Membedah topik mengenai lika-liku menjadi warga sipil di Indonesia memang tiada habisnya. Negara yang dideklarasikan sebagai pemilik sistem pemerintahan demokrasi ini nyatanya masih gagap dalam menjalankan nilai kerakyatannya. Lempar kritik dibalas laporan penyidik. Adakah yang lebih menggelitik daripada lakon tokoh pemerintah anti-kritik negara ini?Â
Mengenang sekejap peristiwa yang menyeret warga sipil dan tokoh pemerintah suatu daerah di Indonesia. Konon dikabarkan bahwa daerah tersebut seolah lahir dengan kondisi jalanan penuh longkang, tidak ada yang tahu awal mulanya dan seolah tak akan pernah usai persoalannya. Geram melihat daerahnya yang tidak kunjung mengalami kemajuan, seorang pelajar yang kini tengah menempuh studi di negeri Kanguru itu lantas tidak tinggal diam menopang dagu saja.Â
Memanfaatkan jejaring sosial media TikTok, sebuah video kritik dengan durasi 3 menit 28 detik tersebut beranjak viral. Ledakan atensi masyarakat pada video tersebut bukan karena konten asal tayang semata, sebab seorang tokoh pemerintah yang dituju pada video tersebut hingga harus repot-repot membuat laporan pada pihak polisi seolah sosoknyalah yang diserang.Â
Langkah yang diambil tokoh tersebut merupakan suatu tindakan yang disebut Tone Policing. Istilah yang belum familiar di Indonesia namun praktiknya sudah masif dilakukan.Â
Tone Policing merupakan suatu tindakan merendahkan yang dilakukan seseorang (biasanya yang memiliki hak istimewa) dalam sebuah percakapan mengenai penindasan dan ketidakadilan yang diinterpretasikan dengan pengalihan fokus dari topik penindasan ke cara penyampaian protes tersebut. Singkatnya, Tone Policing dilontarkan untuk membuat argumen kelompok marjinal tidak valid dan diabaikan.Â
Dari suguhan presentasi mengenai "Alasan Kenapa Lampung Gak Maju-Maju" yang memaparkan empat poin kritik tokoh pemerintah justru memilih fokus pada penyelipan kata benda dalam diksi pembuka video tersebut.Â
Tokoh tersebut menyatakan bahwa bubuhan kata benda tersebut mencoreng nama baik daerah. Perilaku pengabaian kritik masyarakat merupakan praktik Tone Policing yang kerap digunakan pemangku kekuasaan untuk membungkam suara awam.Â
Perlu diketahui bahwa praktik Tone Policing tidak hanya terjadi pada lingkup politik saja. Semakin lekat kita dengan sistem patriarki, maka semakin terlihat bagaimana kerdilnya suara kaum terpinggirkan.Â
Mari membahas mengenai berapa juta perempuan yang didudukkan pada 'stratanya' sebagai makhluk rendah di bawah laki-laki. Praktiknya banyak terjadi dalam kehidupan rumah tangga dimana perempuan akan dijadikan sebagai tokoh antagonis yang hanya tahu marah-marah, dan laki-laki yang menyandang peran penyabar.Â
Sering dijumpai seberapa banyak seorang anak menganggap sosok ibu lebih jahat daripada ayah. Bahwa stereotip menjadi seorang ibu adalah menjadi sosok pemarah dan menjengkelkan.Â
Pemberian label tersebut karena penekanan bahwa cara penyampaian pesan oleh ibu itu lebih penting daripada apa isi pesan yang sebenarnya.Â
Tone Policing juga memberikan dampak psikologis bagi seseorang yang hendak menyuarakan keluhannya. Sebagai objek Tone Policing seseorang dapat merasakan perasaan bersalah ketika ia hendak menyampaikan kritik atau keluhan. Hal ini disebabkan karena adanya penolakan argumen yang ia sampaikan menggunakan emosi penyampaian yang padahal secara natural muncul. Dengan diabaikannya validitas perasaan tersebut membuat seseorang berpikir ulang mengenai aduan yang sebenarnya nyata tersebut.Â
Referensi:
https://www.learningforjustice.org/magazine/who-decides-whats-civil
https://blog.apaonline.org/2022/05/10/tone-policing-and-the-assertion-of-authority/
https://www.studioatao.org/respectability-politics
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H