Mohon tunggu...
Jidan Nanda Lesmana
Jidan Nanda Lesmana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan prodi Jurnalistik.Saya pribadi yang sangat hobi dengan membaca, adapun saya seorang Introvert yang selalu mengikuti isu-isu terbaru baik dengan skala nasional ataupun internasional, adapun topik yang sangat saya sukai adalah politik, hukum, olahraga, dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengkaji Hukum Pernikahan Beda Agama

18 Mei 2024   17:04 Diperbarui: 19 Mei 2024   18:31 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Heterogenitas dalam kebudayaan dan keagamaan menjadi hal yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Adapun pembahasan mengenai perbedaan agama menjadi isu yang cukup tabu untuk dibahas, terutama pembahasan mengenai pernikahan beda agama.

Pernikahan agama sendiri menjadi polemik yang sering dibahas oleh banyak orang, beberapa menyebutkan bahwa tidak menjadi persoalan selama hubungan pasangan tersebut dilandaskan rasa cinta dan pengertian, namun dilain pihak, hal tersebut dinyatakan haram hukumnya berdasarkan ajaran agama. Lantas, bagaimana hukum menikah beda agama dari perspektif hukum negara dan hukum agama?

Dalam UU No.1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa pernikahan di Indonesia harus dilakukan sesuai dengan hukum agama yang dianut oleh pasangan yang menikah. Dalam penafsirannya, pernikahan tersebut harus mengikuti agama yang sama atau setidaknya mengikuti hukum agama yang sama.

Adapun peraturan yang mengatur pernikahan beda agama juga tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023. Surat edaran itu sendiri berbunyi "untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 huruf F UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaaan.

Dalam perspektif agama, pernikahan beda agama tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 221 yang artinya:

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupn dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatnya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".

Dari terjemahan ayat tersebut, cukup jelas bahwa Islam melarang pernikahan beda agama. Namun, terdapat pengecualian hukumnya bila laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Pernikahan ini diperbolehkan dalam Islam karena wanita ahli kitab fasih akan pengetahuan mengenai kitab yang ia pelajari. Diharapkan wanita tersebut menyadari akan kebenaran Islam karena ia telah mempelajari kitabnya, yang dimana kitab tersebut merupakan bagian dari agamanya yang dekat dengan ajaran Islam.

Adapun Organisasi Masyarakat yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memiliki padangan mengenai penikahan beda agama. Dalam MUNAS MUI ke VII tahun 2005 di Jakarta, MUI mengeluarkan 11 fatwa yang diantaranya membahas mengenai pernikahan beda agama. 

Dalam musyawarah tersebut, MUI menetapkan bahwa haram hukumnya perkawinan beda agama, lalu haram atau tidak sah hukumnya perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlul Kitab menurut qaul mu'tamad (Pendapat yang diunggulkan).

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) didasarkan pada beberapa hal, lembaga fatwa ini terdiri dari ahli ilmu yang berkompeten yang mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul yang  Mu'tabarah (sunnah yang bersambung pada rasul), tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat, ijma (kesepakatan para ulama), dan didasarkan pada dalil-dalil hukum yang lain seperti istishan (perbuatan adil pada suatu hukum) dan maslahah mursalah (dalil hukum untuk menetapkan hukum atas persoalan-persoalan baru yang secara eksplisit tidak disebutkan di dalam al-Quran dan as-Sunnah).

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan segala bentuk tindak perilaku mempunya hukum yang terikat pada aturan tertentu, terkhusus aturan agama. Dalam hal ini, pernikahan beda agama dinyatakan haram hukumnya baik dafi perspektif agama, dan dilarang jika dilihat melalui perspektif hukum formal. Larangan mengenai pernikahan agama bukanlah tanpa sebab, keharaman menikah beda agama salah satunya bertujuan untuk menghindari perselisihan yang timbul akibat perbedaan pendapat mengenai praktik keagamaan, dan nilai-nilai agama masing-masing individu yang terikat, sehingga menimbulkan perselisihan dan konflik dalam rumah tangga.

Penulis: Jidan nanda Lesmana dan Dr.Hamidullah Mahmud M.A

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun