Sementara, dengan pelanggan yang jumlahnya baru sekitar 100.000, pendapatan dari penjualan iklan tentu belum bisa banyak diharapkan. Bagaimanapun harga jual iklan sangat bergantung pada jumlah dan kualitas pemirsa yang menyaksikannya. Dalam industri periklanan, populasi 100 ribu keluarga tentunya belum cukup berarti.
Dan RCTI-pun sekali lagi memperoleh ‘kemudahan’ dalam menjalankan usahanya. Pada tahun 1991, 2 tahun setelah diizinkan mengudara secara terbatas, restu untuk melakukan siaran yang dapat langsung diterima masyarakat tanpa perlu menggunakan decoder (free to air) akhirnya diperoleh. Warga Jakarta dan sekitarnya cukup mengupayakan antena yang dapat menerima gelombang UHF (ultra high frequency) yang mudah diperoleh di pasar, lalu kemudian tinggal dihubungkan ke pesawat televisi yang ada, dan siaran RCTI-pun langsung dapat diterima.
Keberuntungan RCTI rupanya tak cukup disitu. Melalui Departemen Penerangan, pemerintahan yang berkuasa bahkan mengizinkan mereka membangun menara yang dapat memancar-teruskan (relay) siarannya kepada warga kota Bandung dan sekitarnya. Wilayah jangkauan siar RCTI seketika menjadi semakin luas.
Banyak pihak yang menduga kemudahan- kemudahan yang diperolehnya itu berkaitan erat dengan ‘upaya dan dukungan kekuasaan’ agar mereka mampu memperbaiki aliran kas (cashflow) sehingga kewajiban-kewajibannya dapat diselesaikan, terutama yang menyangkut pinjaman investasi yang diperoleh dari Bank Dagang Negara.
Dengan sistem penyiaran yang baru maka sumber pemasukan dari penjualan decoder ataupun iuran berlangganan otomatis terhenti. Tapi hilangnya sumber pendapatan itu sesungguhnya tidak terlalu berarti jika dibandingkan dengan pendapatan iklan yang diperoleh. Kualitas dan jumlah spot iklan RCTI justru meningkat pesat dan jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Selisih antara pendapatan dan pengeluaran operasional justru jauh lebih baik.
Semua itu karena efektifitas pemasangan iklan di media layar kaca meningkat drastis sejalan dengan perluasan jumlah dan kualitas pemirsa yang mampu dijangkau. Pemirsa potensial meningkat dari 400-500 ribu pasang-mata menjadi lebih dari 10 juta! Maka pada tahun 1994, setahun setelah izin penyiaran lokal ditingkatkan menjadi nasional, pinjaman investasi dari Bank Dagang Negara akhirnya berhasil dilunasi (lihat Catatan #9).
Keadilan dan Kesejahteraan Keluarganya
Ketika Departemen Penerangan mengeluarkan izin penyiaran free to air, sebuah lembaga penyiaran swasta lain (SCTV - PT Surya Citra Televisi) lahir di Surabaya. Stasiun milik pengusaha Henry Pribadi yang berkongsi dengan Sudwikatmono (kerabat Soeharto) dan Halimah Bambang Trihatmodjo (menantu Soeharto, istri Bambang Trihatmodjo) itu mendapat izin untuk wilayah Surabaya dan sekitarnya. Mereka juga diperbolehkan memperluas jangkauan siarnya hingga ke Bali.
Preseden izin penyiaran nasional justru diawali oleh Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Stasiun milik Siti Hardiyanti Rukmana, yang merupakan anak tertua presiden Soeharto dan Siti Hartinah itu, semula mengajukan izin penyiaran untuk mendukung upaya pemerataan dan peningkatan kualitas kegiatan pendidikan di seluruh Tanah Air. Sangat boleh jadi, alasan itu hanya digunakan sebagai pembenaran (justification) bagi ‘pertimbangan pemerintah dalam memberi dukungan dan kemudahan’ kepada TPI sehingga mereka dapat memanfaatkan asset dan sumberdaya milik TVRI untuk mendukung kegiatan operasionalnya.
Maka stasiun itupun leluasa melakukan siaran dengan menggunakan fasilitas, perlengkapan, bahkan sumberdaya manusia TVRI. Dibanding 2 stasiun sebelumnya tentu biaya yang dikeluarkan TPI sangat murah dan irit. Investasi modal yang dilakukan relatif kecil karena dengan menggunakan frekuensi dan sumberdaya TVRI mereka segera mampu beroperasi. Bukan hanya itu, merekapun serta-merta mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia yang selama ini dilayani stasiun plat merah itu melalui ratusan stasiun relay-nya.
Tapi bagaimanapun TPI juga lembaga swasta yang jelas tak beda dengan kedua ‘saudara’-nya yang lahir lebih dulu. Untuk menopang ongkos sajian siaran-siaran pendidikannya - dengan tetap menggunakan fasilitas TVRI - stasiun tersebut diperkenankan menayangkan program-program lain yang lebih mampu menyedot perhatian pemirsa. TPI sempat sangat populer dengan slot program yang menayangkan film-film India dan dangdut sehingga di kalangan praktisi pertelevisian dan periklanan namanya sering dipelesetkan menjadi ‘Televisi Pembantu Indonesia’ (lihat Catatan #10).
Sesungguhnya memang tidak semua jam tayang pagi hingga siang hari digunakan TPI untuk program pendidikan. Sebagian justru digunakan untuk menayangkan program-program hiburan. Hal itu tentu menyebabkan RCTI dan SCTV merasa tidak diperlakukan secara adil sehingga mereka mulai ‘menuntut hak’ yang sama. Apalagi ternyata program-program hiburan di TPI semakin lama semakin dominan dibanding tayangan pendidikannya. Bahkan kemudian - seperti yang kita saksikan sekarang ini - tayangan pendidikan justru telah sama sekali menghilang dari layar TPI (lihat Catatan #11).