Mohon tunggu...
Jihan Astriningtrias
Jihan Astriningtrias Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurnalistik

Suka sekali mengembara, meski hanya dalam kepala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Usia Senja Permainan Tradisional

7 Desember 2020   13:53 Diperbarui: 21 Juli 2021   11:55 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjung menikmati Taman Tomang Rawa Kepa dengan bermain permainan tradisional yang disediakan taman, tepatnya di Jalan Tomang Raya, Tomang, Grogol, Jakarta Barat, Minggu (15/12/2019). Taman yang dibangun oleh Suku Dinas Kehutanan Jakarta Barat memiliki nuansa khas Betawi di dalamnya.(KOMPAS.com/M LUKMAN PABRIYANTO)

Jika saja kondisinya sama seperti sebelum internet masuk ke Indonesia pada 1994, mereka mungkin masih punya harapan untuk tetap hidup. Mereka begitu awet muda, paling tidak sampai dasawarsa pertama dari abad ke-21. 

Sayangnya, internet yang digadang-gadang sebagai penciptaan teknologi terbesar itu berkembang dengan begitu pesat. Eksistensi ruang terbuka tak menjamin anak-anak masa kini mau repot-repot berkunjung dan bermain lari-larian di sana.

Petak umpet menyadarinya betul. Biar bagaimanapun, bermain Werewolf atau Among Us pada ponsel memiliki lebih sedikit risiko dibanding bersembunyi dan hilang sampai hampir malam, atau berlarian saling mengejar demi tiba lebih dulu ke benteng permainan. 

Hal itu pun diamini oleh ular naga, yang kurang lebih memiliki konsepsi yang mirip dengan Sliterio, atau bahkan gobak sodor yang kegiatan jaga bentengnya dapat diimplementasikan secara virtual melalui Mobile Legends.

Mungkin, kebaharuan yang ditawarkan internet inilah yang membuat mereka menjadi sepi peminat. Sangat jarang bertemu dengan anak-anak yang ternyata lebih banyak bermain di ponsel sambil duduk, fokus, dan cenderung pasif. 

Mungkin gaya permainan sudah seharusnya berubah dari aktif berlari ke aktif menekan. Permainan tradisional di teras itu sepakat, mungkin modernisasi dan urbanisasi itulah yang membuat mereka tak lagi diperkenalkan pada generasi baru meski mereka pula bertanggung jawab atas pemupukan social skill seorang anak.

Namun, mau tidak mau, kehidupan manusia yang tidak pernah statis harus terus mengalami perubahan. Manusia harus terus bergerak meninggalkan kebudayaan lama, baik seluruhnya maupun sebagian, demi kebudayaan baru. 

Efisiensi dan kondisi perkotaan juga boleh menjadi alasan atas keterbelakangan pengetahuan anak-anak masa kini mengenai permaian tradisional. Boleh jadi, realitas menghimpit kita semua dalam modernitas, sehingga permainan tradisional memang sudah sepatutnya kini berkumpul bersama di sebuah panti jompo bernama "Museum Warisan Budaya".

Mereka, begitu juga layang-layang, mungkin pada akhirnya harus menerima kenyataan, bahwa warisan sejatinya bersifat selektif, tidak semuanya menyimpan seluruh bagian dari masa lalu, pun apa yang mau seseorang simpan adalah pilihan dari masa lalu (Heritage Tourism, 2003). 

Biar bagaimanapun, jika mereka tidak terpilih lagi untuk tetap hidup, mereka hanya dapat berpasrah, sambil berharap-harap cemas menunggu anak-anak kecil untuk datang dengan larian dan tawa riang. 

Anak-anak dari generasi baru, yang ingin belajar permainan tradisional. Anak-anak, yang ingin menyelamatkan permainan tradisional dari usia senja mereka. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun