Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnal Ilmiah, Diaspora, dan Arwana

13 Januari 2016   10:44 Diperbarui: 13 Januari 2016   15:08 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - jurnal ilmiah (Shutterstock)

Sabtu siang kemarin adalah perayaan ulang tahun adiknya. Ketika kuliah di Bandung dulu, saya pernah mondok di kediaman keluarga mereka. Kami sudah lama tak bertemu. Kini ia salah seorang dosen senior di ITB pada jurusan Teknik Industri. Namanya Tota Simatupang.

Akhir-akhir ini saya sering berselancar di dunia maya. Mencari jurnal-jurnal ilmiah di bidang rekayasa industri, perkotaan, dan transportasi. Semua begitu mudah diperoleh, kecuali terbitan Indonesia. Setelah sekian puluh tahun merdeka hal itu rupanya masih tetap langka. Bahkan setelah teknologi masa kini menawarkan kemudahan yang luar biasa. Kendala biaya produksi dan distribusi pada media cetak sesungguhnya hampir habis terpangkas. Jadi untuk sementara waktu, saya berhipotesa hal itu bukan masalah utamanya.

Pada kesempatan duduk bersebelahan, saya menanyakan soal jurnal ilmiah rekayasa industri Indonesia. Sesuatu yang memang bersesuaian dengan profesi dan keahliannya. Dan ia mengakui soal kelangkaan yang saya temukan di dunia maya tadi. Menurutnya, banyak ilmuwan ITB dan mungkin perguruan tinggi dan lembaga ilmiah lain di Indonesia yang justru mengirimkan karya kepada jurnal-jurnal di luar negeri.

Maka sayapun semakin yakin dengan hipotesa di atas tadi. Memang bukan biaya produksi dan distribusi yang menjadi biang keladi. Apakah soal insentif?

Insentif tak selamanya dan tak harus soal uang ataupun penghargaan material yang diperoleh penulis (karya ilmiah) dari penerbit. Saya sangat yakin definisi insentif bagi penulis karya ilmiah jauh lebih luas dari hal itu, sebagaimana makna yang dijelaskan oleh bahasa asalnya. Bagi para ilmuwan, di sana ada kepuasan yang hampir tak berperi, penghargaan, kebanggaan, dan martabat. Ada dialektika intelektual yang sublim. Penasaran yang asyik. Juga kebahagiaan yang membuncah. Walaupun mungkin hanya dipahami dan dinikmati oleh kalangan yang sangat terbatas. Yaitu, mereka yang berkecimpung di bidang ilmiah terkait.

Karya-karya yang dituangkan dalam tulisan untuk kemudian dipublikasikan pada jurnal ilmiah sering kali merupakan proyek personal ataupun sekelompok ilmuwan. Proyek yang lahir dan beraktualisasi dalam perjalanan intelektual mereka. Bisa jadi karena melihat, ingin mengembangkan, hasrat memperbaiki, upaya menyempurnakan, dan/atau semangat untuk mengkritisi berbagai gagasan ilmiah yang mengemuka ataupun berkelebat. Proyek karya ilmiah bukan pesanan yang hanya sekedar untuk menghabiskan anggaran tapi merupakan pengejewantahan rasa cinta pada bidang pengetahuan yang dipilih sang ilmuwan.

***

Siang itu saya harus bergegas pulang sebab masih ada undangan lain yang perlu dihadiri malamnya. Tapi jalanan Jakarta begitu macet sehingga laju kendaraan yang saya tumpangi tersendat. Lalu saya teringat tentang jurnal-jurnal ilmiah yang membahas soal perkotaan dan transportasi. Tentunya yang berasal dan beredar di Indonesia. Seperti halnya rekayasa industri, jurnal ilmiah lokal yang mengulas topik perkotaan dan transportasi juga demikian langka.

Sambil mengendara saya kemudian menghubungi rekan kuliah yang kini menjadi salah seorang staf pengajar di kampus kami dulu. Namanya Iwan P. Kusumantoro. Melalui telpon saya menanyakan hal yang sama untuk bidang perkotaan dan transportasi. Sesuai dengan bidang keahliannya. Dan saya mendapat jawab yang hampir sama. Minat dan selera ilmuwan terkait yang begitu rendah untuk menuang pemikiran ilmiahnya. Sesuatu yang semakin membulatkan keyakinan saya tentang kemiskinan sistem insentif yang mampu menstimulasi semangat dan keinginan mereka mengembangkan proyek gagasan ilmiah.

Rekan dari jurusan Teknik Planologi yang di Bandung itu malah menyampaikan bahwa jurnal ilmiah terkait bidangnya, hari ini memang sedang terseok. Miskin kontributor sehingga tak memenuhi persyaratan akreditasi Kementerian yang mengurus administrasi perguruan tinggi. Sejak beberapa tahun belakangan, penerbitan berkala jurnal ilmiah memang telah menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi.

***

Seorang rekan di Filipina, Apollo Arelano, mengunggah kisah diaspora di halaman pribadi sosial medianya. Seorang warga negara Filipina yang lain mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan studi di Jepang. Tapi setelah selesai, ia memilih menetap dan berkarya di negeri sakura itu. Tidak kembali dan mengabdikan ilmu pengetahuan dan keahliannya di negeri sendiri. Walau sesungguhnya disiplin ilmu yang ditekuni langka dan dibutuhkan. Keputasannya untuk tak pulang kampung konon karena tak ada lapangan pekerjaan yang bersesuaian dan layak.

Apa yang disampaikan rekan Filipina saya itu tak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Berapa banyak sarjana S1, S2, maupun S3 - khususnya di bidang rekayasa - kita yang cemerlang dan mendapat beasiswa belajar di luar negeri tapi akhirnya memutuskan tak kembali dan berkarya di tanah air? Bahkan tak sedikit yang menuntaskan pendidikannya di sini lalu memutuskan menjadi bagian ‘diaspora’ Indonesia!

Kisah warga Filipina itu kemudian saya teruskan pada halaman media sosial pribadi sambil memberi catatan pengantar bahwa kejadian tersebut juga jamak di negeri kita. Seorang rekan lain yang juga berprofesi sebagai dosen, Tety Armiati Argo, menanggapi :

“kita mulai tahu (specialized) higher education is not enough kalau ga ada grand strategic plan untuk memanfaatkannya. Jadi labour market-nya mesti diciptakan juga yaaa.....kalau diserahkan ke pasar tenaga kerja versi swasta ngga akan mudah.”

***

Bah!

Ini soal ‘how to engineering and engineering design, bukan?

Demikianlah semestinya sebagaimana yang diuraikan Edward V. Krick dalam bukunya yang menjadi salah satu panduan utama mata kuliah Konsep Teknologi yang dulu wajib diikuti seluruh mahasiswa tahun pertama S1 ITB (Edward V. Krick, “An Introduction to Engineering and Engineering Design”, 2nd edition, Jhon Wiley & Sons, Inc., 1969). Sekarang judul mata kuliah itu telah berganti menjadi Pengantar Rekayasa dan Desain.

Simaklah cuplikan penting dari buku tersebut (halaman 35-36) :

“They always were and still are problem-oriented. Their prime motive is to solve a problem at hand. If perchance they are faced with a problem for which scientific knowledge does not supply a solution, they will still attempt to solve that problem. The engineer has a job to do, and he/she will arrive at a solution to a problem through experimentation, common sense, ingenuity, or perhaps other means if current scientific knowledge does not cover the situation. Thus the engineer doest not exist solely for the application of science; rather he exists to solve problems, and in so doing he utilizes scientific knowledge when it available.”

Berpuluh tahun Institut Teknologi Bandung dan berbagai perguruan tinggi ternama lainnya berdiri di Republik Indonesia ini tapi lalai mengupayakan dan melakoni rekayasa terhadap habitat dan atmosfir dimana ia berada. Lingkungan dimana semestinya ia ‘mengabdikan segala kebajikan ilmu pengetahuan untuk menghantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila’ (alinea 3 pada Janji Sarjana ITB). Putra-putri terbaik bangsa yang di-‘ternak’ di sana layaknya ikan-ikan arwana yang indah dan perkasa dalam akuarium kaca yang megah. Sekedar pajangan yang manja belaka. Berenang kian-kemari memamerkan keindahan tubuh dan kulitnya sambil menunggu panganan yang diberikan secara teratur oleh pemiliknya.

Minat kontribusi yang rendah pada jurnal-jurnal ilmiah lokal - sebagaimana pula soal ‘diaspora’ itu - bukan beban dan tanggung-jawab Indonesia, Bung!

Apa gunanya Ikatan Alumni ITB jika ikan-ikan arwana yang perkasa itu tak dibiarkan merdeka mengarungi sungai-sungai kita, tapi malah diburu dan dipajang pada akuarium kaca di perumahan mewah mereka?

Jakarta, 13 Januari 2016 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun