Mohon tunggu...
Jihan Astriningtrias
Jihan Astriningtrias Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurnalistik

Suka sekali mengembara, meski hanya dalam kepala.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Cara Pulang ke Pangandaran

15 November 2020   14:43 Diperbarui: 21 Juli 2021   11:41 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Patrick Hendry (Unsplash.com)

Ibu mengangguk setuju. Mang Pii selalu terima gaji di tanggal 20.

"Nanti kita kasih upahnya, sekalian juga ongkos untuk dia naik kendaraan ke Pangandaran," ujar Ibu.

Tanggal 20 Maret itu berarti besok lusa.

---

Keempat karyawan butik itu tidur dan bekerja di sebuah ruko di samping rumah kami. Ada pintu kecil yang menghubungkan ruang tengah kami dengan dapur ruko. Ayah bertugas membuka pintu itu setiap jam 5 subuh.

Biasanya, ketika pintu dibuka, Ayah akan berpapasan dengan Si Tukang Bordir yang hendak berangkat ke masjid. Keduanya selalu saling sapa, atau sekadar berbagi senyuman. Tapi beberapa hari terakhir, sejak pemerintah menganjurkan untuk ibadah di rumah masing-masing, Si Tukang Bordir jadi tak pernah ke masjid lagi. Jadi mungkin Ayah tak akan berpapasan dengannya lagi hari ini.

Ayah sendiri hampir setiap subuh harus menumpang ke kamar mandi ruko untuk ber-wudhu. Sebab Ibu biasanya memonopoli kamar mandi kami. Ibu lebih suka mandi sepagi mungkin.

Pagi ini aku pergi ke dapur untuk mengambil apel. Sekilas, aku melihat Ayah yang sedang melakukan rutinitas paginya di ruang tengah. Ini sudah pukul 05.30, tapi Ayah baru akan membuka pintu. Pasti ia terlambat bangun pagi ini. Ia pasti sedang banyak pikiran mengenai perekonomian kami yang cenderung mundur ini.

Tanpa sadar aku mengamati Ayah dengan detail. Rupanya, sebelum memutar kunci pada gerendel pintu, Ayah harus menyobek selembar dari kalender yang bertengger di dinding. Srek, bunyinya. Tampaklah angka "20" besar-besar di lembar itu. Tercetak dengan warna biru benhur.

Ayah mengantungi sobekan kertas tadi. Ia tersenyum, lumayan sumringah karena dua sisi wajahnya naik ke atas, tersundul ujung bibirnya. Perlahan Ayah mengusap angka "20" itu, menatapnya dengan mata berbinar. Dari rautnya, ia seolah telah membuat pengharapan:

"Jadilah hari ini lebih baik dari hari-hari sebelumnya". Mungkin. Aku hanya menduga, berdasarkan raut wajahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun