Advokat sebagai Guardian of the Law: Penjaga Hukum yang Tak Tergantikan
"Guardian of the law" atau penjaga hukum adalah sebutan yang tepat untuk menggambarkan peran penting seorang advokat dalam sistem hukum. Istilah ini menggarisbawahi tanggung jawab advokat untuk melindungi dan menegakkan hukum, serta memastikan bahwa keadilan ditegakkan bagi semua pihak. Mereka memastikan bahwa setiap individu mendapatkan perlakuan yang adil di hadapan hukum, terlepas dari status sosial atau ekonomi mereka.
Profesi pengacara selama ini lekat dengan citra sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Namun, belakangan ini, citra tersebut sedikit ternodai oleh gaya hidup mewah yang kerap dipamerkan oleh sebagian kalangan pengacara. Fenomena flexing atau memamerkan kekayaan di media sosial semakin marak, termasuk di kalangan para advokat.
Sangat disayangkan, di tengah maraknya kasus hukum yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sejumlah pengacara justru lebih sibuk memamerkan gaya hidup hedonis. Sebagai seorang pengacara, selain memiliki pengetahuan hukum yang mendalam, juga diharapkan memiliki integritas dan moralitas yang tinggi. Tindakan flexing, yang sering dikaitkan dengan pamer kekayaan, status, atau prestasi secara berlebihan, dapat merusak citra profesi ini.
Tindakan memperlihatkan kekayaan secara berlebihan seperti memamerkan mobil mewah, jam tangan mahal, dan liburan ke luar negeri serta ke tempat - tempat eksotis kerap menjadi konten unggahan mereka di media sosial. Padahal, sebagai seorang pengacara, seharusnya mereka lebih fokus pada upaya memberikan bantuan hukum yang maksimal kepada klien, bukan malah sibuk mengumbar kemewahan. Tindakan ini dapat menimbulkan kesan bahwa pengacara tersebut lebih mementingkan materi daripada keadilan.
Tindakan flexing yang dilakukan oleh sebagian pengacara ini jelas bertentangan dengan kode etik profesi advokat. Sebagaimana diatur dalam Kode Etik Advokat dalam Bab II Pasal 2 yang mengatur mengenai Kepribadian Advokat
"Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya"
Dalam kode etik profesi advokat tersebut dijelaskan bahwasanya seorang advokat harus berlandaskan moral yang tinggi, luhur dan mulia.
Seorang advokat harus memiliki moral yang tinggi, artinya memiliki nilai-nilai luhur seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab.
Nilai-nilai luhur yang dimiliki seorang advokat harus menjadi pedoman dalam setiap tindakannya. Nilai-nilai ini akan membimbing advokat dalam mengambil keputusan yang etis.
Profesi advokat adalah profesi yang mulia. Seorang advokat harus selalu berusaha untuk menjaga martabat profesinya dan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat.
Seorang advokat dituntut untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, integritas, dan mulia. Sayangnya, gaya hidup mewah yang berlebihan justru dapat mengaburkan batas antara kepentingan pribadi dan kepentingan klien. Beberapa pengacara mungkin terlalu fokus pada aspek finansial dari profesi mereka, sehingga mengabaikan nilai-nilai etika yang seharusnya dijunjung tinggi.
Tindakan flexing dapat merusak citra profesi advokat di mata masyarakat. Publik akan semakin sulit mempercayai seorang pengacara yang lebih mementingkan penampilan daripada kualitas pelayanan hukum yang diberikannya.
Fenomena flexing di kalangan pengacara memiliki beberapa dampak negatif yang ditimbulkan, yaitu :
- Mencemarkan citra profesi: Tindakan flexing dapat merusak citra profesi advokat di mata masyarakat. Publik akan semakin sulit mempercayai seorang pengacara yang lebih mementingkan penampilan daripada kualitas pelayanan hukum.
- Menimbulkan kecemburuan sosial: Gaya hidup mewah yang dipamerkan oleh sebagian pengacara dapat memicu kecemburuan sosial dan memperlebar kesenjangan antara mereka dengan masyarakat umum.
- Mengalihkan perhatian dari isu-isu hukum yang lebih penting: Fokus pada pencitraan diri dapat mengalihkan perhatian pengacara dari tugas utamanya, yaitu memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak yaitu peningkatan pengawasan oleh organisasi advokat. Hal ini pun diatur dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 pada Pasal 12 yang mengatur mengenai pengawasan yang berbunyi :
"(1) Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan."
Pengawasan dilakukan untuk menjaga advokat dalam menjalankan profesinya agar menjunjung tinggi kode etik profesi dan peraturan perundang - undangan yang mengatur profesi advokat. Oleh karena itu, organisasi advokat perlu meningkatkan pengawasan terhadap anggotanya, terutama terkait dengan gaya hidup dan perilaku yang tidak sesuai dengan kode etik.
Fenomena flexing di kalangan pengacara merupakan masalah serius yang perlu segera diatasi. Gaya hidup mewah yang berlebihan tidak hanya merusak citra profesi pengacara sebagai "Guardian of The Law" atau penjaga hukum, tetapi juga dapat menghambat tercapainya keadilan. Pengacara yang baik adalah mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral, serta selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi kliennya. Penting bagi setiap pengacara untuk selalu mengingat bahwa pengacara merupakan profesi mulia yang menuntut dedikasi dan integritas yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H