Mohon tunggu...
Jihad Bagas
Jihad Bagas Mohon Tunggu... Insinyur - inconsistent Writer

Kegiatan baca dan tulis merupakan kegiatan sakral yang nilai spiriualitasnya bergantung pada kandungan apa yang dibaca dan apa yang ditulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Antara Rencana, Metamorfosa dan Para Teruna

19 November 2023   18:55 Diperbarui: 19 November 2023   19:53 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalimat yang sering kita dengar, “hidup itu proses”. Yaa, mungkin sejak duduk di bangku SD sudah familiar dengan kalimat itu. Perlahan seiring bertambahnya waktu ini kalimat sederhana yang tersusun dari tiga kata itu makin dalam kita mengartikannya.

Saat masih kecil kita mungkin memaknai kata proses itu orientasi hanya sebatas pada permainan. Kita tiap hari bermain bola berproses agar hebat dalam bermain bola dan bisa banyak mencetak gol, berproses belajar di rumah agar dapat juara kelas dan pencapaian – pencpaian lain yang menyenangkan syukur – syukur bisa orang tua atau bahkan orang sekitar bisa ikut berbahagia menikmati pencapaian kita.

Perlahan usia makin bertumbuh, yang dulunya anak kecil yang hanya melihat dunia di sekitarnya merupakan dunia bermainnya. Kini mulai sadar ternyata tidak hanya permainan melainkan ada sesuatu fungsi atau peran yang menjalankan kehidupan sosial.

Saat masih kecil segala sesuatu yang terjadi terasa sesuai dengan keinginan kita. Jika tidak, kita cukup nangis merengek maka orang sekitar kita segera menuruti keinginan kita agar tangisan kita mereda. Saat itu kita belum cukup mengerti bahwa ada kalanya keinginan kita itu bertentangan dengan kondisi sekitar. Pokoknya kita lah sebagai poros perhatian di lingkungan sekitar.

Interaksi dengan sekitar makin luas, tempat bermain makin jauh, rupa macam orang pun makin banyak yang ditemui. Dari sekian perjalanan itu perlahan mulai mengerti tentang sebuah nilai. Baik buruknya sesuatu, bermanfaat atau merugikan dampak yang timbul yang secara sadar mulai tahu ada sebuah sikap yang bernama tanggung jawab terhadap konsekuensi segala laku.

Perlahan mulai mengerti bahwa setiap “kita” ini memiliki peran masing – masing dalam lingkup sosial. Dari yang awal di kondisi hidup ini sesuai dengan keinginan dan kita porosnya, perlahan mulai sadar dengan keadaan yang ada kalanya bukan hanya sekedar tentang keinginan, jadi ada lagi hal lain yang berefek terhadap situasi sekitar.

Dari beragam realitas yang kita alami ada kalanya sesuai dengan keinginan atau pun bertentangan. Dari semua itu perlahan membentuk karakter kita baik secara sadar atau tidak. Dari waktu kecil hanya paham konsep keinginan, perlahan mulai sadar ada konsep lain yaitu penerimaan.

Konsep “Penerimaan” ini muncul perlahaan saat mulai menyadari bahwa banyak sesuatu yang terjadi itu di luar kendali kita. Dan kadang kita pun dihadapkan dengan kondisi serasa tidak ada pilihan lagi selain menerima. Pada akhirnya kedewasaan pikiran dan sikap tertuntut untuk merespon itu dengan sebijaksana mungkin.

Di titik ini lah yang bisa dibilang sebagai titik balik kondisi dimana keyakinan terhadap sebuah niat diuji, titik kritis akal pikiran kita dipertanyakan, kematangan karakter sikap kita ditempa. Dan pada akhirnya mengasah sosok diri ini menjadi …………

Kembali ke kalimat awal paragraph “hidup itu proses”, orang tua kita yang umumnya memiliki kultur agraris memiliki adagium umum dan mungkin sering kita dengar untuk dijadikan nasehat terhadap kita yaitu “kalo nanem pohon itu, 3 – 5 tahun itu belum tentu bisa nikmatin buahnya, mungkin 7-10 tahun baru bisa nikmatin buahnya”. Nahh, seperti ini lah gambaran dari proses.

Sebuah kalimat sederhana yang sering terdegar di lingkungan pedesaan atau dari orang tua kita dan bahkan mungkin terdengar biasa, tapi memiliki makna yang tidak sederhana itu. Karena jika ditarik ke realitanya sekarang, bagaimana kita bisa melakukan suatu hal secara terus menerus dalam waktu yang lama dan belum tentu hasilnya bisa kita rasakan?

Bagaimana kalo dalam tahun ke-4 menanam pohon ada ancaman badai yang bisa menyebabkan pohonnya tumbang? Atau ada hama penyakit tertentu yang bisa mengancam keberlagsungan si pohon? Jadi apa layak kita melakukan ini semua, atau “berkorban” untuk satu hal ini?

Memang ada kalanya keraguan itu muncul yang kemudian disusul oleh kekhawatiran akan kesia-siaan dan yang perlahan bisa mengikis keyakinan. Dan jika pada akhirnya sudah pudar, bergeserlah poros dari nilai tujuan awalnya. Pada kondisi itu, mungkin kita akan merasa hampa menjalani hidup tanpa nilai?

Dalam berproses terhadap sesuatu, di istilah Bahasa Indonesia ini terdapat 2 kata yang sekilas memiliki arti yang sama, yaitu “tekun” dan “tabah”. Tapi sepertinya dua kata itu memiliki makna yang beda. Tekun kondisi dimana ada peran aktif dari kita secara sadar dalam melakukan sesuatu. Dan tabah itu seperti kita pasif saja menerima keadaan sekitar dalam melakukan itu.

Dari 2 kata itu, ada 1 kata lagi yang menjadi dasar kita untuk tetap berproses, yaitu “gigih”. Entah itu kita menekuni sesuatu atau tabah dalam menjalani sesuatu, kita perlu memiliki sifat kegigihan yang cukup untuk menjaga keberlangsungan proses ini yang kelak berharap sesuatu yang baik dari sekian rentetan proses ini.

Jadi kita sadar bahwa kegigihan itu perlu kita miliki untuk tetap tekun dan tabah dalam menjalani prosesnya. Kita jalani itu dengan penuh keyakinan. Dan segala sesuatu yang terjadi nantinya bisa saja baik dan buruk, karena memang kondisi kelak itu memang di luar kendali kita. Pada akhirnya sikap penerimaan kita yang bermain di ujung rentetan proses ini. Sikap penerimaan ini erat kaitannya dengan keikhlasan. Keikhlasan itu sendiri sudah sepenuhnya kondisi hati.

ikhlas sendiri merupakan proses kerelaan terhadap sesuatu yg terjadi dengan penuh keyakinan. Jadi level nilai ikhlas itu erat kaitannya dengan tingkatan keyakinan terhadap sesuatu. Musuh dari keyakinan sendiri adalah keraguan.

Bisa jadi saat ini kita berada di kondisi yakin ikhlas namun seiring perjalanan waktu keraguan perlahan muncul menggoda nilai keyakinan itu. Pada akhirnya kita mempertanyakan keyakinan keikhlasan kita. Jika kita kalah, terjebak lah dalam kondisi keraguan dan hilang sudah keikhlasan.

Ini lah mungkin kenapa ada istilah jihad terbesar itu merupakan jihad melawan diri sendiri, karena kita terus bertempur sepanjang waktu melatih diri menyempurnakan keyakinan dan bersikap ikhlas dalam segala kondisi karena pada dasarnya kit aini hanya berstatus sebagai hambaNya.

*Rangkuman dari obrolan santai bersama orang yang sedang meniti dan menata alur jalan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun