Mohon tunggu...
jian ayune
jian ayune Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi tahun ke-3

menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemiskinan Indonesia dari Perspektif Ekonomi Politik

23 Desember 2022   19:57 Diperbarui: 23 Desember 2022   20:10 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak awal berdiri, Indonesia mempunyai cita-cita besar untuk terwujudnya masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur sesuai dengan apa yang dituliskan di alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Salah satunya adalah upaya pengentasan kemiskinan setelah masa kolonial yang menjadi fokus penting agar terwujudnya masyarakat yang makmur, maka itu selama ini pembangunan yang dilakukan pemerintah berpusat pada upaya peningkatan kesejahteraan dan pemerataan. Meski begitu sampai saat ini kemiskinan terutama di Indonesia belum dapat teratasi sepenuhnya. 

Kemiskinan menjadi sebuah masalah yang sampai saat ini sulit untuk dipecahkan, cukup ironis dengan kenyataan Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Kemiskinan yang ada di Indonesia ini menurut Yustika (2007) adalah persoalan kemiskinan telah sedemikian peliknya untuk diurai dan dipecahkan, hal ini dapat bersumber dari makna kemiskinan sehingga definisi dan pengukurannya tidak mudah dituntaskan dengan satu pengertian. Terlepas dari tolok ukur kemiskinan, Indonesia sendiri masih masuk dalam kategori buruk karena data kemiskinan yang mengalami peningkatan. 

Pengatasan kemiskinan ini bukan program baru melainkan sebuah proyek lama yang tidak kunjung selesai. Pada era Orde Baru pemerintah mencoba mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan fasilitas, pertumbuhan ekonomi terus digalakkan dengan upaya meningkatkan investasi asing, bahkan melakukan hutang luar negeri agar memacu jalannya pembangunan. Namun, pembangunan era Orde Baru ini dinilai tidak begitu dapat dinikmati bagi rakyat miskin. Pembangunan ekonomi selama 30 tahun itu menjadi tak berarti begitu krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998. Setelah masa Orde Baru pembangunan untuk pengentasan kemiskinan terus berjalan meskipun berkali-kali telah berganti rezim, namun bak endemi kemiskinan masih juga belum dituntaskan. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2022 terhitung sebesar 26,16 juta jiwa atau setara dengan 9,54 persen. Keadaan ini diperburuk dengan pandemi yang baru saja melanda seluruh dunia dan momok resesi pada tahun 2023. Menurut BPS kemiskinan per Maret 2022 dikatakan sebesart Rp. 504.469 per kapita per bulan yang dibagi menjadi Rp. 377.598 per kapita per bulan untuk pengeluaran makanan dan sisanya selain makanan. Rumah tangga ini dapat dikategorikan sebagai rumah tangga miskin apabila pengeluaran perbulannya dibawah rata-rata Rp. 2.395.923 per bulan. 

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan berkaitan erat karena merupakan tema utama literatur dan pemikiran pembangunan saat ini. Sementara sebagian besar penelitian menemukan itu secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi mengurangi kemiskinan secara keseluruhan, pembuat kebijakan membutuhkan hasil yang lebih rinci untuk membuat keputusan tentang alokasi sumber daya publik dan sumber dana untuk membiayai pengeluaran publik (Sarris, 2001). 

Pendekatan ekonomi politik

Dalam ekonomi politik, penyelenggaraan politik akan dikaitkan dengan aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat maupun oleh pemerintah itu sendiri. Menurut pendekatan ekonomi politik, keduanya saling berkaitan erat dengan bidang politik menjadi subordinat terhadap bidang ekonomi. Contohnya seperti mekanisme pasar, harga dan investasi dianalisis dengan latar sistem politik di mana kebijakan atau peristiwa ekonomi tersebut terjadi. Sehingga ekonomi politik ini melihat eknomi sebagai cara untuk melakukan tindakan atau a way of acting sedangkan politik menjadi wadah bagi peristiwa tersebut atau a place to act. 

Pada awalnya teori ekonomi dibangun atas dasar asumsi bawa setiap kelompok kepentingan (self-interest) berupaya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengn upaya yang kecil. Pada saat inilah kemudian politik memiliki peran sebagai sumberdaya seperti lobi digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Karena seringkali hasil dari lobi yang berlangsung adalah sebuah kebijakan, maka sebuah proses ekonomi politik tersebut memiliki efek domino yang mempengaruhi proses pengambilan kebijakan menjadi lamban dan ekonomi cenderung tidak dapat mengikuti perubahan-perubahan dan teknologi baru (Olson, 1982:46 dalam Dasgupta, 1998:26). 

Kemiskinan

Kemiskinan juga melibatkan suatu pendidikan yang dapat diukur dengan indikator angka buta huruf. Kemiskinan secara luas terjadi jika masyarakat tidak memiliki kemampuan fundamental pendapatan dan pendidikan mereka buruk, atau kesehatan mereka buruk, tidak nyaman, atau rendah percaya diri, dan tidak adanya hak pendapat bebas. Badan Pusat Statistik (2012) mendefinisikan kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar berdasarkan standar dari garis kemiskinan makanan dan bukan makanan. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan dasar yang setara dengan 2100 kalori per kapita per hari. Itu garis kemiskinan bukan makanan adalah jumlah rupiah untuk memenuhi kebutuhan minimum tersebut seperti tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, transportasi, sandang, barang dan jasa. Pada prinsipnya pengukuran kemiskinan relatif mudah. Hal ini melibatkan, menetapkan garis kemiskinan (yaitu, nilai numerik yang membentuk standar hidup minimum yang dapat diterima yang disepakati). Langkah selanjutnya adalah mengukur kejadian kemiskinan, biasanya tingkat kemiskinan hitungan kepala, atau persentase individu yang konsumsi terukurnya berada di bawah garis. Ini, pada gilirannya, membutuhkan pengeluaran akurat dan, diinginkan, data pendapatan. 

Pada dasarnya beragam konsep mengenai kemiskinan tetap berkutat pada tiga pandangan yang selama ini telah ada, yaitu adanya pandangan struktural dengan perspektif pengucilan sosial atau social exclucion dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak memihak kelompok rentan maupun miskin. Satu lagi bentuk kemiskinan yang sering muncul dalam diskursus adalah kemiskinan struktural dimana kemiskinan ini timbul bukan karena sifat individual tetapi kemiskinan yang dialami sekelompok masyarakat; dan bukan pula karena satu sebab, melainkan dari akumulasi beberapa sebab yang saling berhubungan dan berbelit, kondisi ini dapat berlangsung dalam jangka panjang maupun pendek. 

Lain halnya dengan jenis kemiskinan kultural yang disebabkan oleh sikap maupun mental dari masyarakat miskin yang tidak ingin berubah. Muara dari sudut pandang mengenai kemiskinan dapat dikerucutkan menjadi dua kondisi yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut adalah mereka yang berada dibawah garis kemiskinan jika diukur melalui pendekatan moneter). Sementara kemiskinan relatif adalah kondisi dimana adanya kondisi ketimpangan pendapatan. 

Kemiskinan di Indonesia 

Sumber data utama penyelesaian kemiskinan di Indonesia adalah konsumsi Modul Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (Badan Pusat Statistik atau BPS). Susenas merupakan rumah tangga yang representatif secara nasional survei, yang dimulai pada tahun 1976, mencakup seluruh wilayah negara. Konsumsi Modul Susenas dilakukan setiap tiga tahun, khususnya untuk mengumpulkan informasi Pengeluaran konsumsi yang sangat rinci dari sekitar 65.000 rumah tangga. Itu kuesioner dalam modul ini mencakup total 229 item makanan dan 110 item non-makanan. Ini Studi ini menggunakan data Susenas yang dikumpulkan antara tahun 1984 dan 2002. Kajian ini juga memanfaatkan data dari Susenas Kor yang dilakukan setiap tahun di bulan Februari, untuk mengumpulkan informasi tentang sosio-demografis dasar karakteristik lebih dari 200.000 rumah tangga dan lebih dari 800.000 individu. Sampel dari rumah tangga dalam Modul konsumsi Susenas adalah subset yang dipilih secara acak 200.000 rumah tangga sampel Susenas Inti pada tahun yang sama. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan data Produk Domestik Bruto Regional (RGDP) dan Indeks Harga Konsumen Regional (RCPI), keduanya diterbitkan oleh BPS. Di sejalan dengan data Susenas, data PDRB mencakup periode 1984 hingga 2002, dengan pembayaran tetap pada rupiah tahun 1993. Di sisi lain, RCPI digunakan untuk mengempiskan garis misi untuk memastikan keterbandingan lintas waktu. Terakhir, penelitian ini menggunakan data Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) untuk mengekstraksi informasi tentang tingkat pendidikan awal, yang diperlukan sebagai variabel kontrol di perkiraan model yang digunakan dalam penelitian ini. Sakernas ini bersifat tahunan, secara nasional representatif, tenaga kerja survei lintas seksi berulang yang mengumpulkan data aktivitas individu dalam rumah tangga sampel, meskipun kedalaman keterwakilannya bervariasi dari tahun ke tahun. Setiap tahun, rata-rata Sakernas memiliki sekitar 200.000 observasi individu pada usia 15 tahun ke atas. 

Upaya Pengentasan Kemiskinan

Ketika berbicara mengenai persoalan ekonomi, salah satu solusinya tidak lain adalah melalui perbaikan ekonomi. Karena kegiatan ekonomi yang cepat dan pesat akan menghasilkan tenaga kerja lebih banyak dimana akhirnya masyarakat kan memperoleh pendapatan lebih banyak untuk membeli barang. Perputaran ekonomi ini jika dapat berjalan secara cepat dan lancar maka perekonomian akan semakin kuat.

Komitmen Indonesia untuk pengentasan kemiskinan seperti yang dijelaskan diatas, dapat dilihat melalui lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang berfokus pada penanganan kemiskinan. Beragam kebijakan yang diambil selama ini juga sudah cukup banyak, contohnya seperti Program Kesejahteraan Sosial Kelompok usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra)), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program) dan lainnya. Kebijakan-kebijakan tersebut dibuat tidak lain agar memacu jalannya roda ekonomi sehingga diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun masalah mendasar dari kebijakan-kebijakan yang sudah diambil tersebut adalah orientasi dari pembangunan ekonomi ini sendiri tidak berpihak kepada kelompok berpenghasilan rendah atau grass root. Hal tersebut dapat terlihat dari konsentrasi industri yang lebih berpihak kepada menengah keatas, sehingga ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat tidak terlalu diperhitungkan. Menurut catatan Halwani (1999), sebagian besar (98,2%) adalah unit usaha kecil dan industri rumah tangga dengan tenaga kerja sebanyak 3.484.408 orang (63,3%). Industri yang tergolong dalam usaha berskala besar dan sedang (0,8%) dengan tenaga yang terserap sebanyak 1.691.435. (32,7%). Namun jika hasil nilai tambah dari dua jenis kegiatan tersebut diperbandingkan, maka hasil yang diperoleh dari sektor industri kecil masih jauh dari yang harapan yakni sebesar 17,8% (Rp.2,03 trilyun), sedangkan industri berskala besar (0,8%) telah memberikan nilai tambah Rp.9,35 trilyun (82,2%).

Pengambilan kebijakan tersebut tentu tidak jauh dari proses perumusannya dalam pemerintahan, sejumlah kecurangan masih sering didapati pada saat proses formulasi kebijakan berlangsung. Seperti yang dijelaskan tadi, kebijakan yang berhasil disahkan oleh pemerintah cenderung memprioritaskan kepentingan pemiliki modal ketimbang pelaku ekonomi kecil. Seringkali masyarakat sebagai pelaku ekonomi kecil dijauhkan dari alat produksinya dan digantikan dengan kegiatan ekonomi yang modern seperti pabrik. 

Salah satu kesalah besar juga dalam pengambilan kebijakan adalah kebijakan yang tidak bersifat pemberdayaan seperti halnya pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang hanya memberi solusi jangka pendek seperti uang tunai maupun bahan pokok. Masyarakat tidak diberdayakan untuk mandiri karena program ini berkutat pada kedermawanan pemerintah yang dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat. Program bantuan untuk masyarakat miskin seharusnya dapat dilakukan dengan menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan menghilangkan sifat ketergantungan pada masyarakat. Selain tidak berfokus pada jangka panjang, bantuan ini seringkali rawan penyelewengan pada saat proses pembagian dan penyalurannya. Akan lebih bermanfaat jika dana bantuan tersebut dialokasikan untuk kebijakan yang dampaknya panjang seperti perbaikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. 

Solusi Multidimensi Untuk Pengentasan Kemiskinan

Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) dan the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan ekonomi capital dan ekonomi neoclasic ortodox (Elson, 1977, Suharto, 2002). Menurut Basri (2002), untuk menghapus masalah kemiskinan yang kini semakin krusial di Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah untuk merombak struktur yang otoritarian dan monopolistik, dengan strategi penguatan posisi politik dan ekonomi kelompok masyarakat miskin. Peguatan posisi politik dapat dilakukan dengan mendorong pengorganisasian diri masyarakat miskin demi tindakan yang partisipatif, dengan cara merubah peraturan yang membatasi (seperti masalah perizinan dan formalisasi) menjadi peraturan yang memfasilitasi. Sementara, penguatan ekonomi dilakukan dengan strategi merombak struktur ekonomi yang monopolistik dan antipersaingan menjadi struktur yang lebih adil dan kondusif serta strategi untuk meningkatkan akses kelompok masyarakat miskin terhadap sumber daya. Untuk mewujudkannya perlu upaya simultan dan komprehensif sebagai berikut: 

  1. Memfokuskan investasi di bidang pengembangan sumber daya manusia, khususnya pendidikan dasar. 

  2. Menyusun kebijakan yang mengarah pada stabilitas ekonomidengan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat tercapaidan hasilnya bisa terdistribusikan pada seluruh lapisan masyarakat secara adil. 

  3. Menciptakan lingkungan kompetisi yang fair bagi usaha kecil, dengan jalan merombak struktur ekonomi yang monopilistik dan antipersaingan. 

  4. Meningkatkan akses kelompok ekonomi kecil terhadap berbagai sumber daya ekonomi, yaitu terutama modal, tanah, serta informasi dan teknologi. 

  5. Melakukan deregulasi terhadap komoditi yang pemasarannya diatur atau dipegang pemerintah. 

  6. Mengubah bentuk insentif institusional bagi birokrat di tingkat lokal, dengan jalan memberikan pelayanan perizinan usaha secara gratis, sehingga usaha kecil akan terdorong untuk mendaftarkan usahanya dan pemerintah daerah dapat memperoleh peningkatan pajak dari usaha kecil tersebut. 

  7. Menghapuskan berbagai pungutan bagi usaha kecil. 

  8. Menghapuskan kredit bersubsidi pada bunga dan membiarkan penyediaan kredit berjalan dengan mekasisme pasar. 

  9. Mengalihkan subsidi dalam bentuk bantuan biaya operasional untuk institusi yang mempunyai kinerja yang baik.

Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya. Menurut Mujiyadi dan Gunawan (2000), pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan "penguatan" agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun