Jadi, untuk membatasi siaran RCTI waktu itu, pemerintah bukan semata menggunakan parameter geografis, tapi juga tingkat sosial-ekonomi masyarakatnya. Keharusan menggunakan decoder secara otomatis menjadi lapis kedua yang membatasi jumlah pemirsa televisi swasta. Biaya membeli decoder dan ongkos berlangganan bukan sekedar menciptakan kendala yang terkait dengan kemampuan masyarakat menyisihkan sebagian penghasilan agar dapat membeli kemewahan siaran televisi swasta.
Tapi juga memberi ruang kepada setiap individu menggunakan hak dan kesempatan untuk menimbang baik-buruk, untung-rugi, serta manfaat-mudarat siaran televisi yang ‘dibelinya’. Dengan demikian maka suara mereka akan nyaring dan sangat bernilai untuk diabaikan para pengelola stasiun televisi swasta.
Kenyataannya, kehadiran perdana RCTI disambut dengan suka-cita oleh masyarakat metropolitan Jakarta. Dalam kurun waktu setahun, sekitar 100 ribu decoder langsung diserap warga ibukota. Kemampuan menyebarkan alat penyelaras siaran sebanyak itu dalam waktu yang cukup singkat, tentu merupakan sebuah fenomena yang cukup berarti. Apalagi jika mempertim- bangkan jumlah dan komposisi tingkat pendapatan keluarga saat itu.
Salah satu studi yang dilakukan Japan International Corporation Agency (JICA) ketika mempelajari sistem jaringan jalan arteri di wilayah metropolitan Jakarta tahun 1987 lalu, menyimpulkan 16% dari 1,8 juta keluarga layak digolongkan kedalam kelompok ekonomi menengah ke atas (lihat Catatan #4).
Jika diperinci lebih lanjut 3/4 dari kelompok itu tergolong masyarakat yang berpendapatan menengah-tinggi, yaitu mereka yang memiliki pengeluaran antara Rp 42.000 - Rp 140.000 per bulan. Sedangkan 1/4 sisanya tergolong berpendapatan tinggi, yaitu mereka yang membelanjakan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga per bulan di atas Rp 140.000 (lihat Catatan #5).
Jika demikian maka 100 ribu keluarga yang membeli decoder ketika itu, kira-kira merupakan 1/3 dari jumlah kelompok menengah ke atas yang ada. Hal itu membuktikan betapa tingginya minat masyarakat terhadap kehadiran stasiun penyiaran selain TVRI yang selama ini selalu menjejal mereka dengan berbagai propaganda pemerintah.
Ditinjau dari tingkat pengeluaran rumah-tangga, jumlah keluarga yang tergolong menengah ke bawah tentunya jauh lebih banyak, yaitu sekitar 84 persen. Meski mereka juga sangat ingin menjadi pelanggan siaran RCTI, kondisi ekonomi dan keuangannya mungkin belum, atau bahkan tidak memadai. Akibatnya laju pertumbuhan pelanggan decoder yang ditawarkan sang penyaji “Pentas Dunia di rumah Anda” (lihat Catatan #6) pada tahun-tahun berikutnya mulai menurun.
RCTI yang lahir di zaman Orde Baru itu sesungguhnya sangat ‘beruntung’. Ditengah suasana pengencangan ikat pinggang yang didengungkan pemerintah, stasiun swasta pertama tersebut justru memperoleh kucuran pinjaman yang cukup besar dari Bank Dagang Nasional (lihat Catatan #7) untuk memenuhi kebutuhan investasi maupun modal kerjanya. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bahkan mengeluarkan rekomendasi bebas bea-masuk untuk mengimpor ratusan ribu decoder.
Sangatlah wajar jika banyak pihak yang mengkaitkan kemudahan yang diperoleh terhadap kedekatan pemiliknya dengan pusat kekuasaan saat itu. Investasi televisi swasta tentu bukan sesuatu yang mampu meningkatkan nilai ekspor ataupun menambah devisa negara. Tapi justru sebaliknya. Hampir semua peralatan diimpor dari luar negeri. Demikian pula sebagian besar program tayangannya.
Setiap tahun mereka harus berbelanja program di berbagai pasar dunia dengan menggunakan dollar Amerika ataupun mata uang asing lainnya. Industri rumah produksi yang menghasilkan program-program lokal baru mulai berkembang sekitar 5 tahun setelah stasiun itu berdiri (lihat Catatan #8).
Meski sesungguhnya capaian tingkat penyerapan decoder yang terjadi tergolong luar biasa - mengingat rendahnya angka pendapatan rata-rata masyarakat ketika itu - tapi nyatanya jumlah pemasukan yang diperoleh masih jauh dari memadai, terutama jika dibanding dengan nilai pinjaman investasi yang harus dikembalikan. Sebagian besar hasil penjualan decoder dan iuran berlangganan itu tentu masih perlu dialokasikan untuk membiayai overhead dan operasional kantor.