Mohon tunggu...
jufriadi Djunaid
jufriadi Djunaid Mohon Tunggu... Dosen - Seorang penulis dari desa

Menulis sejak kecil

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Benarkah Kurikulum yang Menjadi Biang Keladi Merosotnya Pendidikan Kita?

11 Desember 2019   23:35 Diperbarui: 11 Desember 2019   23:43 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 

Jufriadi, S.S., M.Pd.

Salah satu isu penting dalam dunia pendidikan adalah tentang perubahan kurikulum. Hampir di setiap pergantian menteri, pergantian kurikulum menjadi isu seksi untuk kemudian menjadi fokus sorotan bahkan menjadi kambing hitam menyangkut menurunnnya kualitas pendidikan. Itulah makanya perubahan kurikulum terus berganti dari KBK ke KTSP dan sekarang K13.

Lalu benarkah kurikulum menjadi masalah utama yang mendesak untuk terus menerus dilakukan perubahan bahkan dalam jangka waktu yang sangat singkat dengan kisaran siklus 7 tahunan (kurikulum 1997, lalu kBK 2004, KTSP (2006) K13,2013). Juga benarkah bahwa dengan perubahan kurikulum akan memberikan perubahan signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan? Ataukah sesungguhnya ada hal lain yang lebih urgent selain perubahan kurikulum itu sendiri?

Tentu sudah sepantasnya bahwa perubahan kurikulum menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan, namun perubahan yang dilakukan dalam waktu yang terlalu cepat bahkan dengan kesan lebih pada dibuatnya sebuah projek untuk keuntungan finasial pihak tertentu, menjadikan kita bertanya bahwa apakah perubahan kurikulum tidak malah merusak dan menghemabat peningkatan kualitas pendidikan kita. 

Menelaah perubahan kurikulum KBK ke KTSP dan KTSP ke K13, secara kasat mata menunjukkan perubahan yang tidaklah signifikan. K13 yang mengandalkan lahirnya guru inofator dan fasilitator, sesungguhnya juga sudah menjadi bagian dari KTSP dan KBK, bahkan saat masih dikenalnya istilah CBSA pada kurikulum 1984. 

Demikian halnya tentang pentingnya pendidikan karakter sebagaimana yang sering didengunkan pada K13, sesungguhnya juga sudah diterapkan pada KTSP dan bahkan KBK, sehingga klaim bahwa K13 memiliki perbedaan yang signifikan pada pendidikan karakternya sesungguhnya menjadi terbantahkan.

Setelah penerapan K13 selama periode hampir 7 tahun (2013 s.d. 2020) sesungguhnya tidaklah menunjukkan perubahan yang begitu besar dalam dunia pendidikan kita, itu berarti bahwa masalah terbesar pendidikan kita sesungguhnya bukan pada kurikulum melainkan pada faktor penting lainnya, yang bisa jadi masalah sebenarnya adalah pada "kualitas Guru" dan atau pada "fasilitas Pendidikan" kita. 

Sekiranya itu masalahnya, maka perubuahan kurikulum yang terus menerus dilakukan selayaknya untuk sementara dihentikan karena telah menghabiskan trilyunan rupiah, yang sekiranya digunakan untuk fasilitas siswa dan guru seperti pengadaan laptop satu laptop satu guru, pengadaan laptop untuk siswa, pengadaan akses internet, dan peningkatan fasilitas pendidikan lainnya, serta upaya upgrading kemampuan guru secara simultan, maka bisa jadi jauh lebih mumpuni untuk peningkatan kualitas pendidikan kita.

Memilih antara mengubah kurikulum ataukan melakukan upaya menyeluruh untuk perbaikan kualitas guru, sesungguhnya menunjukkan bahwa upaya peningkatan 'kualitas Guru' jauh lebih urgen. 

Perubahan kurikulum tanpa peningkatan kualitas guru, maka perubahan itu akan sia-sia, sebaliknya peningkatan kualtas guru dengan kurikulum yang tetap sama, akan memberikan kontribusi perubahan yang jauh lebih baik. Inilah sesungguhnya yang oleh 'menteri milenial' Nadiem Makarim istilahkan dengan 'guru penggerak'. Dibutuhkan guru-guru penggerak yang inovatif dan kreatif, yang akan menunjukkan pencapaian pembelajaran terbaik, bahkan melampaui target kurikulum itu sendiri.

Wacana guru penggerak sesungguhnya jauh lebih penting untuk terus disempurnakan, diformulasi dan difollow up, sehingga wacana tidak tinggal menjadi wacana. Dibutuhkan kebijakan inovatif dari sang menteri, dibutuhkan kreatifitas gubernur dan bupati/walikota, diperlukan inisiasi dari kepala sekolah dan guru. Dan yang paling penting diperlukan kebijakan nasional, berupa kebijakan anggaran dan sistem yang komprehensif, sehingga wacana 'guru penggerak' dari sang menteri milenial bisa terwujud.

Sekiranya kebijakan nasional untuk upaya sistematis melahirkan 'guru penggerak' bisa benar-benar terwujud, terutama dengan sistem dan anggaran yang mumpuni, sebagai penulis saya yakin bahwa ke depannya, apapun kurikulum yang digunakan, pendidikan di Indonesia akan jauh lebih baik, jauh lebih unggul, sehingga cita-cita untuk melahirkan sumber daya manusia yang unggul bisa terwujud jauh lebih cepat, dibandingkan jika hanya terus bergelut pada perubahan kurikulum yang hanya menghabiskan anggaran negara dalam jumlah yang sangat besar.

Saatnya kita menantikan kebijakan lanjutan dari sang menteri kita yang baru. Kebijakan yang tentu berbeda dari menteri menteri sebelumnya, kebijakan yang bukan pada sekedar merubah kurikulum, tetapi pada upaya melahirkan guru-guru inovator, guru-guru kreator dan guru-guru yang membuat siswanya senang belajar, semangat belajar dan merdeka belajar. Kita tunggu. (Makassar 7 Desember 2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun