Setiap manusia yang hidup harus memiliki aturan. Termasuk bagaimana kita menjalin hubungan baik dengan masyarakat hingga tata berkehidupan pribadi seperti melakukan pernikahan.Â
Para insan yang lahir kedunia memiliki rasa ingin hidup berpasang-pasangan demi mendapat kedamaian batin dan melanjutkan garis keturunan. Melakukan pernikahan bukan semata mata begitu saja tanpa dasar, melainkan semuanya harus ada aturan.
Jika melihat pada Pancasila sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan yang Maha Esa" maka pernikahan tidak bisa dilaksanakan dengan kemauan para pihak-pihak tetapi merupakan karunia Tuhan kepada manusia sebagai mahluk yang beradab karena pernikahan dilakukan dengan cara beradab sesuai dengan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia.
Merujuk pada Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 negara pun sudah mengatur syarat-syarat tertentu terjadinya pernikahan seperti contoh pada pasal 7 ayat (1) yang berbunyi "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 ( enam belas) tahun." Kasus pernikahan dibawah umur di Indonesia saya rasa bukan hal yang baru ditemukan. Dari zaman dahulu hingga sekarang marak sekali kasus ini ditemukan terumata di daerah-daerah yang minimnya pengetahuan tentang menikah maupun sex education.
Berdasarkan data Pada tahun 2017, kasus pernikahan anak di Indonesia mencapai 11,54 persen. Angka tersebut lalu turun menjadi menjadi 11,21 persen, di tahun 2018 dan pada tahun 2019 turun menjadi 10,82 persen. Kemudian pada tahun 2020, angka tersebut juga terus menerus turun walau tidak banyak, sekarang menjadi hanya 10,19 persen.Â
Pada saat ini provinsi Kalimantan Selatan memegang provinsi sebagai presentase terbanyak untuk kasus pernikahan anak dibawah umr yaitu mencapai hingga 4,62 persen. Mengenai kasus pernikahan anak dibawah umur saya mengambil salah satu contoh kasus yang sempat viral pada masanya yaitu pernikahan antara Selamet anak laki-laki berusia 16 tahun dengan seorang nenek bernama Rohaya berusia 71 tahun.
Ketika diwawancari para kedua belah pihak tersebut menagatakan bahwa pernikahan tersebut dilakukan tanpa adanya paksaan dan atas dasar karena saling mencintai satu sama lain.Â
Hal ini tentu menimbulkan sebuah masalah yaitu menentang hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan Pasal 7 ayat (1) tentang perkawinan. Jika dalam pandangan Hukum Islam, Al-Quran tidak membahas secara rinci tentang batas usia dalam pernikahan . Persyaratan yang umum hanya sudah baligh dan berakal sehat.
 Demikian dengan Hukum Adat tidak adanya batasan umur untuk menikah. Seorang anak dianggap telah dewasa apabila sudah baligh dan mempunyai nafsu seks. Jika terjadi pernikahan dibawah umur tentu pemerintah sudah memberikan batas minimal usia untuk menikah yang terdapat pada pasal 7 ayat (1). Hal ini semata mata dilakukan dengan tujuan agar pasangan yang menikah sudah pasti siap secara mental, fisik dan psikisnya.
Seperti yang kita ketahui tentang berlakunya ketetapan batas usia minimal menikah tapi masih banyak saja kasus pernikahan dibawah umur. Hal itu ditunjang dengan adanya pasal 7 ayat (2) yaitu ; "Dalam hal ini penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita". ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita karena dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak.Â
Didefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Adapun faktor-faktor penyebab pernikahan dibawah umur seperti : Perjodohan dari orang tua, faktor ekonomi, faktor adat istiadat hingga faktor yang bersal dari kemauan diri sendiri
Melihat dari tinjauan diatas apapun alasannya pernikahan dibawah umur adalah hal yang harus dihindari karena jika tetap saja dilakukan pernikahan akan banyak mengakibatkan dampak negatif pada pasangan yang menikah, alangkah baiknya kita sebagai Warga Negara Indonesia untuk mematuhi aturan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah guna menghindari hal buruk yang menimpa kita.Â
Seperti kurang siapnya mental dalam menghadapi kerasnya kehidupan berumah tangga, masalah ekonomi yang kurang stabil hingga masalah biologis dimana kematangan organ tubuh yang masih belum siap jika melahirkan dll.Â
Menurut saya pernikahan bukanlah hal yang seenaknya dapat kita lakukan tetapi pernikahan merupakan ibadah jangka panjang yang merupakan bentuk tanggung jawab kita terhadap Tuhan. Jadi alangkah baiknya, ketika sebelum menikah kita memikirkan dan mempersiapkan matang-matang hal yang akan  terjadi dimasa depan demi kedamaian hati, pikiran dan kemaslahatan rumah tangga yang akan di bangun.
Penulis : Jihan Ulin Novela. Mahasiswa Hukum Keluarga 4 Fakultas Syariah UIN KHAS JEMBER
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H