[caption caption="Ancaman Nasional yang Membutuhkan Bela Negara. Sumber archive.constantcontact.com/"][/caption]
28 Oktober 2015 kemarin tak hanya untuk memperingati 87 tahun pencanangan Sumpah Pemuda. Tapi juga Gerakan Nasional Anti Narkotika dan Obat-obatan Terlarang (GRANAT) yang resmi berdiri 16 tahun yang lalu. Beberapa saat setelah Presiden Soeharto mengakhiri kekuasaannya di tengah jalan, berkumpullah 14 anggota masyarakat yang resah menyaksikan perkembangan pesat peredaran gelap dan penyalah gunaan narkoba. Mereka sepakat mendirikan lembaga yang non-partisan.
Sejak awal, organisasi nirlaba yang membiayai seluruh kegiatannya secara swadaya itu, mendapat simpati luas dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam waktu singkat perwakilannya di daerah-daerah berdiri sehingga kini telah hadir di (hampir) seluruh propinsi yang ada di Indonesia.
Untuk gerakan sejenis, GRANAT adalah yang pertama di Indonesia. Bahkan jauh sebelum organisasi yang dimiliki dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, Badan Narkotika Nasional (BNN), berdiri.
Garis yang tegas bahkan keras terhadap wujud dan prilaku apapun yang berkait dengan penyalah- gunaan maupun peredaran gelap narkoba telah disuarakannya dengan lantang di ujung pemerintahan Presiden BJ Habibie yang sementara dan singkat itu (1998-1999). Berlanjut pada kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid - Megawati Soekarnoputri (1999 - 2001) yang ditengah jalan berganti dengan Megawati Soekarnoputri - Hamzah Haz (2001-2004). Lalu selama 2 musim perioda berikutnya, yaitu Susilo Bambang Yudoyono - Jusuf Kalla (2004-2009) maupun Soesilo Bambang Yudhoyono - Boedino (2009-2014).
Kini, di era pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla yang mulai memimpin sejak 2014 lalu, ia masih berdiri tegar. Tetap mengejar mimpinya terhadap Indonesia yang bersih dari narkoba. Karena cita-cita memang harus digantung setinggi langit. Betapapun muskilnya. Walau 2 diantara 14 pendirinya telah dipanggil Sang Khalik : Dr. Sudirman SpKJ (2011) dan Dr. Adnan Buyung Nasution SH (2015).
***
Sesungguhnya, candu hadir di tengah kehidupan hampir seumur peradaban manusia yang mengisinya. Semula ditemukan tak sengaja sebagai buah interaksi dengan alam sekitar. Demikianlah yang dialami suku asli Indian di daratan Amerika yang mengonsumsi daun koka. Begitu pula yang dilakukan budak-budak Afrika yang didatangkan ke sana. Mereka membawa mariyuana lalu digunakan saat istirahat malam hari setelah lelah bekerja seharian. Di sebagian wilayah Indonesia seperti tumbuhan itu semula justru merupakan bahan penyedap makanan (Dhira Narayana, Irwan M. Syarif, dan Ronald C.M., ‘Hikayat Pohon Ganja - 12.000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia’, Gramedia, 2011).
Penyalah-gunaan kegunaan tumbuhan itu kemudian hari berkembang menjadi sebuah ketagihan yang tak hanya merusak kesehatan hingga merenggut nyawa. Tapi juga prilaku, tatanan sosial, dan budaya hidup masyarakat.