Mohon tunggu...
Jihan Astriningtrias
Jihan Astriningtrias Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurnalistik

Suka sekali mengembara, meski hanya dalam kepala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Usia Senja Permainan Tradisional

7 Desember 2020   13:53 Diperbarui: 21 Juli 2021   11:55 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjung menikmati Taman Tomang Rawa Kepa dengan bermain permainan tradisional yang disediakan taman, tepatnya di Jalan Tomang Raya, Tomang, Grogol, Jakarta Barat, Minggu (15/12/2019). Taman yang dibangun oleh Suku Dinas Kehutanan Jakarta Barat memiliki nuansa khas Betawi di dalamnya.(KOMPAS.com/M LUKMAN PABRIYANTO)

Jika permainan tradisional adalah manusia seperti saya, mungkin hari ini, atau dalam satu dasawarsa terakhir, mereka hanya akan duduk di kursi goyang sambil bernostalgia. 

Dulu, mereka pernah sangat berjaya dan bahagia bersama anak-anak yang kini sudah meninggalkan mereka demi realitas baru bernama kesibukan profesi, kematangan berumah tangga, hari tua, atau mungkin kematian. Singkatnya, kehidupan yang lebih matang dan ruwet sekaligus.

Dalam sesi nostalgia itu, jika mereka sama-sama berada di sebuah teras panti jompo, mereka mungkin akan saling beradu jago. Mungkin, gobak sodor akan berdiri sambil menepuk dada dengan bangga. Setidaknya ia pernah mendidik anak-anak tadi berbagai cara cerdik untuk dapat mengatasi kolega licik.

Pun kebanggaan itu segera dipangkas oleh tarik tambang. Ia merasa paling berjasa karena telah mengajari anak-anak, bahwa meski selalu sederhana, hidup tetap hanya akan dimenangkan oleh mereka yang lebih kuat, baik jiwa maupun raga.

Mendengar itu, congklak yang tak mau kalah pamer pun akan segera tertawa mengejek sambil menggelengkan kepala. Ia mungkin akan bilang pada tarik tambang, bahwa hidup tak melulu soal kekuatan fisik dan psikis, sebab ia selalu mengandalkan kekuatan daya pikir. Kepada anak-anak, congklak telah mengajarkan untuk senantiasa tangkas pikir dalam memperhitungkan masa depan sebelum mulai melangkah.

Mungkin, setelah congklak pun, akan ada lagi permainan tradisional lain yang saling sahut-menyahut. Beradu argumen dan merasa paling berjasa dalam membangun masa kecil anak-anak Indonesia. Mereka merasa paling hidup dalam masa lalu seseorang. Merasa paling eksis sebagai fondasi dari pribadi dewasa orang tersebut.

Sampai ketika layang-layang mengingat satu hal pahit yang mampu membuatnya tertawa miris. Pada Juni silam, di Mataram, Perda Trantibum Nomor 11 Tahun 2015 telah menjadi suatu dasar pembatas antara dirinya dengan masyarakat Mataram manapun.

Satpol PP bahkan berencana mengadakan patroli demi menumpas keberadaannya. Mereka begitu cemas, sebab seorang lansia bernama layang-layang itu memang pernah memakan korban jiwa di Solo, Denpasar, dan Bekasi akibat benang gelasan (Regional.kompas.com, 2020) yang membantunya terbang setinggi angan-angan masa kecil siapapun.

Oleh sebab layang-layang nan selalu bergerak kuat menerjang angin demi menuju ke atas awan, saya pikir ia sejatinya bertabiat keras. Ia sudah banyak mendidik anak-anak untuk terus gigih menerjang aral guna mencapai setinggi-tingginya angan.

Karenanya, ia pasti enggan mengaku salah dan melemah, agar dapat dipenjara hanya untuk memperoleh makanan gratis layaknya sejumlah manula di Jepang. Ia mungkin lebih suka tinggal bersama permainan tradisional lainnya di panti jompo sambil misuh-misuh karena dirinya akan segera lenyap bersama dengan lahan bermain anak di kota-kota besar.

Sekitar separuh dari kurang lebih dua ratus juta masyarakat Indonesia pada 2014 telah tinggal di kawasan perkotaan dan menjadi kaum urban (Manurung, 2017). Hal itu mau tidak mau menjadi alarm bahwa harus ada areal yang rela "dikorbankan" demi pembangunan fasilitas perkotaan. Ruang terbuka publik menjadi semakin berkurang.

Belum lagi, faktor ekonomis mendesak pemilik lahan untuk mengomersialisasi ruang terbuka. Ya, bagaimanapun, menjual ruang terbuka akan selalu lebih menguntungkan secara ekonomi dibandingkan harus memfungsikannya sebagai ruang bermain anak (Wonoseputro, 2007).

Sensus penduduk pada 2018 menunjukkan bahwa kini penduduk Indonesia mencapai 267,7 juta jiwa. Jika ramalan PBB pada 2014 silam benar, maka pada 2050 akan ada sekitar 134 juta jiwa yang akan menjadi kaum urban. Mereka mendiami perkotaan dan memadati pemukiman.

Mungkin, demi membangun rumah-rumah susun seadanya, kita perlu menumpas beberapa lagi ruang terbuka, sehingga lahan bermain anak menjadi semakin sempit lagi. Mungkin. Atau kita punya cara lain, misal: menambal beberapa lantai lagi pada rumah susun yang susah ada.

Bayangan di benak layang-layang boleh jadi lebih buruk dari bayangan saya. 

Ilustrasi Permainan Tradisional (Sumber: Tobias Tullius dalam Unsplash.com)
Ilustrasi Permainan Tradisional (Sumber: Tobias Tullius dalam Unsplash.com)

Selain pemikiran bahwa ia pasti muskil terbang di sela-sela bangunan pencakar langit yang menahan embusan angin, mungkin pula terbesit bahwa ia dan benang gelasannya pasti akan melukai lebih banyak orang di masa depan jika terus berupaya eksis di tengah kepadatan penduduk. Ia takut dilarang, dimusnahkan, dilenyapkan satu per satu, lalu punah, karena dianggap sama predatornya dengan dendam manusia.

Padahal, perkotaan semakin gencar membangun jalan-jalan beraspal. Memberikan peluang bagi kendaraan bermotor untuk lebih menguasai jalan dan menutup akses anak-anak untuk main petak umpet ataupun dampu bulan. Mengobarkan kabar bahaya layang-layang, meski pembangunan jalan justru membawa potensi bahaya yang lebih besar lagi. 

Data WHO (2016) menunjukkan bahwa cedera lalu lintas menjadi salah satu dari 10 penyebab kematian paling umum di dunia, nangkring di peringkat ke-8.

Karenanya, layang-layang ingin mengamuk dan membela diri. Korban timbul akibat ia dimainkan di sembarang tempat, namun adakah tempat yang tidak sembarangan untuk mereka bermain layang-layang?

Di sisi lain, dari sudut teras, petak umpet tertawa. Ia tahu betul bahwa protes dan murka tak membuat mereka kembali remaja. Mereka, permainan tradisional, adalah bagian dari budaya dan tingkah laku manusia (Adiati, 2016). Mereka hanya awet muda jika terus dilestarikan. 

Protes akan kurangnya lahan bermain tak membuat proses urbanisasi terhenti. Pun walau berhenti dan ruang bermain anak mulai dibuka luas, tak ada jaminan bahwa mereka akan otomatis muda kembali.

Jika saja kondisinya sama seperti sebelum internet masuk ke Indonesia pada 1994, mereka mungkin masih punya harapan untuk tetap hidup. Mereka begitu awet muda, paling tidak sampai dasawarsa pertama dari abad ke-21. 

Sayangnya, internet yang digadang-gadang sebagai penciptaan teknologi terbesar itu berkembang dengan begitu pesat. Eksistensi ruang terbuka tak menjamin anak-anak masa kini mau repot-repot berkunjung dan bermain lari-larian di sana.

Petak umpet menyadarinya betul. Biar bagaimanapun, bermain Werewolf atau Among Us pada ponsel memiliki lebih sedikit risiko dibanding bersembunyi dan hilang sampai hampir malam, atau berlarian saling mengejar demi tiba lebih dulu ke benteng permainan. 

Hal itu pun diamini oleh ular naga, yang kurang lebih memiliki konsepsi yang mirip dengan Sliterio, atau bahkan gobak sodor yang kegiatan jaga bentengnya dapat diimplementasikan secara virtual melalui Mobile Legends.

Mungkin, kebaharuan yang ditawarkan internet inilah yang membuat mereka menjadi sepi peminat. Sangat jarang bertemu dengan anak-anak yang ternyata lebih banyak bermain di ponsel sambil duduk, fokus, dan cenderung pasif. 

Mungkin gaya permainan sudah seharusnya berubah dari aktif berlari ke aktif menekan. Permainan tradisional di teras itu sepakat, mungkin modernisasi dan urbanisasi itulah yang membuat mereka tak lagi diperkenalkan pada generasi baru meski mereka pula bertanggung jawab atas pemupukan social skill seorang anak.

Namun, mau tidak mau, kehidupan manusia yang tidak pernah statis harus terus mengalami perubahan. Manusia harus terus bergerak meninggalkan kebudayaan lama, baik seluruhnya maupun sebagian, demi kebudayaan baru. 

Efisiensi dan kondisi perkotaan juga boleh menjadi alasan atas keterbelakangan pengetahuan anak-anak masa kini mengenai permaian tradisional. Boleh jadi, realitas menghimpit kita semua dalam modernitas, sehingga permainan tradisional memang sudah sepatutnya kini berkumpul bersama di sebuah panti jompo bernama "Museum Warisan Budaya".

Mereka, begitu juga layang-layang, mungkin pada akhirnya harus menerima kenyataan, bahwa warisan sejatinya bersifat selektif, tidak semuanya menyimpan seluruh bagian dari masa lalu, pun apa yang mau seseorang simpan adalah pilihan dari masa lalu (Heritage Tourism, 2003). 

Biar bagaimanapun, jika mereka tidak terpilih lagi untuk tetap hidup, mereka hanya dapat berpasrah, sambil berharap-harap cemas menunggu anak-anak kecil untuk datang dengan larian dan tawa riang. 

Anak-anak dari generasi baru, yang ingin belajar permainan tradisional. Anak-anak, yang ingin menyelamatkan permainan tradisional dari usia senja mereka. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun