Sangat menarik apa diimpikan oleh menteri riset teknologi dan pendidikan Tinggi, M Natsir tentang impiannya menjadikannya universitas di Indonesia berada di urutan ke 3 di Asean di tahun 2019. Itu artinya Indonesia diharapkan berada di bawah Singapura dan Thailand yang sudah lebih dulu berada di posisi-posisi atas pada rengking universitas terbaik dunia. Cita-cita atau lebih sering kita istilahkan impian itu sesungguhnya benar-benar akan menjadi mimpi di siang bolong jika tidak dipersiapkan, didesain, dan diprioritaskan sejak sekarang ini.
Salah satu indikator sebuah universitas yang baik adalah ketika ia memiliki tenaga dosen dengan kualitas terbaik dan memiliki kualifikasi pendidikan doktor sebanyak mungkin, yang dibarengi dengan tingkat kemampuan di bidang pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat yang terbaik di bidang nya masing-masing. Kesadaran ini memicu kementerian, terutama kementerian pendidikan Tinggi dan kementerian Agama yang selama ini mengelola pendidikan tinggi, untuk secara massive memberikan beasiswa tugas belajar untuk lanjut pada program doktor, kepada para dosen di univeristas yang ada.
Pemberian beasiswa tugas belajar ini dimaksudkan agar memenuhi jumlah tenaga pendidik di universitas yang berkualifikasi doktor, tentu dengan jumlah sebanyak mungkin dari keseluruhan tenaga dosen yang ada di perguruan tinggi masing-masing. Pemberian beasiswa dari pemerintah melalui kementerian riset teknologi dan pendidikan tinggi serta dari kementerian agama melalui mora scholarship, juga diikuti dengan beasiswa presiden LPDP melalui kementerian keuangan, diharapkan akan memotivasi para dosen untuk segera melanjutkan studi ke jenjang doktor.
Lalu pertanyaan kita adalah (1)Â apakah dengan adanya pemberian beasiswa itu akan mendorong para dosen untuk segera berduyun-duyun melanjutkan studinya ke jenjang S3?. (2) Apakah dengan berbagai beasiswa itu para dosen yang lanjut akan secara signifikan terbantu dalam proses penyelesaian kuliahnya? Ataukah justru sebaliknya?
Untuk pertanyaan pertama, kelihatannya kebijakan beasiswa bagi para dosen belumlah secara maksimal memotivasi para dosen untuk melakukan studi lanjut. Hal ini dapat dilihat pada statistik pendaftar kuliah dari para dosen yang belum secara signifikan menunjukan peningkatan jumlah pendaftar yang lebih banyak.
Pertanyaan kedua pun demikian, ternyata dengan adanya beasiswa itu sesungguhya belum lah memberikan bantuan kemudahan bagi para dosen dalam belajar dan melakukan penelitian. Jumlah besaran beasiswa yang diberikan perbulan, sesungguhnya tidak lebih dari sekedar pemberian tunjangan yang berganti nama. Kenapa bisa begitu?
Iya, beasiswa bagi para dosen ternyata diikuti dengan ketentuan bahwa sesorang yang tugas belajar, maka seluruh tunjangan profesinya dicabut. Yang lucunya adalah bahwa ketika tunjangan itu dicabut, maka besaiswa yang diberikan ternyata jumlahnya hampir setara dengan jumlah tunjangan sertifikasi yang dihentikan. Dan itu artinya bahwa, katanya diberi nama beasiswa, ternyata hanya sekedar ganti nama. Dari yang sebelumnya disebut tunjangan profesi, berubah menjadi bessiswa. Jika begini, tidakkah ini seperti penipuan?
Apa yang harus dilakukan?
Kebijakan ini menjadi sangat menggelitik, karena sepertinya beasiswa itu ada, padahal ia hanya berganti nama. Karena itulah Presiden Jokowi, bersama menristek dikti, menteri Agama, dan kemeterian keuangan, mestinya melakukan perubahan sesegera mungkin. Beasiswa studi semestinya tidak berimplikasi pada pemutusan tunjangan profesi, karena bagaimanapun seorang dosen yang lanjut studinya, sesungguhnya sedang menjalankan tugas profesi kedosenannya. Ia sedang bersekolah sebagai bagian dari tugas pendidikan dan pengajaran.
Beasiswa sesungguhnya merupakan penghargaan kepada anak-anak bangsa yang terus berupaya menunjukkan prestasinya di bidang akademik. Anak-anak bangsa yang akan menjadi pemikir-pemikir masa depan, yang akan banyak menetukan arah kebijakan negeri ini. Mereka selayaknya dimanjakan dengan berbagai kemudahan, sebagai stimulus bagi setiap anak bangsa lainnya untuk juga berprestasi di bidang pengembangan keilmuan.
Jika tidak maka yang akan terjadi adalah sebaliknya. Akan muncul apatisme pada generasi masa depan bahwa, pendidikan yang tinggi yaitu menjadi master ataupun doktor, tidak menjadi jaminan akan kelayakan dan kesejahteraan. Implikasi lainnya adalah bahwa, beasiswa yang diberikan bukannya untuk membantu memudahkan dalam proses pendidik master maupun doktornya, melainkan diperoleh untuk dijadikan pengganti memenuhi kebutuhan yang sebelumnya tertanggulangi dari tunjangan sertifikasi.
Pak Presiden Jokowi sudah selayaknya mendesain sebuah kebijakan, tentu bersama dengan kemenristek Dikti dan Kementerian Agama, untuk memberikan remunerasi tertinggi bagi para dosen, sebagai pendidik di perguruan tinggi yang memproduksi begitu banyak sumber daya manusia di berbagai profesi. Selayaknya para dosen mendapatkan remunerasi terhormat, sebagai konsekwensi pendidikan yang telah dilaluinya, master dan doktor. Bukan justru sebaliknya, bahwa para tenaga staff (tenaga kependidikan) di Perguruan tinggi memperoleh remunerasi justru lebih besar dibanding para dosen yang telah master maupun doktor.
LogiAnya adalah, bahwa jika penghargaan remunerasi tertinggi tidak diberikan pada mereka dengan predikat pendidikan yang lebih tinggi (Master dan Doktor) maka sesungguhnya menunjukkan bahwa menejemen sumber daya manusia kita tak lagi berbasis pada kerja keras dan kerja cerdas. Para dosen sebagai ujung tombak perguruan tinggi, yang akan menghasilkan model pembelajaran, hasil penelitian dan model pengabdian, sesungguhnya menjadi kunci tercapainya cita-cita besar kemenristek Dikti dan Kemenag, untuk menjadi terbaik ketiga di jejeran perguruan tinggi di Asean.
Cita-cita besar tak kan mungkin terwujud tanpa desain dan menejemen yang tepat. Perguruan Tinggi harus menjadikan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat sebagai ruh perguruan Tinggi, dimana dosen akan memiliki peran yang sangat signifikan. Para master dan doktor diperguruan tinggi selayaknya diberikan penghargaan tertinggi, demi kemajuan pengembangan tri darma perguruan tinggi, yang jika itu tidak dilakukan maka kemungkinannya adalah, impian itu menjadi mimpi di siang bolong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H