Mohon tunggu...
Jihan Agnel
Jihan Agnel Mohon Tunggu... Penulis - Your secret writer

You matter. No matter what.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hadiah ke-12 Hedone

3 Februari 2019   22:25 Diperbarui: 3 Februari 2019   22:55 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selama tinggal di sini aku hanya menaikinya sekali, ketika ibu masih hidup dan aku masih berusia 7 tahun. Kini 21 tahun sudah aku hidup dan sudah 12 tahun ibu meninggalkan aku juga ayah.

Sepatu boots hitam, dress hitam dan coat coklat tua membalut tubuhku. Mataku berwarna cokelat muda dan rambutku berwarma cokelat tua yang diturunkan oleh ibu. Aku suka warna coklat, warna tanah yang hangat. Setelah melewati London's Eye aku pergi menuju seberang jalan menyusuri lorong jalan menuju sebuah coffee shop tempat kesukaanku. Irene sudah menungguku di sana 10 menit yang lalu. Aku berniat bertemu dengannya untuk membuka hadiah terakhir dari ibuku. Ya, sebelum meninggalkan aku dan ayah, ibu menyiapkan 12 hadiah hingga usiaku berumur 21 tahun.

Tadi pagi aku melihat kembali hadiah dari Ibu tahun lalu. Sebuah video yang merekam ketika ibu di rumah sakit dan aku menceritakan pertemanan antara aku dan Irene ketika kami masih di tingkat ke tiga. Di akhir video itu, ibu berkata "Hedone, Ibu yakin Irene ditakdirkan hadir untuk menemanimu. Menggantikan Ibu seandainya waktu ibu telah habis. Dari cerita-ceritamu ia gadis yang lembut dan dewasa. 

Jaga selalu pertemananmu dengan Irene. Kau sudah tau kan alasan ibu kehabisan waktu di dunia ini? Kau sudah cukup dewasa untuk memahami penyakit ibu. Jaga selalu juga kesehatanmu, periksakan segalanya sebelum terlambat. Berjanji?"

Ibu tesenyum di akhir video itu dan masih dengan topi rajutannya yang kini aku simpan di samping bantalku. Dengan adanya itu aku merasa tenang. Ya, penyakit kanker serviks membuat ibu kehabisan waktu untuk tinggal lebih lama di dunia ini.
***

Aku sudah berada di dalam coffee shop bersama dengan Irene. Dihadapan kami berdua terdapat sebuah kotak besar, hadiah terakhir dari ibuku. Perasaanku kini campur aduk, senang, penasaran, dan juga sedih. Tahun depan sudah tidak ada lagi hadiah dari ibu untukku.

Bunyi pergantian detik dari jam tanganku beradu dengan bunyi pergantian detik dari jam tangan Irene. Ia di hadapanku, menungguku siap membuka kotaknya. Aku menebak-nebak hadiahnya sebuah baju. Mungkinkah ibu merajut sweater untukku? Karena aku berulang tahun setiap natal untuk itulah aku diberi nama Christine, Christine Hedone lebih tepatnya.  Sebelum aku membuka kotak hadiah terakhir dari ibu, ponselku berdering. Ayahku menelepon.
"Halo?"
"Kamu dimana?"
"Coffee shop."
"Tempat biasa?"
"Ya, ayah dimana?"
"Ayah dalam perjalanan menuju ke sana."
"Ke sana? Maksudmu ke sini? Ke tempatku sekarang?"
"Ya, tunggu ayah."
Ayah memutus sambungan teleponnya. Irene menatapku dengan penasaran.
"Ayahmu akan datang menyusul?"
"Iya..."
"Berarti hadiah ini sangat istimewa." Irene mengelus kotak hadiahnya. Kotak itu berwarna pink lembut, warna kesukaanku dan ibu. Tidak ada gambar di kotak itu, hanya ada stiker hati yang berwarna merah di tiap sudutnya.

15 menit kemudian ayah tiba. Ia duduk di sampingku. Sudah berapa lama aku tidak duduk di samping ayah sedekat ini? Wajah ayah telah banyak gurat keriputnya, ubanya juga mulai menjalar di kepalanya. Ia terlalu sibuk mencari penghasilan demi kehidupan kami. Aku masih menatap ayah yang memiliki bola mata biru. Tiba-tiba saja aku memeluknya. Hangat. Pahlawan hidupku, laki-laki yang mencintaiku tanpa syarat, cinta pertamaku.

Ayah memberiku sekotak cokelat dan setangkai bunga mawar putih.

"Hedone, usiamu sudah 21 tahun. Sudah cukup dewasa untuk tinggal sendirian di apartemenmu dan memilih jalan hidupmu. Aku serahkan semua keputusan dalam hidup, padamu. Aku hadir sebagai pembimbing, kau yang memutuskan segalanya. Ibumu juga pasti menginginkan hal ini. Ia adalah wanita yang kuat, satu-satunya wanita yang ayah cintai selain dirimu."

Aku meneteskan air mata dan begitu juga Irene. Kini tiba waktunya bagiku untuk membuka hadiah ke 12 dari ibuku. Hadiah terakhir sebelum penyakit kanker serviks mengambil kehidupannya.
Aku terpukau dengan isi dalam kotak tersebut. Sebuah gaun pengantin putih beserta mahkota, anting mutiara, dan cincin mutiaranya. Aku menatap ayah untuk meminta penjelasan. Ayah mengambil sepucuk surat dari dasar kotak hadiah itu. Aku menerimanya dan langsung membaca surat tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun