Kedaulatan diri menjadi hal yang mutlak menentukan dimana kita akan berposisi dan langkah seperti apa yang akan kita lakukan dalam merespon perubahan ini. Keluwesan jiwa dan kekayaan intelektual menjadi faktor yang mendukung proses kemampuan adaptasi ini.
Ada sebuah fenomena alam yang disebut bencana. Yaitu keadaan alam yang bisa merusak kondisi lingkungan, salah satunya adalah badai atau angin topan. Terpaan badai topan mampu memporak – porandakan suatu tempat. Gedung – Gedung yang kokoh, pepohonan besar yang gagah, semuanya luluh lantah tersapu oleh badai.
Dan yang bertahan dari fenomena alam itu ternyata adalah rumput. Keadaan gerak rumput yang beradaptasi saat badai terjadi dengan cara bergerak mengikuti arah angin tanpa kehilangan posisi akar yang tertancap dalam tanah menjadi kunci ia dapat bertahan. Dan faktanya teknologi bangunan dalam ilmu sipil yang mutakhir saati ini mendesain bangunan dengan prinsip yang terinspirasi dari rumput ini.
Walaupun para elit global melakukan konspirasi apapun terhadap tatanan dunia. Dan kita menyadari kemampuan kita yang tidak bisa menangkal itu, daripada merundungkan diri akan ketakutan lebih mempersenjatai diri untuk daya adaptif yang sangat atraktif. Keluwesan jiwa dan intelektual nalar yang tinggi menentukan kualitas kita dalam menyikapi segala kejadian.
Tak lupa ada istilah iqra yang secara universal diartikan baca, membaca segala kalam yang terhampar di alam ini. Dengan perantara kalam Sang Maha Ilmu memercikkan setetes ilmunya sehingga tiap makhlukNya bisa berproses dan berkembang hingga berada pada titik luhur dari sucinya ilmu. Dimana pada titik itu sejuknya kebijaksanaan dalam bersikap senantisa bisa meneduhkan suasana.
Memikirkan ini dengan keras tidak akan mempengaruhi suasana diskusi di meja rapat konspirasi elit global. Dan jika kita sudah sadar kita tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki situasi ini, bersikap untuk tidak memperburuk keadaan bisa dianggap bentuk perlawanan kita terhadap penguasa kapitalis itu.
Dalam Bahasa kita ada istilah “serah”. Jika diberi imbuhan “me” atau ”ber”, kata “serah” memiliki sifat kata aktif. Me + serah menjadi "menyerah". Ber + serah menjadi berserah. Dua kata ini memiliki makna yang berbeda. "Menyerah" bisa kita artikan sebagai mengibarkan bendera putih dan pasrah terhadap kondisi yang terjadi. "Berserah" bisa kita artikan menyerahkan semua hal yang terjadi kepada Sang Esa setelah kita melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan. Lalu bagaimana sebaiknya kita memilih? Berserah atau menyerah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H