Mohon tunggu...
Chaerun Anwar
Chaerun Anwar Mohon Tunggu... profesional -

Mendidik dengan hati, mengajar dengan bahagia, dan melatih tanpa pamrih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perjalanan ke Turpan: Zending Islam di Xinjiang

18 Juni 2016   03:37 Diperbarui: 18 Juni 2016   20:51 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadeer tiba tiba melambatkan laju kendaraannya dan menyuruh saya mempersiapkan paspor serta meyakinkan bahwa saya tidak membawa barang terlarang seperti buku-buku tentang khilafah begitu melihat sekelompok tentara menghentikan kendaraan di pinggiran kota Turpan. Sambil berbisik saya menanyakan apakah semua kota di Xinjiang dijaga ketat dengan check point seperti itu? Dengan singkat Kadeer menjawab, ”Ya!”. Seorang tentara mendekati Taksi Kadeer dan mengetuk kaca jendela dengan menanyakan surat mengemudi dan KTPnya, setelah itu dia meminta paspor saya dan barang bawaan saya. 

Beberapa saat kemudian tentara tersebut kembali dan menyuruh saya turun dan member isyarat untuk mengikutinya masuk kedalam kantor pemeriksaan. Di dalam kantor duduk seorang perwira berwajah khas suku uygur dengan ramah mempersilahkan saya duduk dan menanyakan asal serta tujuan berkunjung ke kota Turpan.

Aku jelaskan bahwa dalam rangka mengunjungi ulama terkenal di kota itu yang bernama Ismail Jenghiz. Perwira tersebut kemudian mengangkat gagang telepon dan berbacara serius dengan seseorang diujung telepon, setelah itu menghadap aku dan mengatakan bahwa aku harus menunggu seseorang baru boleh pergi melanjutkan perjalanan. 

Sekira 2 jam berselang, tiba-tiba pintu kantor diketuk dan masuk seorang dengan Chantou (kopiah uygur yang bentuknya segi empat lancip), sesaat dia menjulurkan tangannya kepada perwira tersebut dan memeluknya. Kemudian dia duduk disampingku dan menerima sebuah buku berbahasa Indonesia yang aku bawa dari tanah air. Agak lama dia memperhatikan buku tersebut dan kemudian berujar bahwa buku tersebut tidak dilarang. Itu artinya aku diizinkan pergi melanjutkan perjalanan kembali. Sang perwira menyalami tanganku sambil mengucapkan, “Khayr Khosh! (selamat jalan!)”.

Di dalam mobil aku dicecar pertanyaan oleh Kadeer, tentang mengapa aku diperiksa selama itu di kantor check point. Aku jawab, bahwa karena aku membawa buku berbahasa Indonesia yang di halaman sampulnya ada bendera hitam bertuliskan kalimat syahadat. Dengan senyum kemenangan Kadeer mengatakan: “Nah, benarkan apa yang aku jelaskan padamu!”, “karena ulah para ekstrimis itu hidup kami jadi terkungkung seperti ini!”.

Aku terdiam dan masih merasakan ketakutan atas pemeriksaan tersebut, meskipun mereka memperlakukanku dengan ramah dan sopan. Kadeer setengah berteriak, berujar: “Tohta! (Sampai!) akupun segera membayar ongkos taksi dan mengucapkan terima kasih atas pelayanannya dan obrolannya yang mengasikan selama perjalanan 3 jam ke tujuanku, Kadeer membalas ucapanku dengan memelukku dan mengucapkan: “Kiyin Korishayli! (sampai jumpa kembali teman!”.

Di depan pintu berdiri seorang yang memakai baju nanai (baju khas uygur) dengan Chantou bertengger di kepalanya, begitu memandangku dia mengembangkan kedua tangannya sambil berseru: Jielun, Qarshi alimiz! (Jielun, selamat datang sahabatku!).

Perjalanan ke Turpan: Zending Islam di Xinjiang
Perjalanan ke Turpan: Zending Islam di Xinjiang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun