Industri perbankan digital Indonesia menghadapi tantangan serius di tengah meningkatnya ancaman siber. Data terbaru dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan bahwa pada tahun 2023 terjadi 976 juta insiden siber, yang sebagian besar menyasar sektor keuangan.Â
Salah satu ancaman paling signifikan adalah serangan berbasis teknologi deepfake, yang memungkinkan pelaku menciptakan konten digital palsu yang sangat realistis untuk tujuan kriminal. Dengan berkembangnya teknologi ini, sektor perbankan semakin rentan terhadap manipulasi dan penipuan digital.
Apa Itu Deepfake dan Bahayanya untuk Perbankan?
Deepfake adalah teknologi berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) yang memanfaatkan algoritma canggih, seperti Generative Adversarial Networks (GANs), untuk membuat video, audio, atau gambar palsu yang hampir tak bisa dibedakan dari konten asli. Teknologi ini memungkinkan manipulasi data visual dan suara sehingga seseorang dapat terlihat atau terdengar seperti mengatakan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
Dalam konteks perbankan, deepfake menjadi alat yang ampuh bagi pelaku kejahatan untuk:
Meniru Eksekutif atau Nasabah
Pelaku bisa menggunakan deepfake untuk berpura-pura sebagai pejabat tinggi bank dalam panggilan video, meminta karyawan untuk memproses transaksi besar.Membobol Sistem Biometrik
Dengan teknologi deepfake, pelaku dapat meniru wajah atau suara nasabah untuk melewati sistem keamanan berbasis biometrik, seperti pengenalan wajah atau suara.Mengelabui Nasabah dengan Penipuan Audio atau Video
Pelaku membuat video palsu untuk meminta korban mentransfer uang ke rekening mereka.
Kasus Nyata yang Menunjukkan Bahaya Deepfake
Dikutip dari beberapa website yaitu Bbc News, The Guardian - Deepfake Financial Fraud, BSSN Cybersecurity Report 2023. Serangan deepfake telah menyebabkan kerugian signifikan di berbagai belahan dunia. Berikut beberapa kasus nyata yang menggambarkan bahaya deepfake:
Kasus di Inggris (2020)
Sebuah perusahaan energi di Inggris mengalami kerugian sekitar USD 243.000 ketika pelaku menggunakan deepfake audio untuk meniru suara CEO mereka dan memerintahkan transfer dana ke rekening pihak ketiga. Kasus ini memperlihatkan betapa efektifnya teknologi deepfake dalam menipu eksekutif perusahaan dengan meniru suara mereka.Kasus di Uni Emirat Arab (2021)
Di Uni Emirat Arab, penipuan deepfake audio menyebabkan bank kehilangan lebih dari USD 35 juta. Pelaku meniru suara seorang eksekutif perusahaan besar dan berhasil mengarahkan transfer dana ke rekening mereka. Kasus ini menunjukkan bagaimana deepfake dapat digunakan untuk menipu dengan cara yang sangat canggih dan sulit dideteksi.Kasus di Indonesia (2023)
Di Indonesia, meskipun belum ada laporan besar terkait deepfake, BSSN mencatat bahwa sektor keuangan berada di garis depan dalam insiden siber. Pada tahun 2023, 50% dari total insiden siber menyasar sektor ini, dengan potensi serangan menggunakan deepfake semakin meningkat, terutama di tengah meningkatnya penggunaan platform digital di kalangan nasabah.
Mengapa Indonesia Rentan terhadap Deepfake?
Ada beberapa faktor yang membuat Indonesia menjadi sasaran empuk serangan deepfake:
Penggunaan Media Sosial yang Tinggi
Indonesia memiliki lebih dari 191 juta pengguna media sosial, menjadikannya salah satu negara dengan aktivitas digital tertinggi di dunia. Informasi visual dan audio yang diunggah pengguna dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk membuat deepfake.Kurangnya Kesadaran Digital
Banyak individu dan institusi keuangan belum memahami risiko deepfake secara mendalam. Hal ini membuat mereka kurang siap menghadapi ancaman tersebut.Infrastruktur Keamanan Siber yang Belum Optimal
Meskipun terus berkembang, keamanan siber di Indonesia belum sepenuhnya mampu mendeteksi teknologi canggih seperti deepfake.
Apa yang Harus Dilakukan untuk Mengatasi Ancaman Ini?
Untuk mencegah kerugian besar akibat deepfake, langkah berikut dapat diterapkan:
Menggunakan Teknologi Deteksi Deepfake
Bank perlu mengadopsi teknologi berbasis AI yang dapat mengenali tanda-tanda manipulasi digital pada video atau audio. Teknologi ini dapat menganalisis konten untuk mencari elemen-elemen yang mencurigakan yang mungkin tidak tampak pada pandangan pertama.Memperkuat Sistem Keamanan Multi-Faktor (MFA)
Selain biometrik, bank harus menambahkan lapisan keamanan seperti OTP (One-Time Password) atau verifikasi fisik untuk setiap transaksi besar. Dengan sistem MFA yang lebih ketat, pelaku kejahatan akan lebih sulit menipu sistem.Meningkatkan Edukasi Digital
Karyawan bank dan nasabah harus diedukasi tentang bahaya deepfake dan cara mengenalinya. Kesadaran ini menjadi kunci untuk mencegah serangan siber. Bank juga harus rutin mengadakan pelatihan agar karyawan bisa mengenali potensi serangan deepfake.
Dengan 976 juta insiden siber pada 2023, Indonesia menghadapi ancaman serius dalam dunia perbankan digital. Teknologi deepfake menjadi salah satu alat berbahaya yang bisa menembus sistem keamanan dan mencuri kepercayaan nasabah.
Untuk itu, industri perbankan harus berinvestasi dalam teknologi deteksi canggih, memperkuat sistem keamanan, dan meningkatkan edukasi untuk melindungi diri dari ancaman ini. Dalam dunia digital yang semakin maju, kesiapan adalah kunci untuk mengelola risiko dan menjaga kepercayaan nasabah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI