan penting. Sulit ditembus urusan kelabu-mengkelabui ataupun kampanye yang abal-abal. Dan sayangnya, para kandidat yang tampil hari ini pun belum terlihat ‘move on’ juga. Persis seperti fenomena katak yang direbus.
Perhatikan saja pola dan cara mereka merangkul suara pemilih. Tak satupun yang menyediakan layanan tanya-jawab langsung yang berpeluang menggali konsep dan gagasan mereka jika kelak terpilih. Setidaknya untuk menanggapi hal-hal yang menyuburkan apatisme, menepis keraguan, membangun kebersamaan, ataupun membantah tuduhan exclusivisme itu.
Kemajuan teknologi yang didaya-gunakan untuk teknis proses pemilihan ternyata tak digunakan pada proses diseminasi pemikiran dan gagasan mereka yang menjajakan dirinya sebagai ketua Ikatan Alumni paling layak pada periode 2016-2020 ini. Bukankah kini menyediakan layanan FAQ (frequently asked questions) maupun QA (question and answer) itu kini merupakan hal yang jauh lebih mudah dan sangat dimungkinkan dibanding masa sebelumnya?
MARTABAT
Walaupun bukan soal yang sederhana, alasan pertama dan kedua sesungguhnya masih menyisakan celah positif. Sebab, mereka yang tak berpartisipasi karena kedua alasan itu masih berada di dalam lingkaran kebangsaan (nation) ITB. Walau kecewa tapi belum berniat menanggalkan ‘kewarga-negaraan’-nya.
Tidak demikian dengan alasan yang ketiga. Mereka bukan sekedar cuek tapi telah enggan mengakui dirinya bagian dari ikatan itu. Hal ini tentu sangat mengecewakan. Bukan hanya bagi almamater tapi juga alumni itu sendiri.
Mengapa sampai demikian?
Pasti bukan karena alasan yang tunggal. Sangat mungkin karena sejumlah hal yang berlapis dan saling menyempurnakan kekecewaannya. Karena mudarat yang dirasakan jauh melebihi manfaat yang diperoleh.
Diantara sekian banyak alasan, soal martabat adalah salah satunya. Keberadaan alumni yang nyata-nyata berbuat hal yang nista, ataupun murtad terhadap janji sarjana yang pernah diucapkannya, sangat mungkin mengusik integritas dan harga diri mereka. Dan kenyataannya, Ikatan Alumni ITB tak bersikap apapun terhadap semua yang mencoreng kebanggaan korps yang ingin diagungkannya.