Tak lama setelah mengambil keputusan untuk ganti rugi, aku dan Ibu berkumpul di ruang kerja. Tanpa teh atau makanan ringan. Hanya mengobrol biasa. Kali ini, tentu dengan tema Mang Pii, juga usaha kami.
"Kak, apa sebaiknya kita pulangkan saja Mang Pii ke Pangandaran?" kata Ibu sambil menimang-nimang lubang di baju tragis tadi. Ia masih berusaha mencari jalan keluar selain ganti rugi. Jika saja ada cara lain yang terpikirkan. Sebuah cara yang lebih sederhana dan tak mengorbankan banyak hal.
"Karena kesalahan ini, Bu? Kita sudah sepakat untuk terus memperkerjakan dia. Ini juga bukan jalan keluar, Bu."
Ibu menggeleng. "Selain ini, kita sudah tidak punya bahan lagi untuk dijahit banyak-banyak orang. Kamu tahu sendiri, jarang yang pesan baju di bulan-bulan terakhir. Yang beli baju juga jadi jarang. Orang-orang takut keluar, Kak. Mereka lebih butuh masker dibanding baju baru."
Aku menghela napas. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ibu. Pasalnya, Ibulah yang selama ini bersikeras mempertahankan Mang Pii untuk tetap bekerja di butik dan membantu kami, meski hanya sebisanya.
"Bukan karena baju, Kak. Ini murni karena kondisi butik kita," ujar Ibu menjelaskan sekali lagi.
Aku menunduk dalam-dalam. Meresapi kata-kata Ibu sambil mempertimbangkan kalimatnya. "Kenapa harus Mang Pii?"
"Dia sudah lama sekali tak istirahat. Dia memang ngotot mau pulang dekat-dekat Ramadhan, tapi bulan ini dia sudah membuat banyak sekali kesalahan. Dia pasti sudah lelah. Jahitan yang masuk tidak memadai sampai Sya'ban jika dikerjakan tiga orang. Dan kita cuma punya satu tukang bordir, tidak mungkin dia yang kita pulangkan. Tidak ada pilihan selain Mang Pii. Lagipula tiga lainnya sudah ambil cuti bulan ini. Tinggal Mang Pii yang belum."
Aku menghela napas. "Kenapa Mang Pii tak kita minta jahit baju jadi saja?"
"Jahit baju jadi terus, tapi tidak ada yang beli. Kita mau bayar dia pakai apa? Kalau cuma mengandalkan uang simpanan, bisa babak belur kita, Kak."
Aku menengadahkan kepala. Berusaha mencerna kata-kata Ibu yang semuanya benar. "Baiklah, Bu. Kita pulangkan Mang Pii ke Pangandaran, tapi nanti. Tanggal 20 Maret saja, setelah baju hitam selesai ia jahit."