Mohon tunggu...
Jihan Afnan
Jihan Afnan Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa Sastra Prancis di Universitas Padjadjaran

Saya menyukai menulis dan berencana untuk memiliki karir di bidang ini di masa depan. Saya menyukai tantangan, jadi saya akan terus berusaha meng-improve tulisan saya dan tidak akan pernah berhenti belajar.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Mengunjungi Kota Omelas dan Pulang dengan Perasaan Berkecamuk

31 Mei 2023   00:39 Diperbarui: 31 Mei 2023   00:49 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Cerpen | Source: amazon.in

Baru-baru ini, saya mengunjungi sebuah kota yang bernama Omelas. Sudahkah kamu pernah mendengar mengenai kemasyuran kota ini? Tentang bagaimana mereka mengadakan sebuah festival musim panas yang amat menyenangkan, penuh dengan makanan, musik, tarian, dan kebebasan berekspresi. 

Mereka memiliki semua yang kamu impikan! Namun, begitu kita menelusuri sejarah kota ini lebih jauh, kita akan sadar, kebahagiaan dan kesejahteraan yang diperoleh masyarakat kota ini begitu semu dan kejam. 

Omelas adalah sebuah kota imajinatif yang diciptakan oleh penulis Ursula K. Le Guin dalam cerpennya yang berjudul The Ones Who Walk Away From Omelas. Cerpen sebanyak 5 halaman ini nyatanya berhasil memercik perasaan tidak nyaman setelah menyelesaikannya sekaligus membuatmu terdiam merenungkannya.

Ringkasan The Ones Who Walk Away From Omelas

Hanya ada dua hal yang bisa disimpulkan dari dua halaman pertama cerpen ini: Pertama, bahwa Omelas adalah sebuah perwujudan dari Utopia-- narator mengatakan, Omelas layaknya kota dalam negeri dongeng. 

Warga Omelas selalu riang dan gembira. Mereka tidak memiliki Raja (artinya semua orang setara, tidak perlu khawatir pada kediktatoran dan penderitaan akibat perang!), mereka juga tidak memelihara budak (sekali lagi, semua orang itu setara!). Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani, pedagang, atau nelayan. 

Diceritakan juga, bahwa warga Omelas hidup minim aturan dan hukum, tapi kehidupan mereka yang bebas tetap membumi. Mereka tidak mengenal bursa saham, billboard/ time square, dan tidak ada mata-mata atau kendaraan modern seperti helikopter atau mobil yang merusak alam. Stasiun kereta menjadi tempat terindah di penjuru kota. 

Kedua, bahwa warga Omelas begitu bahagia dan puas dengan kondisi mereka saat ini. Atau mungkin lebih tepatnya -- terlihat bahagia. Semua gambaran menyenangkan tadi perlahan tergerus saat sebuah fakta baru menyembul. 

Di kota itu, kota yang sama dimana mereka memanjakan anak-anak mereka dan mengadakan perlombaan pacu kuda untuk para remaja, ada seorang anak yang menjadi pengecualian dari segala privilege tersebut. Anak itu hidup di sebuah ruang sempit bawah tanah yang terpencil dan tanpa jendela. 

Anak itu digambarkan "cacat" dan "lemah pikiran." Namun semua itu terdengar seperti omong kosong karena nyatanya yang membuatnya lemah adalah perlakuan seisi kota. 

Dia dikurung disana, hanya diberikan makan sangat sedikit dan tidak layak, dan minuman yang sedikit pula. Fisiknya hancur perlahan-lahan: tubuhnya terlalu kurus, perutnya menonjol, ia hidup disana dengan kotorannya sendiri untuk waktu yang lama. 

Apa yang terjadi? Mengapa mereka membiarkannya dalam kondisi itu? Sebenarnya, mengapa? 

 Orang-orang di pintu tidak pernah berkata apapun, namun anak itu, yang pernah tidak tinggal di gudang, dan ingat akan cahaya matahari juga suara ibunya, sesekali berbicara. "Aku akan jadi anak baik," katanya. "Tolong keluarkan aku. Aku akan jadi anak baik!" tapi mereka tidak pernah menjawab.

Review Cerpen

Sebenarnya, narator sudah menuliskan alasannya, tapi saya yakin banyak yang akan merasa alasan itu hanya alasan yang tidak masuk akal. Di cerita ini disebutkan bahwa warga kota biasanya mengajak anak mereka yang sudah cukup umur untuk mengunjungi anak itu setidaknya sekali. Mereka hanya menonton anak malang itu; tak ada yang bergerak menolong atau membebaskannya sekalipun mereka bisa.

Mereka merasa kasihan, sebagian merasa jijik dan syok: nyatanya, orang-orang Omelas adalah manusia biasa. Namun, penderitaan anak itu tidak boleh dicabut atau dihilangkan demi kesejahteraan kota. Ya, memang ironis. 

Dituliskan bahwa kebahagiaan yang ada di Omelas bergantung pada kemelaratan yang dirasakan anak itu. Karena itulah, ia harus tetap disana, dan ia harus selalu menderita. Ketidakadilan yang dirasakan anak itu adalah yang terbaik untuk semua orang, tapi, apakah benar begitu? 

Apakah orang-orang Omelas benar-benar mampu menemukan kebahagiaan sejati dengan membunuh kebahagiaan orang lain? Benarkah bahwa prinsip "mayoritas akan selalu menang dari minoritas" adalah sesuatu yang masuk akal untuk dipertahankan dalam segala situasi? Atas dasar apa kita merasa berhak menakar harga kehidupan seseorang dan memutuskan siapa yang lebih layak hidup bahagia? 

Seperti yang sudah saya bilang, cerpen singkat ini, berhasil mengusik dan membangkitkan empati sekaligus emosi aneh untuk orang yang sudah membacanya. Jika dilihat dari sudut pandang pembaca, tentu saja saya tidak setuju dengan apa yang dilakukan warga Omelas, tapi jika saya memposisikan diri di posisi warga Omelas, mungkin sudah lain cerita. Saya merasa tertampar setelah membaca cerpen ini: kurang lebih saya sadar bahwa cerpen ini memiliki motif tersembunyi sebagai sebuah sindiran tersirat. 

Sebenarnya, kota fiksi itu tidak jauh berbeda dengan kota yang saya kenali saat ini. Tempat dimana "warga" mementingkan ego, tidak saling mempedulikan, dan berpura-pura tidak melihat orang yang kesusahan, bukan deskripsi yang asing.

Semua itu tidak ada bedanya dengan kondisi masyarakat kota besar di era sekarang. Tunawisma dan orang gila yang tinggal di jalanan mungkin kesulitan memenuhi rasa lapar mereka hari demi hari, tapi apakah pernah saya sekali saja memikirkan mereka? Tidak pernah. Bahkan jika boleh jujur, mungkin pemikiran saya tidak jauh busuknya dengan warga Omelas. 

Mungkin saja dalam hati terdalam saya berpikir bahwa takdir tragis orang-orang di sekitar saya hal yang natural terjadi; bahwa itu bukan urusan saya. "Orang yang sangat miskin itu memang harus ada untuk membuat roda ekonomi berputar." Kini saya mengerti, semua itu hanya hal teoritis yang saya pelajari di sekolah -- hal yang membuat hati nurani saya menjadi semakin tumpul dari hari ke hari. 

Rasa-rasanya, penulis seperti mengajak pembacanya untuk sama-sama merenung. Sudahkah kita melihat sekitar dan menyadari berapa banyak orang yang pontang-panting di saat kita memiliki tempat yang tetap untuk makan dan tidur? 

Kita terlalu sibuk mengejar kesuksesan dan mendefinisikan kebahagiaan masing-masing, bersenang-senang layaknya berada dalam festival, tapi, tanpa kita sadari seseorang mungkin meratap atau berusaha setengah mati hanya untuk menjinakkan rasa lapar mereka. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun