Tak bisa dipungkiri, meski tujuan penulis adalah mengemas kehidupan wanita Korea dalam sebuah karya, saya yang bukan wanita Korea pun tetap bisa merasa relate. Sudah tak terhitung berapa kali saya mendengar dan melihat langsung perlakuan/pelecehan yang dialami seorang wanita tanpa alasan yang jelas. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang salah?Â
Apakah laki-laki memang disetting untuk tidak menghargai perempuan dan tidak bisa memandang kami sebagaimana manusia? Tentu tidak, kan? Lalu, kalau begitu, apakah perempuan yang salah, seperti yang dikatakan ayah Ji-yeong?Â
Selain mengenai masalah gender, novel ini juga menyoroti beban yang ditanggung oleh istri dan ibu. Setelah menikah, Ji-yeong dituntut untuk melahirkan oleh keluarga mertuanya. Setelah melahirkan, ia dipaksa untuk cepat beradaptasi: harus bisa mengurus anak, melakukan pekerjaan rumah, merawat diri, sekaligus memikirkan biaya sewa apartemen yang naik dan biaya sekolah anaknya kelak. Melepas pekerjaan lamanya saja merupakan keputusan yang berat, tapi, keadaan tidak pernah berbaik hati padanya. Ia terus menerus terdesak dan diminta berkorban lebih dan lebih lagi.
Waktu istirahatnya dirampas dan dia merasa "ditipu" karena menjadi seorang ibu sama sekali tidak mudah seperti yang orang-orang sekitarnya katakan. Belum lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa wanita yang sudah memiliki anak terkucilkan dari masyarakat dan lebih sulit mencari pekerjaan layak. Pandangan ini membuat Ji-yeong merasa kehilangan jati diri dan sulit mengejar impian dan ambisinya.
Hal yang saya sukai dari novel ini adalah novel ini tetap terasa seperti novel -- bukan sebuah biografi yang membosankan dan kaku. Time skip yang digunakan penulis justru membantu pembaca melihat tahapan-tahapan kehidupan Ji-yeong dan memahami karakternya dengan lebih intim. Selain itu, mungkin karena gaya penulisan yang terlihat memakai prinsip show, not tell, ceritanya lebih terasa natural, mengalir apa adanya. Rate dari saya 4,8/5.Â
Sedikit tambahan informasi, novel ini ternyata sudah pernah diadaptasi menjadi film layar lebar. Pantas saja saya merasa tidak asing dengan adegan bis, saya pernah melihat cuplikannya di reels instagram. Namun saya tetap merekomendasikan untuk membaca novelnya dahulu sebelum menonton filmnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H