Dalam musyawarah tersebut, MUI menetapkan bahwa haram hukumnya perkawinan beda agama, lalu haram atau tidak sah hukumnya perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlul Kitab menurut qaul mu'tamad (Pendapat yang diunggulkan).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) didasarkan pada beberapa hal, lembaga fatwa ini terdiri dari ahli ilmu yang berkompeten yang mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul yang  Mu'tabarah (sunnah yang bersambung pada rasul), tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat, ijma (kesepakatan para ulama), dan didasarkan pada dalil-dalil hukum yang lain seperti istishan (perbuatan adil pada suatu hukum) dan maslahah mursalah (dalil hukum untuk menetapkan hukum atas persoalan-persoalan baru yang secara eksplisit tidak disebutkan di dalam al-Quran dan as-Sunnah).
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan segala bentuk tindak perilaku mempunya hukum yang terikat pada aturan tertentu, terkhusus aturan agama. Dalam hal ini, pernikahan beda agama dinyatakan haram hukumnya baik dafi perspektif agama, dan dilarang jika dilihat melalui perspektif hukum formal. Larangan mengenai pernikahan agama bukanlah tanpa sebab, keharaman menikah beda agama salah satunya bertujuan untuk menghindari perselisihan yang timbul akibat perbedaan pendapat mengenai praktik keagamaan, dan nilai-nilai agama masing-masing individu yang terikat, sehingga menimbulkan perselisihan dan konflik dalam rumah tangga.
Penulis: Jidan nanda Lesmana dan Dr.Hamidullah Mahmud M.A