Sejarah perjuangan perempuan dalam memperoleh haknya merupakan proses yang cukup panjang, dimulai dari kongres pertama wanita pada tahun 1982 yang menjadi pemantik gerakan politik perempuan di dunia.Â
Di Indonesia sendiri pada pemilu pertama tahun 1955 keterwakilan perempuan di parlemen berjumlah 6,5 persen, namun angka ini tidak serta merta naik setiap tahunnya terbukti bahwa saat ini presentase hanya mencapai 8,8 persen dari total anggota parlemen.Â
Secara sistemik perempuan telah lebih jauh pada akses pendidikan dan ilmu pengetahuan yang berbuntut panjang pada terbatasnya akses perempuan untuk masuk ke ranah intelektual, sehingga akan kalah bersaing dengan laki-laki yang memiliki akses lebih leluasa pada pendidikan.Â
Dalam konteks representasi politik, dijelaskan oleh Soeseno (2013) bahwa sifat dari representasi ini menghadirkan kepentingan dan identitas hanya sebagian atau separuh dari masyarakat. Dan dalam tataran politik formal pemilu dianggap salah satu cara untuk menghadirkan rakyat, dengan ini pula dibentuk sebuah produk peraturan yang dibuat untuk melindungi pilihan identitas dan kepastian sehingga dapat meminimalisir adanya under-representation yang disebut dengan affirmative action.Â
Sejauh ini jumlah keterwakilan perempuan di Indonesia di berbagai level juga memiliki jumlah yang berbeda pula, di parlemen berjumlah 20,8% atau 120 anggota dari total keseluruhan 575 anggota, kemudian di tingkat DPRD sebesar 30,88% atau sekitar 6,119 anggota dari total 19.817 anggota, pada tingkat kabinet terdapat 6 menteri dari total 38 menteri, dan yang terakhir pada tingkat kepala daerah sebesar 9,06% atau sebesar 31 orang dari total 342 kepala daerah.Â
Affirmative action yang digunakan untuk melindungi hak dan keterwakilan perempuan seringkali belum memenuhi target, lebih kompleks lagi keterwakilan perempuan sering kali hanya dimanfaatkan sebagai kepentingan sehingga wakil perempuan yang terpilih tidak benar-benar merupakan representasi.Â
Separuh dari total populasi adalah perempuan, maka keterwakilannya adalah hal yang penting untuk menciptakan regulasi yang ramah terhadap perempuan. Sejauh ini Indonesia masih belum dapat memenuhi affirmative action keterwakilan perempuan dan wakil perempuan di parlemen maupun lembaga pemilu juga belum merupakan representasi nyata bagi perempuan.
Masalah keterwakilan perempuan diantaranya adalah:Â
(1) Kurangnya dukungan partai politik, dukungan dari partai politik memiliki peranan penting dalam menempatkan kader perempuan untuk dapat lolos ke parlemen. Namun, meskipun partai politik adalah institusi politik yang melakukan implementasi kebijakan 30% keterwkilan, hal tersebut tidak lantas membuat partaipolitik memiliki komitmen untuk mewujudkan 30% minimal keterwakilan tersebut.Â
(2) Budaya patriarki, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya patriarki ini memang mengakar kuat di dalam kehidupan di Indonesia, perempuan masih dianggap identik dengan pekerjaan-pekerjaan domestik, hal ini tentu akan membatasi gerak perempuan dalam masyarakat terlebih lagi dalam politik. Selain itu, masih adanya anggapan di mayoritas penduduk indonesia bahwa laki-laki akan menjadi pemimpin yang lebih baik.Â
(3) Kendala sosio-ekonomi, ini menjadi salah satu masalah yang banyak dialami wanita yang menjadikannya sulit untuk maju menjadi caleg dan duduk di parlemen. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa berpolitik membutuhkan biaya yang banyak, jika perempuan tidak memiliki biaya yang cukup maka tidak.
Akibat dari minimnya keterwakilan politik perempuan adalah:Â
(1) Kebijakan yang tidak perpihak kepada perempuan, Menurut Budi Santi (2015 32-34), perempuan memiliki kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami oleh perempuan. Kebutuhan--kebutuhan tersebut meliputi kesehatan reproduksi, masalah kesejahteraan keluarga, kepedulian kepada anak, kebutuhan manusia lanjut usia dan tuna daksa, serta isu-isu kekerasan seksual.Â
(2) Sedikit/tidak adanya representasi perempuan di parlemen, perempuan sebagai separuh dari populasi penduduk indonesia harus memiliki representasi di parlemen agar tuntutan dan harapan mereka dapat di advokasi kan di parlemen.
Dua hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ranah politik adalah; pertama, mendorong adanya keterbukaan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat perempuan dalam kehidupan maupun kontestasi politik. Kedua, melakukan pendidikan politik dengan muatan gender bagi masyarakat luas.Â
Memberikan edukasi seputar keterwakilan perempuan dan mendorong perempuan untuk maju ke dalam arena politik adalah salah satu caranya. Karena dengan itu perempuan berani dan tau apa saja yang dapat mereka lakukan untuk mewakili dan meng-advokasi perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H