Mohon tunggu...
Chaerun Anwar
Chaerun Anwar Mohon Tunggu... profesional -

Mendidik dengan hati, mengajar dengan bahagia, dan melatih tanpa pamrih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perjalanan ke Turpan: Zending Islam di Xinjiang

18 Juni 2016   03:37 Diperbarui: 18 Juni 2016   20:51 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu udara dingin menampar wajahku, meski mata hari bersinar terik. Ya, aku memang berkunjung ke Turpan (195 km dari Urumqi Xinjiang) di tengah puncaknya musim dingin. Berdiri memandang lautan taksi di pelataran parkir bandara Diwopu yang dibangun sejak tahun 1930 ketika wilayah ini masih dalam kekuasaan Soviet Union.

“Hi ! Yahshimusiz! (Selamat pagi)” seseorang menyapaku dengan ramah. Aku tersenyum dan menyapa kembali “Hei, adash! (Halo teman), manga yardam qlarsizmu? (dapat kah kau membantuku?)”. Dengan sigap dia mengibaskan tangannya tanda setuju sambil teriak, ”Yakhshi! Yakhshi! (tentu! Tentu!)”.

Beberapa menit kemudian aku sudah duduk di taksi yang dikemudikan oleh Kadeer yang dengan keras keras memutar lagu di radio mobilnya. Agak terganggu juga karena tidak bisa mendengar suara radio sekencang itu, sambil menepuk pundak saya katakan, “Kechurung! (Maaf!)”. Dia mengerti dengan bahasa isyarat tersebut dan mematikan radio nya seketika.

Perjalanan dari airport menuju Turpan cukup memakan waktu sekitar 3 jam, untuk membunuh kebosanan aku mulai membuka pembicaraan dengan bertanya mengenai situasi terkini di Urumqi. Sejenak Kadeer terdiam dan kemudian dengan nada suara berat mengalirlah dari bibirnya yang tebal cerita keseharian warga Uyghur di provinsi yang mayoritas muslim di China tersebut.

Sambil berguman “balan! Balan! (ya! Ya!), aku dengarkan ceritanya dengan seksama. Hampir 1 jam berlalu aku tenggelam dalam khayalan masuk dalam cerita Kadeer tentang romantika kehidupan warga Uyghur. Namun tiba-tiba Kadeer menghentikan ceritanya dan bertanya: “Kechurung, Ismingiz nime? (maaf, siapa nama anda?).

Saya tertawa mendengarkan pertanyaannya, saya katakan bagaimana bisa kamu bicara sudah hampir 2 jam dengan saya baru kemudian menanyakan nama saya. 

Pertanyaanku dibalasnya dengan gelak tawa Kadeer. Aku jelaskan namaku Jielun dan berasal dari Indonesia, tiba-tiba saja Kadeer menoleh kebelakang dan berujar: “Kamu koq seperti orang suku Han! (suku mayoritas di China!). Aku jawab, iya karena kami adalah Huaren (Orang China perantauan). Kadeer dengan terheran-heran melanjutkan Tanya lagi: “ngapain kamu ke Turpan, disana mayoritas muslim dan kamu akan data masalah disana!”. Dengan singkat aku jelaskan bahwa diriku adalah muslim, tepatnya huaren yang muslim. Di Indonesia banyak huaren yang memeluk agama Islam.

Pembicaraan dengan Kadeer semakin seru setelah dia mengetahui diriku juga muslim. Kadeer menanyakan seperti apa kehidupan di Indonesia yang didengarnya sebagai Negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Aku dengan hati-hati menjelaskan bahwa di Indonesia, Orang Islam memegang peranan sangat penting dalam segala sektor kehidupan, namun demikian Indonesia tidak menjadikan syariat Islam sebagai dasar Negara, orang Indonesia menggunakan Pancasila sebagai landasan Negara, dengan maksud agar selain Islam pun bisa dapat memiliki kebebasan menjalankan agamanya di Indonesia.

Kadeer dengan semangat mendengarkan penjelasanku, dan memotong pembicaraanku dengan menjelaskan bahwa dulu ketika era 1990-an Urumqi juga seperti Indonesia yang walaupun mayoritas Islamnya namun membuka diri untuk hidup berdampingan dengan para ateis dan pemeluk agama lainnya.

Namun sekarang setelah era tahun 2000-an, Urumqi seperti hidup dalam ketegangan karena ulah sejumlah pelajar uygur yang kembali dari timur tengah setelah menyelesaikan studinya membawa faham Khilafah. Akhirnya Urumqi diawasi ketat oleh pemerintah pusat. Setiap hari warga kota mendengar berita agitasi dari kelompok ini untuk melawan pemerintah pusat dengan iming-iming berdirinya Negara Islam di kawasan yang dihuni etnik Uygur.

Sejenak aku terdiam mendengarkan cerita Kadeer. Tiba-tiba dia setengah berteriak bertanya, adakah kelompok seperti itu yang menyerukan khilafah di Indonesia? Aku jawab, ada bahkan mereka punya organisasi besar dan memiliki cabang di setiap kota di Indonesia, namun aku jelaskan bahwa di Indonesia, organisasi Nahdlatul Ulama lah yang paling berpengaruh dan fatwa para ulamanya lebih didengar orang Islam, sehingga kelompok khilafah ini di Indonesia tidak sebesar pengaruhnya di Urumqi.

Kadeer tiba tiba melambatkan laju kendaraannya dan menyuruh saya mempersiapkan paspor serta meyakinkan bahwa saya tidak membawa barang terlarang seperti buku-buku tentang khilafah begitu melihat sekelompok tentara menghentikan kendaraan di pinggiran kota Turpan. Sambil berbisik saya menanyakan apakah semua kota di Xinjiang dijaga ketat dengan check point seperti itu? Dengan singkat Kadeer menjawab, ”Ya!”. Seorang tentara mendekati Taksi Kadeer dan mengetuk kaca jendela dengan menanyakan surat mengemudi dan KTPnya, setelah itu dia meminta paspor saya dan barang bawaan saya. 

Beberapa saat kemudian tentara tersebut kembali dan menyuruh saya turun dan member isyarat untuk mengikutinya masuk kedalam kantor pemeriksaan. Di dalam kantor duduk seorang perwira berwajah khas suku uygur dengan ramah mempersilahkan saya duduk dan menanyakan asal serta tujuan berkunjung ke kota Turpan.

Aku jelaskan bahwa dalam rangka mengunjungi ulama terkenal di kota itu yang bernama Ismail Jenghiz. Perwira tersebut kemudian mengangkat gagang telepon dan berbacara serius dengan seseorang diujung telepon, setelah itu menghadap aku dan mengatakan bahwa aku harus menunggu seseorang baru boleh pergi melanjutkan perjalanan. 

Sekira 2 jam berselang, tiba-tiba pintu kantor diketuk dan masuk seorang dengan Chantou (kopiah uygur yang bentuknya segi empat lancip), sesaat dia menjulurkan tangannya kepada perwira tersebut dan memeluknya. Kemudian dia duduk disampingku dan menerima sebuah buku berbahasa Indonesia yang aku bawa dari tanah air. Agak lama dia memperhatikan buku tersebut dan kemudian berujar bahwa buku tersebut tidak dilarang. Itu artinya aku diizinkan pergi melanjutkan perjalanan kembali. Sang perwira menyalami tanganku sambil mengucapkan, “Khayr Khosh! (selamat jalan!)”.

Di dalam mobil aku dicecar pertanyaan oleh Kadeer, tentang mengapa aku diperiksa selama itu di kantor check point. Aku jawab, bahwa karena aku membawa buku berbahasa Indonesia yang di halaman sampulnya ada bendera hitam bertuliskan kalimat syahadat. Dengan senyum kemenangan Kadeer mengatakan: “Nah, benarkan apa yang aku jelaskan padamu!”, “karena ulah para ekstrimis itu hidup kami jadi terkungkung seperti ini!”.

Aku terdiam dan masih merasakan ketakutan atas pemeriksaan tersebut, meskipun mereka memperlakukanku dengan ramah dan sopan. Kadeer setengah berteriak, berujar: “Tohta! (Sampai!) akupun segera membayar ongkos taksi dan mengucapkan terima kasih atas pelayanannya dan obrolannya yang mengasikan selama perjalanan 3 jam ke tujuanku, Kadeer membalas ucapanku dengan memelukku dan mengucapkan: “Kiyin Korishayli! (sampai jumpa kembali teman!”.

Di depan pintu berdiri seorang yang memakai baju nanai (baju khas uygur) dengan Chantou bertengger di kepalanya, begitu memandangku dia mengembangkan kedua tangannya sambil berseru: Jielun, Qarshi alimiz! (Jielun, selamat datang sahabatku!).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun