Lalu perlukah pemindahan ibukota dilakukan?
Berdasarkan data, bahwa 70% ekonomi nasional digerakkan oleh dana APBN, dan dana APBN itu akan selalu berputar di sekitar pusat kekuasaan.Â
Bila pusat kekuasaan di Jakarta, maka perputaran dana APBN juga hanya di Jakarta dan sekitarnya. Â Perputaran ekonomi terjadi karena, fokus pembangunan dan aktivitas ekonomi terpusat di pulau Jawa sedangkan di luar Pulau Jawa dituntut untuk bersikap mandiri dalam mengembangkan wilayahnya.Â
Terjadinya keterlamabatan pembangunan dan kekurangan infrastruktur sehingga terjadi ketimpangan antar daerah di Indonesia. Selain itu, situasi ketimpangan kepadatan ini memicu pemusatan investasi ekonomi di beberapa kawasan saja sehingga tingkat kemiskinan Jakarta sangat rendah dibanding daerah lain, yakni 3,7 persen. Rata-rata tingkat kemiskinan kota Indonesia, 8,5 persen dan desa 14,4 persen.
Untuk melakukan rencana pemindahan ibukota, Pemerintah Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit. Total kebutuhan untuk ibukota baru kurang lebih Rp 466 triliun.Â
Jumlah tersebut sangat berpotensi untuk bertambah, mengingat inflasi serta bagaimana model dan desain bangunan dan fasilitas yang masih mungkin berkembang sesuai landscape nanti. Akan tetapi, nilai tersebut dipandang jelas jauh lebih rendah dibandingkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta yang sekarang mencapai di atas Rp 20 triliun per tahun, dan degradasi lingkungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memaparkan perkiraan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan ibu kota negara yang baru, dibagi menjadi 3 sumber yaitu melalui APBN sebanyak 19,2% atau senilai Rp 89,472 triliun. Melalui Swasta sekitar 26,2% atau sebesar Rp 122,092 triliun. Melalui KPBU sebanyak 54,6% atau sebesar Rp 254,436 triliun.
Namun, wacana pemindahan ibukota ini dianggap kurang efektif untuk mengatasi permasalahan ketimpangan yang terjadi. Pemerintah dinilai tidak siap untuk memindahkan ibukota terlebih dana yang dibutuhkan tidak sedikit.Â
Riset Indef menemukan pemindahan ibukota ke provinsi ini berdampak 1,77 persen terhadap PDRB atau Pendapatan Domestik Regional Bruto di Kalimantan Tengah. Namun, kontribusinya pada PDB nasional hanya 0,0001 persen. Sebaliknya, pemindahan ibu kota ini berkontribusi negatif pada PDRB provinsi lain hingga 0,04 persen. Banyak masalah lingkungan yang akan timbul sebagai akibat pembangunan ini.
Selain itu, banyak masyarakat yang mengkhawatirkan terjadinya alih fungsi lahan akibat pembangunan yang terjadi. Seperti yang kita tahu, wilayah Kalimantan masih sedikit pembangunan. Diharapkan nantinya pembangunan yang dilakukan tetap bisa memperhatikan lingkungan dan pemerintah bisa melakukan antisipasi agar tidak terjadi seperti di Jakarta karena pemindahan ibukota ini perlu pertimbangan matang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H