Mohon tunggu...
Jihan Astriningtrias
Jihan Astriningtrias Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurnalistik

Suka sekali mengembara, meski hanya dalam kepala.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Cara Pulang ke Pangandaran

15 November 2020   14:43 Diperbarui: 21 Juli 2021   11:41 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Patrick Hendry (Unsplash.com)

Sejak Januari lalu, baju-baju di butik kami tak terjual sebaik masker dan sembako. Padahal tahun lalu adalah puncak kejayaan bagi butik, tapi sekarang kami malah paceklik. Pandemi yang masuk negeri sejak pertengahan Maret membuat langkah kami mundur. Tentu saja. Siapa juga yang mau beli baju di situasi begini?

Baju-baju di butik kami produksi sendiri. Kami punya tiga penjahit dan satu tukang bordir. Keempatnya dibayar dengan sistem upah. Semakin banyak baju yang usai mereka kerjakan, semakin banyak pula penghasilan mereka.

Tiga orang lain masih lumayan muda. Masih segar bugar. Sesekali memang sakit, tapi hanya batuk-pilek. Sekali minum obat pun biasanya langsung sembuh. Kerja mereka rapi, gesit, dan jarang sekali salah. Karena itulah, mereka bisa mengantungi upah di atas lima juta per bulan.

Di sisi lain, ada Mang Syafi'i, atau yang biasa kami panggil dengan "Mang Pii". Juli nanti usianya genap enam puluh. Kalau ia PNS, seharusnya tahun ini ia purna bakti. Tapi ia hanya buruh jahit di sebuah butik kecil. Mana mungkin ia pensiun? Lagipula anak sulungnya malas setengah mati. Selain Mang Pii, tak satu pun dapat diandalkan untuk cari nafkah.

Selama tiga tahun terakhir, Mang Pii adalah orang yang paling sering membuat kami kecewa. Jahitannya sering salah model, padahal kami sudah memberinya model baju paling mudah untuk ia kerjakan. Kalau kami tanya, ia selalu manggut-manggut minta maaf.

"Maaf, Bu, saya lupa modelnya. Terus ini baiknya bagaimana ya?" ujar Mang Pii di suatu waktu, sambil garuk-garuk pelipis tentunya.

Mang Pii selalu membuat  kesalahan, tapi tak pernah punya solusi untuk memperbaiki kesalahan itu. Terhitung banyaknya puluhan baju yang jadi korban kepikunannya, sejak dua tahun lalu, kami sepakat untuk tetap memperkerjakannya atas dasar belas kasih.

Sayangnya Mang Pii seperti tak menghiraukan rasa iba kami. Ia masih dengan enteng membuat kesalahan-kesalahan baru. Contohnya seperti malam ini, ia baru saja membakar baju pelanggan dengan setrika. Lengan bajunya jadi berlubang cukup besar. Modelnya pun tidak memungkinkan untuk ditambal. Padahal itu satu-satunya pesanan yang masuk minggu ini.

Seperti biasa, Mang Pii hanya bisa manggut-manggut sambil minta maaf, mengakui bahwa ia tak sengaja. Kami tak marah. Sudah tak punya kuasa untuk itu. Ia sudah terlalu tua, dan beberapa hari terakhir tampak begitu lelah. Jadi kami hanya menegurnya, menginterogasi sedikit, lalu pamit undur diri.

Kesalahan Mang Pii, entah bagaimana lagi cara memberikannya toleransi. Untuk baju, kami masih bisa mengakalinya meski sedikit buntu. Masih bisa kami belikan bahan baru yang sama jenis, lalu kami jahitkan ulang. Tapi, untuk beli bahan baru pun kami harus keluar uang lagi. Pun harus ke Tanah Abang, mendatangi keramaian. Beberapa toko mungkin buka, tapi kami tak punya keberanian untuk menantang pandemi yang dari Tuhan. Nasib baik baju ini baru akan diambil Desember nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun