Hukum Positivisme adalah teori hukum yang berpendapat bahwa hukum merupakan seperangkat aturan yang dibuat dan ditegakkan oleh otoritas yang berwenang, tanpa mempertimbangkan moralitas atau nilai-nilai etik di luar hukum itu sendiri. Dalam pandangan ini, hukum dianggap sah karena ia dikeluarkan oleh institusi yang berwenang, bukan karena ia adil atau bermoral. Tokoh utama dalam hukum positivisme adalah John Austin dan Hans Kelsen. Austin menekankan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang didukung oleh sanksi. Kelsen, melalui teori Pure Theory of Law (Teori Murni Hukum), berpendapat bahwa hukum harus dipisahkan dari moral dan dipandang sebagai sistem aturan yang berdiri sendiri.
Kasus: Penetapan Hukuman Mati Terhadap Terpidana Narkotika di Indonesia
Di Indonesia, hukuman mati masih diterapkan untuk kejahatan berat, termasuk kasus narkotika. Misalnya, pada beberapa kasus besar, seperti Bali Nine, sejumlah terpidana asing dijatuhi hukuman mati karena terlibat dalam penyelundupan narkoba. Hal ini menimbulkan kontroversi baik di dalam negeri maupun di luar negeri, terutama terkait dengan hak asasi manusia dan pandangan moral terhadap hukuman mati.
Analisis dari Perspektif Filsafat Hukum Positivisme:
*Legalitas Hukum: Dalam kerangka positivisme hukum, yang menjadi dasar utama analisis adalah legalitas hukum tersebut. Berdasarkan hukum positif di Indonesia, hukuman mati diatur dalam beberapa undang-undang, termasuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut dengan jelas menetapkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman bagi pelanggaran berat terkait narkotika.
Dalam pandangan positivisme, hukum yang sah adalah hukum yang dibuat oleh otoritas yang berwenang sesuai dengan proses legislasi yang diakui. Oleh karena itu, hukuman mati terhadap pelaku narkotika sah dan harus dijalankan, karena telah diatur secara jelas dalam undang-undang yang dibuat oleh otoritas yang sah, yakni pemerintah dan DPR.
*Keterpisahan Hukum dan Moral: Positivisme hukum, seperti yang diajarkan oleh Hans Kelsen, menekankan bahwa hukum harus dipisahkan dari moralitas. Dalam hal ini, meskipun banyak pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri, menganggap hukuman mati sebagai tidak bermoral atau melanggar hak asasi manusia, dari perspektif positivisme hal itu tidak relevan. Apa yang penting adalah bahwa hukum tersebut ada, ditetapkan oleh institusi yang sah, dan harus ditegakkan. Kritik moral terhadap hukuman mati bukanlah dasar yang valid untuk menolak pelaksanaan hukum tersebut, selama hukum positifnya berlaku.
*Ketaatan pada Hukum Formal: Pendekatan hukum positivisme lebih berfokus pada formalitas aturan yang berlaku daripada substansi etikanya. Dalam hal ini, hakim yang menjatuhkan hukuman mati pada terpidana narkotika hanya menjalankan kewajibannya untuk menerapkan hukum yang berlaku sesuai dengan undang-undang. Positivisme menekankan bahwa hakim tidak perlu menilai apakah hukuman mati itu benar atau salah secara moral; tugasnya hanya untuk menegakkan hukum sebagaimana tertulis.
*Sanksi sebagai Alat Paksaan: John Austin berpendapat bahwa hukum adalah perintah yang didukung oleh sanksi. Dalam kasus ini, hukuman mati berfungsi sebagai sanksi yang dijatuhkan oleh otoritas berwenang kepada pelanggar hukum. Hukum berfungsi sebagai instrumen kontrol sosial, dan sanksi seperti hukuman mati adalah bagian dari upaya negara untuk menjaga keteraturan dan memberantas kejahatan narkotika yang dianggap mengancam masyarakat.
Menggali Mazhab hukum positivismeÂ
Mazhab hukum positivisme adalah aliran dalam filsafat hukum yang menekankan bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah, terpisah dari moralitas atau etika. Dalam pandangan ini, hukum harus dipahami berdasarkan teks dan prosedur yang ada, bukan berdasarkan nilai-nilai atau keadilan subjektif. Para penganutnya, seperti Jeremy Bentham dan H.L.A. Hart, berfokus pada aspek formal dan struktural dari hukum, menolak ide bahwa hukum harus mencerminkan keadilan moral.