Mohon tunggu...
Jihan Afnan
Jihan Afnan Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa Sastra Prancis di Universitas Padjadjaran

Saya menyukai menulis dan berencana untuk memiliki karir di bidang ini di masa depan. Saya menyukai tantangan, jadi saya akan terus berusaha meng-improve tulisan saya dan tidak akan pernah berhenti belajar.

Selanjutnya

Tutup

Book

Belit Patriarki yang Kejam: Review Novel Kim Ji Yeong, Lahir Tahun 1982

31 Mei 2023   23:30 Diperbarui: 31 Mei 2023   23:33 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel | Source: goodreads.com

Alur Cerita Kim Ji Yeong, Lahit Tahun 1982

Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang wanita 34 tahun bernama Kim Ji-yeong, yang seperti ditulis di judul, lahir tahun 1982. Di permulaan novel, Ji-yeong digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang mengalami depresi pasca melahirkan. Kepribadiannya kerap tiba-tiba berubah dan dia menjadi lebih "sensitif."

Namun, tentu saja, seperti kebanyakan novel, penyebab keanehan Ji-yeong tidaklah sesederhana itu. Selalu ada cerita yang lebih kompleks dibaliknya. Untuk mengetahui kisah Ji-yeong, penulis membawa kita untuk melakukan perjalanan waktu ke masa lalu, yakni tahun 1982, tahun kelahirann Ji-yeong.

Diceritakan bahwa Kim Ji-yeong merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Dia dan kakak perempuannya kerap menerima perlakuan tidak adil karena mereka berdua adalah anak perempuan, sementara adik lelakinya selalu diprioritaskan dan dimanjakan sejak kecil, terutama oleh nenek dan ayahnya sendiri. Selama masa sekolah pun, Ji-yeong selalu mengalami ketidakadilan dan diskriminasi gender. Saat seorang anak lelaki mengganggunya, guru mengatakan anak itu menyukainya. Saat masa SMP dan SMA, keadaan belum membaik. Seragam wanita sangat amat dibatasi, ketat aturannya dan bahkan anak perempuan tidak diijinkan memakai sepatu olahraga. Dalam pembagian urutan makan siang, anak lelaki selalu didahulukan, dan masih banyak persoalan lainnya. 

Namun puncaknya adalah ketika Ji-yeong lulus kuliah. Dia sangat sulit untuk menemukan pekerjaan, baik perusahaan besar maupun kecil enggan menerimanya karena dia seorang perempuan. Karena stereotip yang ada adalah bahwa perempuan itu tidak mungkin menjadi karyawan jangka panjang, bahwa perempuan merepotkan dan tidak bisa menerima beban kerja sebanyak laki-laki, dan bahwa perempuan suatu saat akan cuti atau resign karena masalah anak dan perkawinan. Bahkan ketika ia akhirnya diterima bekerja dan menghasilkan kinerja yang lebih baik dari karyawan laki-laki, ia tetap disepelekan dan tidak menerima kesempatan yang sama dengan karyawan lelaki. 

"Jiyoung grew up being told to be cautious, to dress conservatively, to be "ladylike." That it's your job to avoid dangerous places, times of day and people. It's your fault for not noticing and not avoiding." 

Review Novel

Novel ini memiliki tujuan yang jelas dan to the point sejak awal -- tapi anehnya bisa tetap terasa menarik dan tidak membosankan. Pemilihan diksi dan gaya bahasanya ringan dan saya rasa orang yang tidak suka membaca pun akan dengan mudah menangkap maksud penulis saat membacanya. 

"Kamu pernah merasa iri padaku, kan? Seperti inilah realita kehidupan perempuan di Korea Selatan. Apa kamu sanggup menjalaninya jika kamu menjadi aku?" 

Rasanya, saya seperti bisa melihat langsung raut murung dan suara kecil Ji-yeong yang mengatakan hal ini pada saya setelah membaca halaman terakhir.

Secara garis besar, plot ceritanya menggambarkan perjuangan Ji-yeong dalam menghadapi tekanan sosial dan ketidakadilan gender yang ternyata mendarah daging di Korea Selatan. Sebagai Kpopers, saya tahu sedikit banyak, bahwa Korea Selatan yang dipotret media memang tidak selalu seindah kenyataannya. Namun, dari novel ini saya lebih paham lagi bahwa "negara maju" sekalipun masih terseok-seok melawan patriarki. 

Tak bisa dipungkiri, meski tujuan penulis adalah mengemas kehidupan wanita Korea dalam sebuah karya, saya yang bukan wanita Korea pun tetap bisa merasa relate. Sudah tak terhitung berapa kali saya mendengar dan melihat langsung perlakuan/pelecehan yang dialami seorang wanita tanpa alasan yang jelas. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang salah? 

Apakah laki-laki memang disetting untuk tidak menghargai perempuan dan tidak bisa memandang kami sebagaimana manusia? Tentu tidak, kan? Lalu, kalau begitu, apakah perempuan yang salah, seperti yang dikatakan ayah Ji-yeong? 

Selain mengenai masalah gender, novel ini juga menyoroti beban yang ditanggung oleh istri dan ibu. Setelah menikah, Ji-yeong dituntut untuk melahirkan oleh keluarga mertuanya. Setelah melahirkan, ia dipaksa untuk cepat beradaptasi: harus bisa mengurus anak, melakukan pekerjaan rumah, merawat diri, sekaligus memikirkan biaya sewa apartemen yang naik dan biaya sekolah anaknya kelak. Melepas pekerjaan lamanya saja merupakan keputusan yang berat, tapi, keadaan tidak pernah berbaik hati padanya. Ia terus menerus terdesak dan diminta berkorban lebih dan lebih lagi.

Waktu istirahatnya dirampas dan dia merasa "ditipu" karena menjadi seorang ibu sama sekali tidak mudah seperti yang orang-orang sekitarnya katakan. Belum lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa wanita yang sudah memiliki anak terkucilkan dari masyarakat dan lebih sulit mencari pekerjaan layak. Pandangan ini membuat Ji-yeong merasa kehilangan jati diri dan sulit mengejar impian dan ambisinya.

Hal yang saya sukai dari novel ini adalah novel ini tetap terasa seperti novel -- bukan sebuah biografi yang membosankan dan kaku. Time skip yang digunakan penulis justru membantu pembaca melihat tahapan-tahapan kehidupan Ji-yeong dan memahami karakternya dengan lebih intim. Selain itu, mungkin karena gaya penulisan yang terlihat memakai prinsip show, not tell, ceritanya lebih terasa natural, mengalir apa adanya. Rate dari saya 4,8/5. 

Sedikit tambahan informasi, novel ini ternyata sudah pernah diadaptasi menjadi film layar lebar. Pantas saja saya merasa tidak asing dengan adegan bis, saya pernah melihat cuplikannya di reels instagram. Namun saya tetap merekomendasikan untuk membaca novelnya dahulu sebelum menonton filmnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun