Mohon tunggu...
Jihad Bagas
Jihad Bagas Mohon Tunggu... Insinyur - inconsistent Writer

Kegiatan baca dan tulis merupakan kegiatan sakral yang nilai spiriualitasnya bergantung pada kandungan apa yang dibaca dan apa yang ditulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Korona, Konspirasi, Elit Global, dan Kita

20 Mei 2020   02:46 Diperbarui: 20 Mei 2020   08:11 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Santer terdengar bahwa covid-19 yang menjadi pembawa penyakit korona merupakan virus rekayasa. Artinya virus ini tidak muncul dari adaptasi lingkungan secara alamiah melainkan ada bantuan dari faktor manusia untuk merekayasa proses ini. Semua ini memang mungkin terjadi. Ada ilmu pengetahuan yang menekuni tentang dunia virus yang bernama virologi.

Dalam kemajuan teknologi pada zaman ini memang bukan hal yang mustahil bagi manusia untuk melakukan rekayasa genetika. Kekayaan ilmu pengetahuan yang semakin kesini semakin kaya, banyak jejak literasi dari kejadian masa lalu yang terus dipelajari dan dikembangkan untuk menatap masa depan. Ditambah lagi bantuan kecanggihan teknologi di dunia medis. Ini menjadi faktor yang sangat mungkin untuk melakukan “rekayasa virus”.

Jika dilihat dari jejaknya, virus ini pertama kali muncul dan daerah yang saat ini paling banyak terkena dampak dari virus ini adalah daerah dari negara superpower era ini. Awal mula virus ini dari china, dan hingga saat ini amerika terkena dampak paling parah. Fakta – fakta ini bisa cukup untuk diasumsikan oleh sebagian golongan mayarakat yang mempunyai ketertarikan atau intelektual di bidang conspiracy.

Berdasarkan data rasio kematian dari virus korona hingga saat ini itu kecil. Jadi secara keseluruhan banyak orang yang bisa sembuh dari penyakit ini. Tapi dunia memiliki ketakutan yang tinggi terhadap korona ini. Mengingat penyebaran virus ini yang begitu cepat menyebar hingga seluruh dunia. Muncul pertama kali di cina pada bulan Desember 2019, lalu per bulan Mei 2020 ini sudah ratusan negara terpapar virus ini.

Dari keterangan beberapa orang yang memiliki latar belakang di dunia medis, mereka berpendapat bahwa virus korona ini tidak hanya menyerang paru – paru. Tapi juga menyerang system imun, itu lah mengapa berdasarkan data kematian pasien korona ini tidak hanya disebabkan oleh penyakit korona ini, tapi juga komplikasi dari penyakit lain yang sebelumnya sudah diderita oleh pasien.

Kemiripan virus korona dengan virus aids dalam menyerang system imun juga menguatkan asumsi bahwa virus ini adalah hasil rekayasa. Ada yang berasumsi bahwa korona ini merupakan senjata biologis yang dimiliki oleh suatu negara untuk mendeklarasikan perang biologis.

Memang secara realita, fakta – fakta bahwa dunia ini dapat dikendalikan oleh segelintir kaum itu benar. Di Indonesia aja, penguasa kekayaan seluruh Indonesia ini hanya dikuasai oleh 10% orang dari total 200an juta penduduk. Begitu pun dunia, orang – orang yang memiliki kekutan materi (ekonomi) mereka bisa saja saling berkoordinasi untuk memainkan perputaran global ini.

Jika memang benar virus korona ini hasil rekayasa elit global, yang mana memberikan dampak ke seluruh dunia tidak memandang orang kaya maupun orang miskin. Makin mengkerut lah kita. Makin frustasi kita dibuatnya mengingat kita sadar posisi kita sekarang hanya lah orang awam yang tidak memiliki intelektual tentang apa itu geo-politik maupun geo-ekonomi.

Ketika kita dihadapkan sebuah kenyataan bahwa suasana lingkungan seluruh dunia ini bisa dikendalikan oleh segelintir orang yang memiliki daya sains tinggi ditambah dengan dukungan kekuatan ekonomi. Mengerikan sekali jika kita bayangkan. Muncul sebuah pertanyaan, bagaimana kita selanjutnya jika begini? Memang sudah hukum alam jika terjadi suatu pergolakan, hal yang paling terkena dampak perubahan adalah masyarakat golongan menengah ke bawah.

Kekhawatiran seperti ini bisa saja menghantui kita dan mempengaruhi sikap tindakan kita, stress. Memang tidak ada salahnya mengkhawatirkan itu semua, namun akan salah jika kita selalu dirundung ketakutan karena itu. Pada dasarnya perasaan khawatir timbul ditengah situasi ketidakpastian. Ketidakpastian ini adalah situasi saat akal kita memproses seuatu atau informasi tidak didukung oleh kecukupan intelegensi. Sehingga salah asumsi dan salah berkeputusan yang akan terjadi. Bercermin pada diri dan menentukan posisi terhadap segala situasi riuhnya realitas merupakan hal yang penting untuk pribadi kita. Sadari kemampuan diri dan sadari keberadaan diri menjadi hal yang wajib.

Sosok kontroversial Charles Darwin dengan teori evolusinya pernah mengatakan, yang akan bertahan bukan mereka yang kuat melainkan mereka yang mempunyai kemampuan beradaptasi dengan baik. Kuncinya adalah kemampuan diri untuk mengantisipasi segala perubahan yang terjadi di lingkungan yang dinamis dan fluktuatif ini.

Kedaulatan diri menjadi hal yang mutlak menentukan dimana kita akan berposisi dan langkah seperti apa yang akan kita lakukan dalam merespon perubahan ini. Keluwesan jiwa dan kekayaan intelektual menjadi faktor yang mendukung proses kemampuan adaptasi ini.

Ada sebuah fenomena alam yang disebut bencana. Yaitu keadaan alam yang bisa merusak kondisi lingkungan, salah satunya adalah badai atau angin topan. Terpaan badai topan mampu memporak – porandakan suatu tempat. Gedung – Gedung yang kokoh, pepohonan besar yang gagah, semuanya luluh lantah tersapu oleh badai.

Dan yang bertahan dari fenomena alam itu ternyata adalah rumput. Keadaan gerak rumput yang beradaptasi saat badai terjadi dengan cara bergerak mengikuti arah angin tanpa kehilangan posisi akar yang tertancap dalam tanah menjadi kunci ia dapat bertahan. Dan faktanya teknologi bangunan dalam ilmu sipil yang mutakhir saati ini mendesain bangunan dengan prinsip yang terinspirasi dari rumput ini.

Walaupun para elit global melakukan konspirasi apapun terhadap tatanan dunia. Dan kita menyadari kemampuan kita yang tidak bisa menangkal itu, daripada merundungkan diri akan ketakutan lebih mempersenjatai diri untuk daya adaptif yang sangat atraktif. Keluwesan jiwa dan intelektual nalar yang tinggi menentukan kualitas kita dalam menyikapi segala kejadian. 

Tak lupa ada istilah iqra yang secara universal diartikan baca, membaca segala kalam yang terhampar di alam ini. Dengan perantara kalam Sang Maha Ilmu memercikkan setetes ilmunya sehingga tiap makhlukNya bisa berproses dan berkembang hingga berada pada titik luhur dari sucinya ilmu. Dimana pada titik itu sejuknya kebijaksanaan dalam bersikap senantisa bisa meneduhkan suasana.

Memikirkan ini dengan keras tidak akan mempengaruhi suasana diskusi di meja rapat konspirasi elit global. Dan jika kita sudah sadar kita tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki situasi ini, bersikap untuk tidak memperburuk keadaan bisa dianggap bentuk perlawanan kita terhadap penguasa kapitalis itu.

Dalam Bahasa kita ada istilah “serah”. Jika diberi imbuhan “me” atau ”ber”, kata “serah” memiliki sifat kata aktif. Me + serah menjadi "menyerah". Ber + serah menjadi berserah. Dua kata ini memiliki makna yang berbeda. "Menyerah" bisa kita artikan sebagai mengibarkan bendera putih dan pasrah terhadap kondisi yang terjadi. "Berserah" bisa kita artikan menyerahkan semua hal yang terjadi kepada Sang Esa setelah kita melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Lalu bagaimana sebaiknya kita memilih? Berserah atau menyerah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun