Mohon tunggu...
jihan yasirnur
jihan yasirnur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Travelling

Mahasiswa yang hobinya jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Meneliti Keindahan dan Keunikan Kampung Adat Todo

8 Juni 2021   23:45 Diperbarui: 9 Juni 2021   00:39 3126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung Adat Todo:Sumber Pribadi

Pagi haripun tiba, terdengar suara alarm yang membangunkan hampir seisi rumah. Dengan sangat terkejut, saya terbangun dan bersiap-siap untuk pergi ke Kampung Adat Todo pada bulan Januari lalu. Hanya bermodalkan motor, uang dan keberanian, saya berangkat dari rumah menuju tempat tujuan selama kurang lebih tiga jam.

Selama perjalanan, pemandangan alam begitu menakjubkan. Bukit-bukit tinggi menjulang keatas dengan ditutupi awan yang berkabut. Ditambah lagi pohon-pohon yang berjejer saling beriringan. Saya beberapa kali menepi demi mengabadikan momen indah tersebut.

"Anda telah sampai ke tempat tujuan" begitulah kata google maps. Namun, keberadaan Kampung Adat Todo tidak terlihat. Yang tampak hanyalah beberapa rumah masyarakat biasa. Rumah tersebut terlihat seperti rumah pada umumnya dengan atap rumah terbuat dari seng dan dinding rumah yang terbuat dari semen. Sedikit kebingungan, saya memutuskan untuk bertanya kepada orang yang ada di sekitar. Orang tersebut menunjuk kearah Selatan tidak jauh dari tempat saya berdiri.

Dengan mengikuti arahan dari orang tersebut, saya berjalan lurus ke arah Selatan hingga akhirnya mendadak hentakan kaki ini berhenti. Pemandangan kuburan dengan luas kurang lebih satu hektar cukup mengagetkan. "Apakah ini arah yang benar ?" bisikku dalam hati. Rasa takut menyelimuti dada ditambah suasa dingin dan awan yang berkabut menambah sensasi horor. Walaupun penuh dengan keraguan, saya memutuskan untuk tetap berjalan lurus seperti perkataan orang tersebut. 

Dan betul saja, dari jauh terlihat pemandangan Kampung Adat Todo. Kampung Adat Todo merupakan sebuah kampung adat tertua di Manggarai. Tempat ini diyakini sebagai tempat berasalnya Raja Manggarai pertama. Berada di kaki Gunung Anak Ranaka tepatnya di Kecamatan Satar Mese Utara, Kabupaten Manggarai. Desa Todo adalah pusat Pemerintahan Kerajaan Manggarai. Manggarai sendiri merupakan kerajaan terbesar yang menguasai Pulau Flores sebelum akhirnya harus pindah ke kota Ruteng karena invasi Belanda.

Pada saat memasuki pintu utama Kampung Adat Todo, saya disambut dengan kemunculan sosok seorang dewasa. Sambil berkata " Selamat Datang di Kampung Adat Todo, pusat kebudayaan kerajaan Manggarai di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur". dengan memancarkan senyuman khas orang timur. Sosok seorang dewasa yang diketahui bernama Pak Dandi yang merupakan seorang petugas dan sekaligus masyarakat asli desa Todo tersebut membawa saya ke sebuah tempat khusus untuk menyambut para wisatawan. 

Tempat tersebut berbentuk segitiga kerucut dengan model rumah panggung yang terbuat dari kayu dan jerami. Didalamnya, terdapat meja dan beberapa peralatan tulis-menulis yang berguna untuk menyatat kehadiran para wisatawan. Ditempat ini juga, kita diharuskan untuk membayar biaya tiket masuk Kampung Adat Todo sebesar Rp45.000,00.

Kemudian, kita akan diberikan sepasang pakaian adat khas masyarakat Kampung Adat Todo. Pakaian tersebut sangatlah unik. Nama pakaian adat tersebut adalah kain Songke. Kain ini menjadi pakaian adat wajib yang dipakai oleh masyarakat suku Manggarai. Pemakaian kain Songke bisa dibilang mirip dengan pemakaian sarung. 

Hanya saja, dalam memakainya tidak bisa sembarangan, dikarenakan ada bagian tertentu yang harus menghadap ke bagian depan. Kain Songke ini didominasi oleh warna hitam yang melambangkan keagungan dan kebesaran orang suku Manggarai. Di samping itu, setiap motif yang berbeda pada kain Songke juga melambangkan nilai yang berbeda pula. Selain itu, kita akan diberikan selendang yang terbuat dari bahan kain Songke dan untuk laki-laki diberikan topi khas Manggarai yang diberi nama Jongkong Re'a. Pemberian pakaian adat ini dimaksudkan sebagai salah satu tanda untuk menghormati para leluhur terdahulu.

Pak Dandi kemudian membawa saya lebih jauh kedalam kampung adat todo. Sambil berjalan, Pak Dandi yang juga berperan sebagai seorang Tour Guide ini menjelaskan  kepada saya mengenai sejarah dan filosofi Kampung Adat Todo. Sebelum memasuki rumah adat, saya dihadapkan dengan sebuah meriam kecil. Meriam yang diletakkan di depan akses jalan menuju halaman Kampung Adat Todo ini,  menyerupai tabung dengan pegangan di samping kiri dan kananya, pada bagian ujung dengan ukuran yang lebih kecil. 

Terdapat empat motif  hiasan melingkar dari bagian pangkal hingga ujung meriam, serta terdapat ornamen mahkota belanda dan tulisan "S.J.S". Pada beberapa permukaan meriam yang dalam kondisi korosi (karatan). Meriam ini dulunya dipakai oleh suku adat Todo dalam peperangan melawan musuh. Tak jauh dari meriam, terdapat beberapa makam kuno. Makam tersebut merupakan makam seorang raja pertama kerajaan Manggarai dan tokoh adat di kampung Todo terdahulu.

Disamping makam kuno, terdapat juga beberapa Menhir yang difungsikan sebagai media pemujaan terhadap roh leluhur. Menhir Merupakan batu dengan bentuk persegi empat yang memanjang berdiri tegak dan dibuat polos tanpa adanya motif hias. Kemudian, saya diajak oleh Pak Dandi untuk memasuki rumah adatnya. 

Rumah adat ini diberi nama Niang Mbowang. Niang Mbowang merupakan rumah adat di Kampung Todo dengan bentuk rumah panggung yang berdenah lingkaran, serta atap berbentuk kerucut yang menjuntai hampir menyentuh tanah. Pada bagian pondasi terlihat menggunakan batang kayu yang ditanam ke dalam tanah, serta bagian dinding dan lantai bangunan dibuat dengan menggunakan papan kayu yang didukung oleh balok-balok kayu. 

Sementara, rangka atap bangunan rumah adat ini terbuat dari bambu yang diikat menggunakan rotan dan ijuk, serta menggunakan ijuk dan alang-alang sebagai penutup bagian atas rumah adat ini. Pada bagian atas atap terdapat ornamen yang disebut Periuk. Terdapat berbagai motif hias pada area sekitar pintu bangunan rumah adat ini serta bagian atasnya, salah satu motif hias yang digunakan yakni motif hias hiasan kepala, hiasan kepala tersebut biasa digunakan oleh masyarakat setempat saat berlangsungnya suatu upacara.

Rumah Adat Mbaru Niang : Sumber Pribadi
Rumah Adat Mbaru Niang : Sumber Pribadi

Rumah adat yang terdapat di kampung Todo terdiri dari lima buah. Setiap rumah adat diisi oleh keturunan dari orang-orang terdahulu yang pertama kali datang dan membuat Niang Mbowang. Sebelum memasuki rumah adat, Pak Dandi menyuruh saya untuk berhenti terlebih dahulu. Sambil menundukan kepala, beliau berbicara sendiri seolah-olah sedang mengobrol dengan seseorang  menggunakan bahasa asli Manggarai. Ternyata, beliau sedang meminta ijin kepada para leluhur untuk memasuki rumah adat mereka. Hal ini bertujuan untuk menghormati pemilik rumah adat terdahulu yang telah tiada.

Di dalam rumah adat, terdapat banyak sekali barang-barang peninggalan jaman dahulu yang amat langka seperti gamelan, kursi, cermin, meja, alat pemukul caci yang dipakai dalam perayaan tarian caci dan yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah gendang yang terbuat dari kulit manusia. Konon diceritakan kulit gendang tersebut merupakan kulit seorang perempuan cantik nan sakti. Perempuan tersebut diperebutkan oleh tiga kerajaan Manggarai yaitu kerajaan Todo, Bima dan Goa. 

Perempuan ini merupakan keturunan India dan Bima, yang kabur dari Bima karena bentrok antara adat India yang ingin membunuh anak permpuan (saat itu) dengan adat Bima yang tidak memperbolehkan anak perempuan dibunuh. Sayangnya, ketiga kerajaan ini besaing dengan cara yang tidak sehat untuk memperebutkan tanah sekaligus putri cantik nan sakti tersebut. 

Akhirnya para raja mengutus perwakilannya untuk saling bertemu dan merumuskan peraturan untuk persaingan yang sehat di Manggarai. Setelah mereka saling curiga dalam bersaing, mereka sempat konflik. Lalu diadakan komitmen untuk hentikan problem ini dengan satu fokus solusi, yaitu siapa yang bisa tangkap dan nikahi ini perempuan cantik nan sakti tersebut, dialah yang berhak jadi Raja Manggarai.

Alhasil raja Todo yang kala itu mengetahui keberadaan wanita sakti tersebut dekat dengan kerajaannya, ia pun terjun langsung untuk mencarinya. Di kala masyarakat terlelap, Raja Todo berniat untuk menyudahi persaingan konflik tiga kerajaan yang memperebutkan wanita itu, alhasil dibunuhlah si wanita cantik nan sakti tadi dengan cara tertentu. Sejak saat itu Todo memproklamirkan sebagai penguasa Manggarai sekaligus pemersatu kerajaan-kerajaan di sana. Menurut keterangan leluhurnya, setelah tersiar kabar wanita yang diperebutkan itu mati di tangan Raja Todo, ketiga kerajaan tersebut sepakat untuk tidak lagi konflik. 

Peperangan yang sudah diprediksi akan terjadi pun tidak terwujud, dengan hasil daratan Manggarai dikembalikan ke Raja Todo. Sambil mendengar penjelasan Pak Dandi mengenai alat gendang tersebut, secara tidak sengaja mata saya dialihkan dengan bentuk dapur yang sangat unik. Jika pada umumnya dapur ditaruh dibawah namun berbeda dengan yang lain, dapur ini digantung. Sangat mencengangkan melihat bagaimana cara memasak masyarakat adat Todo pada jaman dahulu.

Puas melihat isi dalam rumah adat, saya diajak oleh Pak Dandi untuk keluar dari rumah adat. Namun, sebelum berjalan keluar rumah adat kita diharuskan memberikan sumbangan kepada para leluhur seikhlasnya. Pemberian uang ini dimaksudkan sebagai salah satu cara menghormati para leluhur yang telah tiada dan sebagai sarana doa. 

Doa tersebut akan disampaikan oleh para leluhur kepada Tuhan sehingga doanya akan mudah didengar dan terwujud. Setelah itu, saya melangkahkan kaki keluar dari rumah adat. Setelah keluar, Pak Dandi mempersilahkan saya  untuk berfoto-foto sepuasnya di Kampung Adat Todo ini. Sebelumnya, pada awal saat memasuki Kampung Adat Todo, saya diberitahu untuk tidak mengambil foto selama Pak Dandi sedang memberikan penjelasan mengenai sejarah dan filosofi Kampung Adat Todo. Hal ini bertujuan sebagai salah satu sikap untuk menghormati leluhur dan sekaligus bentuk pernghormatan kepada para Tour Guide yang sedang menjelaskan sejarah dan filosofi kampung adat todo.

Setelah puas berfoto-foto, saya melihat gerombolan anak kecil dan memutuskan untuk menghampiri mereka. Saya mengajak mereka berkenalan. Sambil tersenyum, saya menanyakan nama dan umur mereka. Namun, ternyata sebagian besar anak-anak kecil tersebut tidak paham Bahasa Indonesia. Mereka kebanyakan berbicara dengan bahasa Manggarai asli. Sedikit membingunkan tetapi melihat senyum manis anak-anak kecil tersebut membuat rasa lelah saya tergantikan. Dengan sangat berat hati, saya diharuskan untuk segera pergi dari Kampung Adat Todo dikarenakan cuaca yang tidak mendukung.

Sumber : 

Adhie. 2018. Pegipegi Diakses pada tanggal 30 Mei 2021 pukul 15.35

Artanegara. 2020 .Kemdikbud. Diakses pada tanggal 30 Mei 2021 pukul 15.33.

Kompas. 2018. Kompas Travel. Diakses pada tanggal 30 Mei 2021 pukul 15.36.

Rachmad. 2019. Traveling Yuk.  Diakses pada tanggal 30 Mei 2021 pukul 15.37.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun